Pagi-pagi sekali, Pak Jumari sudah membersihkan halaman sekolah. Ya, dia memang bekerja sebagai tukang kebun di sebuah sekolah dasar tempat keponakan saya sekolah. Sudah lebih dari tiga tahun saya mengenalnya. Kalau saja saya tidak mengantarkan keponakan ke sekolah tersebut, bisa jadi saya tak pernah mengenal sosok sederhana beliau.
Kulitnya hitam karena banyak terbakar terik matahari. Otot tangan dan tulang belikatnya menonjol seolah menjadi saksi kerja kerasnya menjalani hidup. Meski usianya sudah beranjak senja, sekitar enam puluh tahunan, Pak Jumari masih tampak segar dan semangat. Siang itu, ketika menjemput keponakan, saya mengajak beliau untuk makan siang bersama di sebuah warung.
Pak Jum –demikian saya biasa menyapa beliau– mengungkapkan bahwa dirinya sudah 13 tahun bekerja sebagai tukang kebun di sekolah dasar tersebut. Dari obrolan kami, saya menyimpan rasa kagum kepada Pak Jum. Beliau menuturkan, jarak antara rumah ke sekolah tempat dia bekerja sekitar 1 km. Meski demikian, beliau berangkat dengan berjalan kaki. Kendati, jam kerjanya mulai pukul enam pagi, Pak Jum sudah berada di sekolah itu setengah jam sebelumnya.
Beliau mengatakan sudah sangat bersyukur meski gajinya per bulan tak seberapa. Berkumpul dengan para guru dan anak-anak membuat dia mengaku kerasan bekerja di situ. ”Kulo mboten nyuwun nopo-nopo kalih Gusti Allah, mung sehat thok sampun cekap Mas (Saya tidak minta apa-apa kepada Allah, sehat saja itu sudah cukup kok Mas), ” tuturnya. Subhanallah, saya memetik pelajaran sederhana dari etos kerja Pak Jumari.
Kini, saya tak pernah lagi melihat Pak Jumari jika sedang menjemput keponakan saya di sekolah tersebut. Saya pun tak bisa melihat beliau sedang menyapu atau membersihkan halaman sekolah itu. Sebab, beberapa waktu lalu, Pak Jum dikabarkan telah meninggal karena sakit diabetes menahun. Saya baru tahu kabar itu dari salah seorang orang tua siswa dan guru sekolah tersebut. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.
Meski demikian, saya masih menyimpan beberapa nasihat yang pernah dilontarkan Pak Jum. Mulai etos kerja sampai nasihat agar bekerja sepenuh hati. Dari kesemuanya itu, saya menyimpulkan bahwa bekerja itu adalah amanah.
Saya merenung, betapa banyak orang yang tak menyepelekan arti amanah dalam bekerja. Saya pernah merasa jengkel saat mengurus perpanjangan KTP beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, jam kerja di kelurahan atau instansi-instansi pemerintah lainnya adalah pukul setengah delapan pagi. Namun, hingga pukul sembilan lebih saya menunggu di kelurahan, tak ada orang di situ. Mungkin, jamak terjadi bahwa banyak pegawai pemerintahan yang ngantor telat. Seharusnya masuk pukul setengah delapan pagi, mereka baru masuk kerja pukul sembilan, bahkan sepuluh pagi. Ada pula pegawai yang sudah pulang sebelum jam pulang kantor. Masya Allah.
Tak jarang, di antara para pegawai pemerintahan itu, ada yang jalan-jalan pada saat jam kerja. Yang memprihatinkan, mereka jalan-jalan dengan masih memakai pakaian dinas. Terus, bagaimana dengan pelayan publik yang menjadi tugas mereka? Sering pula saya temui, kadang produktivitas kerja kalangan pegawai tertentu tidak menonjol. Yang tampak, pegawai kantoran yang main komputer, duduk enjoy, dan ngobrol sambil ngopi. Profesionalitas kerja yang termasuk amanah sering terabai. Masuk kantor telat seakan tak merasa bersalah. Tapi, jika gaji telat, mereka sudah berkoar-koar, mengeluh, dan sebagainya. Masya Allah.
Padahal, jika seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan pahala dari Allah, dia telah menunaikan kewajibannya. Dia pun berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Bekerja termasuk amanah yang harus dijaga. Sebab, Islam pun mengajarkan tentang pentingnya bersikap profesional.
Allah berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui” (Al-Anfal: 27).
Cuaca di atas Kota Surabaya cukup terik siang itu. Saya tertegun di depan pagar sekolah saat menjemput keponakan. Tak tampak lagi wajah Pak Jumari yang biasa menyapa saya dengan rendah hati. Tentang sikap amanah, saya resapi dari tutur kata dan semangat bekerja Pak Jumari. Selamat jalan Pak Jum, semoga Allah memberikan tempat yang baik di sisi-Nya.
(Mengenang Pak Jum)
[email protected]