Di alam modern, memilih presiden, partai politik maupun calon anggota DPR panduannya sudah jelas, menurut salafus shalih, pilihlah calon pemimpin/partai yang berpihak pada umat dan shalih
Oleh: Tohir Bawazir
Dinul Islam adalah agama sekaligus panduan hidup sempurna umat manusia dalam menjalankan aktifitas kehidupan dunianya agar selamat hingga akhir hayat hingga memasuki kehidupan selanjutnya. Ada panduan hidup yang begitu tegas dan jelas nashnya yang tertuang dalam kitab suci Al-Quran maupun Sunnah Nabi-Nya; ada pula panduan yang tidak gamblang ayat dan haditsnya, namun membutuhkan ilmu qiyas (analogi) untuk menangkap dan menjelaskan hukum-hukum agama.
Untuk itulah ilmu-ilmu keislaman selalu berkembang dan mengikuti perkembangan dan fenomena zaman, karena persoalan kehidupan memang selalu berkembang, termasuk persoalan politik, terutama dalam persoalan memilih pemimpin.
Ada panduan umum dalam memilih kriteria pemimpin, namun ada peran ijtihad manusia dalam teknis metodologi pemilihannya. Sehingga tidak heran, sepeninggal Nabi ﷺ, para sahabat melakukan berbagai ijtihad dalam metodologi pemilihan pengganti khalifah (pemimpin).
Ketika Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq merasakan sakit yang akan menghantarkan kepada kematiannya, beliau ingin menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada pengganti yang utama, yang dipercaya dan telah teruji rekam jejaknya.
Maka beliau kemudian bermusyarawarah dengan beberapa sahabat untuk mencari masukan siapa orang yang dianggap paling layak memimpin sepeninggal beliau. Walaupun secara pribadi beliau memiliki firasat bahwa Umar bin Khathab lah yang paling layak menggantikannya, namun musyarawarah dan mencari masukan tetap Khalifah lakukan.
Sebab jangan sampai keliru menunjuk orang hanya karena prasangka pribadi seorang. Ketika yang dimintai sudah sepakat semua, maka beliau membuat sebuah “dekrit” yang dibacakan di hadapan khalayak ramai di Madinah, yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Ini adalah dekrit yang diserukan Abu Bakar bin Abu Quhafah di akhir masanya di dunia sebagai orang yang akan keluar darinya dan awal masanya akan memasuki akhirat.
Sekiranya orang yang ingkar menjadi percaya, orang yang hanyut dalam kemaksiatan menjadi yakin, dan orang yang mendustakan menjadi membenarkan. Sesungguhnya aku menunjuk Umar bin Khathab sebagai penggantiku bagi kalian setelahku.
Maka dari itu dengarlah instruksinya dan patuhilah. Sesungguhnya aku tidak bisa menjamin Allah, Rasul-Nya, agama-Nya, jiwaku atau jiwa kalian dengan kebaikan.
Jika Umar berbuat adil, makai tulah sangkaanku terhadapnya dan pengetahuanku tentang dirinya. Namun jika ia tidak adil, maka setiap orang akan mendapat balasan atas perbuatannya.
Namun yang jelas, kebaikanlah yang aku harap dan aku tidak mengetahui hal yang ghaib. Allah berfirman;
ۗوَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ ࣖ
“Dan orang-orang yang zhalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS: Asy-Syu’ara: 227).
Walaupun wujud penetapan Khalifah Umar bin Khathab dengan penunjukan langsung oleh Khalifah Abu Bakar ketika sakitnya, namun disini khalifah tetap menggunakan mekanisme musyawarah, itupun berdasar melihat rekam jejak sebelumnya, bukan pertimbangan kerabat, pertemanan ataupun nepotisme lainnya.
Bahkan setelah dekrit dibacakan pun, Khalifah Abu Bakar masih menunggu respon dan tanggapan masyarakat, sekiranya ada keberatan dan penolakan dari sebagian besar masyarakat.
Berikut ucapan khalifah Abu Bakar, “Apakah kalian mau menerima orang pilihanku yang akan menggantikanku sebagai khalifah? Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengandalkan pendapat pribadi, juga tidak memilih kerabat.
Maka dari itu, dengarkanlah semua perintahnya dan patuhlah kepadanya. ”Kemudian para sahabat menjawab, “Kami semua taat dan patuh.” (Biografi Khalifah Abu Bakar, Syaikh Muhammad Ash-Shallabi.)
Lain pula metodologi pemilihan khalifah pengganti di masa Umar bin Khathab. ketika Khalifah Umar bin Khathab sakit menghadapi kematiannya, beliau membentuk dewan formatur yang anggotanya berisi enam sahabat terkemuka, untuk memilih di antara mereka siapa yang paling layak menjadi khalifah sepeninggalnya.
Dari enam orang akhirnya tinggal mengerucut ke dua nama yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dari dua nama, mau tidak mau harus diambil seorang. Maka ketua tim formatur saat itu, Abdurrahman bin Auf, harus terjun ke lapangan untuk meminta pendapat masyarakat secara door to door mana yang paling lebih disukai mayoritas masyarakat, akhirnya terpilihlah Utsman bin Affan sebagai Khalifah ketiga.
Semua metode pilihan itu walaupun terkesan berbeda metodenya, namun pelaksaannya didasari semata-mata motif professional, kinerja dan rekam jejak tokoh-tokoh sebelumnya.
Yang dapat kita ambil pelajarannya bahwa dalam memilih calon pemimpin, Islam telah mewariskan pedoman yang bersifat universal, yaitu memilih berdasarkan tingkat keshalihan, kinerja dan rekam jejak plus sangka baik.
Di alam demokrasi modern, dalam rangka memilih presiden, partai politik maupun calon anggota legislatif, panduannya seharusnya sudah jelas. Pilihlah orang-orang, calon pemimpin maupun partai politik yang memiliki keberpihakan kepada umat, diisi oleh orang-orang shalih, bersikap adil,jauh dari perilaku tidak terpuji seperti korupsi, culas dan tidak amanah dengan janji-janjinya.
Apalagi dalam mencari kekuasaannya dengan menggunakan segala cara, tidak mengenal koridor halal dan haram. Setelah kita memiliki keyakinan dan pilihan yang pasti sesuai koridor syariah, selanjutnya kita tinggal bertawakal dan berbaik sangka kepada mereka, sebagaimana Khalifah Abu Bakar berbaik sangka kepada Umar bin Khathab.
Coba bandingkan suasana “pemilihan” di era shalafus shalih dengan di era modern ini. Kalau di era terdahulu, semua calonnya adalah serba terbaik, karena semua merupakan didikan Rasulullah ﷺ langsung.
Mereka merupakan sahabat yang sudah ditempa dalam berbagai ujian kehidupan ketika bersama Nabi ﷺ. Jadi andaikata kalau saat itu ijtihad Khalifah Abu Bakar ternyata ‘keliru’ ketika menunjuk Umar bin Khathab, toh kekuasaan akan jatuh ke orangorang terbaik lainnya.
Begitu pula ketika rakyat Madinah saat itu lebih banyak yang mendukung Ali bin Abi Thalib dibandingkan Utsman bin Affan, tetap saja mereka akan medapat pilihan pemimpin yang serba terbaik. Karena rakyat disodori pemimpin yang serba terbaik.
Memilih orang-orang yang sudah sama-sama baik tentu lebih sulit dibandingkan memilih antara yang baik dengan yang buruk. Berbeda di zaman modern ini.
Dalam suasana Pemilu kali ini, kita disodori berbagai kandidat calon presiden, berbagai partai politik yang berbeda afiliasi dan orientasi perjuangannya, berbeda kualitas calon anggota legislatif, karena keadaan masyarakat kita yang begitu heterogen.
Sebetulnya buat kita, pilihan ini justru lebih gampang, karena garis pembedanya sudah jelas. Mana tokoh dan pemimpin yang layak dipercaya, jujur, shalih, memiliki integritas, cerdas, dan mana pemimpin karbitan, jauh dari agama, tidak mengenal halal dan haram dan berpotensi menjadi kaki tangan asing.
Jadi seharusnya memilih mana yang layak dipilih di masa sekarang, jauh lebih mudah dan jelas dibandingkan di era sahabat tempo dulu,karena parameter pembandingnya lebih jelas.
Entah kalau pembeda yang serba jelas terus dibikin samar dan abuabu. Padahal dampak kesalahan dalam memilih pemimpin di masa sekarang, dapat lebih mengerikan akibatnya dibandingkan di masa lampau.
Sebab kekuasaan apabila dipegang orang tidak amanah akan berdampak luas dan jangka panjang buat bangsa ini baik sekarang maupun di masa mendatang. Apa kita akan bingung terus dan tidak berani mengambil keputusan dan pilihan?
Semuanya berpulang pada diri kita masing-masing. Waktu sudah semakin dekat.*
Penerbit buku Al-Kautsar
(Hidayatullah)