“Safari ba’iid wazdaadi la yuballighuni . Waquwwati dho’fun walmautu yathlubuni.Wali baqooya zdunubun lastu a’lamuha. Allah a’lamuha fissirri wal‘alaani.”
“Perjalananku masih jauh, sedang bekalku tidak mencukupi. Kekuatanku melemah, dan maut akan menjemputku. Aku masih menyimpan segudang dosa yang aku tidak mengetahuinya. Allah lah yang maha mengetahuinya. Baik tersembunyi, maupun yang terang-terangan.”
Bait-bait diatas aku dapatkan dari seorang Pak Tua yang berkerja sebagai cleaning serves di asrama kami. Aku dan kebanyakan ekhwah memanggilnya "Syaikh", selain panggilan itu memang layak untuk diberikan kepada orang tua seperti dia, karena orang Mesir biasanya memberikan panggilan ini kepada orang yang dianggap terhormat dan juga karena memang sudah terlihat renta. Dia bilang padaku, ini adalah kasidah Imam Ali ra.
Aku terbilang orang yang sering bertatap muka dengannya. Sebabnya, tak heran kalau aku juga sering menyelingi ketika Ia berkerja dan kebetulan aku lagi libur atau belum berangkat kuliah untuk sekedar bercerita tentang Mesir yang terkenal dengan Al-Azhar, Piramid dan sungai Nilnya.
Bait-bait diatas membawaku terus mengingat Pak Tua itu. Terus dan berlanjut mungkin hingga aku angkat kaki dari ‘Bumi Para Nabi’ kelak. Ia telah tenggelam dalam cinta-Nya. Ia memang seperti seorang musafir yang tengah meramu bekal. Sebagaimana dalam bait-bait kasidah yang selalu Ia ulang.
Dia sangat ramah. Santun dan tekun. Meski ditengah musim dingin di Mesir yang menggigil, yang terkenal lebih panjang dari musim panas, apalagi musim semi dan gugur Ia tetap tampak tegap mengayun langkah menaiki anak-anak tangga asrama kami menuju lorong-lorong tempat Ia berkerja setiap harinya, selain hari Jum’at. "alasyan igazah" alias cuti. Begitu kata orang Mesir, yang gajinya tak seberapa.
Asrama kami yang juga tampak sudah berumur, seumur dengan Pak Tua itu. Dinding-dindingnya sudah terlihat amat lusuh dan rupuh, semacam mau roboh seoalah menjadi lahan subur bagi Pak Tua ini. Ia tampak begitu menikmati pekerjaannya. Ia juga pernah bercerita padaku pada suatu hari, bahwa dia tidak sendiri. Dia punya istri dan anak-anak yang sedang dibangku sekolah dan kuliah.
Ditengah deru keadaan yang menghimpit Ia pun tak segan-segan memegang jati dirinya sebagai seorang muslim. Dari menjalankan kewajiban hingga perkara-perkara sunnah. Ia selalu enteng berucap salam ketika bertemu. Disamping itu diwajahnya masih tetap terukir cahaya bersih. Senyumnya selalu mengembang. Tangannya yang kasar akibat setiap hari berperang dengan ombak-ombak kecil dilorong-lorong asrama pun tak segan Ia angkat untuk sekedar berjabat tangan dengan siapapun yang Ia jumpai. Benar-benar pak tua yang tahu diri. Yang sangat mengerti dengan keadaannya yang semakin renta dan lemah.
Pak Tua, Kau begitu tegar terlihat. Teguh dan tegap. Kau tidak merasa seperti yang mungkin dirasakan segelintir kita. Seakan malu menonjolkan sosoknya sebagai insan yang telah bersyahadat. Malah sebaliknya, segelintir mereka lebih doyan dan tergila-gila dengan budaya-budaya luar Islam. Melariskan produk-produk mereka. Dari cara berpakaian, bermuamalah hingga dalam dunia seni dsb. Sementara, produk-produk kita nyaris terabaikan. Syi’ar Islam itu sudah seperti sangat terbelakang dan primitif dianggap segelintir kita. Semoga romantika seperti ini cukup hingga disini.
Sebuah pekerjaan tidak menjadi penghalang untuk Ia terus meningkatkan kualitas ibadah. Tidak sedikit dari teman-teman asrama yang ikut kagum dengannya. Sejauh yang aku tahu Ia tidak pernah absen shalat berjama’ah di masjid. Bahkan Ia selalu terlihat sudah duduk di shaf terdepan. Padahal, pekerjaannya sebagai cleaning serves cukup berat. Ia terlihat begitu berhati-hati dan bersahaja. Ia tampak tahu betul bahwa kehidupan keseluruhannya adalah amanah. Meski sebagian orang menganggapnya remeh. Apalagi ditempat kerja misalnya, tak ada yang mengontrol. Atau apalah upayanya sehingga ia menganggap bahwa dia sedang bersendiri, tak ada yang mengamati.
Yang penting tak absen and gaji jalan terus. Soal kualitas, dan nilai ibadah itu nomor sekian. Sementara ia lupa bahwa dalam hidup ini ada yang namanya ‘keberkahan’. Yang lahir dari sebuah keikhlasan. Yang membuat sebuah pekerjaan menjadi sangat berarti. Harta yang diperoleh, meski hanya cukup makan, namun terasa cukup puas dan nikmat. Sehingga dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: ”Ya Allah…berikanlah keberkahan untuk umatku di waktu paginya.”
Kemudian dengan niat yang tulus itu terekspresi pula dalam sebuah pekerjaan dan tindak-tanduknya. Inilah yang tampak dari seorang Syaikh asal Mesir ini. Keikhlasannya tampak ketika Ia berkerja. Sementara itu ibadahnya pun tidak terabaikan. Ia masih saja seperti darah muda yang segar. Semangat ukhrowinya terlihat lebih mendominasi. Syaikh barangkali sudah memahami dalam-dalam makna sabda Rasulullah Saw: ”dunia adalah penjara bagi seorang Mukmin dan syurga bagi seorang Kafir” dibanding aku.
Syaikh dengan tingkahnya yang selalu mengajakku berpikir telah membawaku ikut tenggelam sebagai seorang pemuda yang kuat. Aku yang selalu lengah dengan berbagai permata dunia. Warisan modernisasi dengan gemerlapannya. Aku yang sering tak sadar ketika selalu menghabiskan waktu mengamati dua kubu yang sedang berlaga merebut sebuah benda bundar bernama bola itu. Aku terkadang sadar bahwa hari masih pagi. Tapi, terkadang kesadaran tak lebih dari sekedar pengisi angan-kosong. Aku lupa bahwa hari tak selamanya pagi. Suatu saat aku akan seperti Pak Tua itu.
Ia seakan mengajak kita kembali menelaah makna hadis Rasul Saw:”Tidak beranjak kaki seorang hamba diakherat nanti hingga ia ditanya tentang empat perkara; tentang umurnya pada apa ia habiskan, masa mudanya apa yang ia perbuat, hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan dan ilmunya apa yang ia perbuat dengannya”
Masa muda tak seluruhnya identik dengan ‘merdeka’. Ada PR buat kita semua untuk ikut serta mempertahankan ‘izzah Islam. Demikian juga yang usianya sudah senja. Masih tersisa tanggungjawab besar untuk menjadi murabbi terbaik bagi cikal-bakal generasi umat kedepan. Karena masadepan umat itu tercermin dalam tingkah dan cara bagaimana generasi ini diwarnai dan mewarnai.
Semoga tak terlepas erat tangan-tangan kita untuk terus bersama, pegang teguh bangunan peradaban Islam yang telah berdiri sejak berabad-abad lamanya. Jika modernisasi itu memang ada itu bukan berarti tamadun Islam itu lantas roboh. Dan kemudian beralih kiblat kepada segala sesuatu yang berbau Barat. Karena itu semua bukanlah sebuah kemajuan menurut prespektif Islam yang sebenarnya..
Pak Tua itu hanyalah sebuah perjalanan rohani yang pernah kutemukan. The sweet memory-ku disaat pernah belajar di ‘Negeri Seribu Menara’. Selain itu, Ia juga seakan mengajak kita (khususnya kaum muda) untuk kembali mengingat perkataan Ibnu Umar ra;"apabila kamu dipagi hari, maka jangan tunggu sore dan apabila di sore hari maka jangan tunggu pagi.."
“Safari ba’iid wazdaadi la yuballighuni…”
Kairo, Madinatul Buuts Islamiyah, 1 April 2009