Pahlawan Calistung

Sejak saya mengenalnya tahun 1979, Bu Habibah telah mengajar. Hingga sekarang tahun 2009, Bu Habibah masih mengajar. Masih di kelas yang sama pula, kelas satu. Rentang waktu hampir 30 tahun lalu sejak saya duduk di bangku SD, beliulah yang memperkenalkan saya vokal-konsonan dan angka-hitung. Kini, keterampilan dasar itu diturunkan kembali kepada kedua anak saya. Mungkin pula pada anak ketiga saya kelak bila datang waktunya ia mengenakan seragam seperti kakaknya. Saya baru menyadari, bahwa rantai transmisi pengetahuan telah bertemu simpulnya pada titik Bu Habibah, Saya dan keturunan saya.

Bagi saya, Bu Habibah ibarat Bu Muslimahnya Andrea Hirata kurang lebih, meski saya tak sejajar dengan Andrea. Mereka sama-sama guru yang mencurahkan tenaganya untuk mengajar, mendidik dan menanamkan nilai-nilai luhur ala pendidikan formal dengan gaji yang amat ”bersahaja”. Mereka bukan sekedar ”pendekar” calistung di bawah naungan sekolah Matahari dua belas sinar, tetapi juga pendekar syahadat, rukun iman, rukun Islam dan mahir memperkenalkan anak didiknya pada peri kehidupan Rasulullah shallalaahu ’alaihi wa sallam. Karena itu, hanya sekali menyaksikan Laskar Pelangi dan belum tuntas membaca novelnya, bayangan Bu Babibah menjelma dalam sosok Bu Muslimah.

 Sepanjang ingatan saya, bu Habibah bukan sekedar guru. Ia adalah sosok wanita ibu yang mengalir dari jiwanya kasih sayang untuk mencerdaskan anak didiknya. Jiwanya adalah madrasah ruhani yang berdiri kukuh. Dengan senyum, ia meluruskan anak didiknya yang berbuat ulah. Dengan motivasi, bila mendapati ada siswanya yang lambat membaca atau menghitung. Mengajari konsekuansi wajar bagi siapa yang tidak mengerjakan PR atau tugas latihan. Bukan dengan gemerutuk gigi atau melukai lahir bathin. Menakut-nakutipun bukan cara mendidik yang ia pilih, apabila ada di antara siswanya yang sukar diatur. Terhadap siswanya yang cerdas dan berani, ia kerap menyampaiakan rasa bangganya dan berusaha menularkannya pada siswa yang lain.

Mengenang cara mendidiknya adalah kenikmatan dan kepuasan pedagogis yang tapak-tapaknya kini saya susuri. Saya nyaris mendapati seluruh ungkapan Dorothy Law Norte dalam setiap pembelajarannya. Norte menulis :

 

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar mencaci.

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar meragukan diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam hidupnya.

Mendidik sama halnya dengan upaya memperkaya jiwa anak dengan nilai keluhuran budi. Mendidik juga upaya sadar melejitkan potensi anak sampai pada taraf maksimal. Prosesnya bukan upaya yang hanya sebatas mendiktekan a,b,c dan seterusnya. Juga bukan sekedar mengisi otak siswa dengan rumus untuk memecahkan misteri perkalian, pembagian, penambahan dan pengurangan. Juga bukan pula sekedar membuat anak pintar menggubah bait-bait sajak dan puisi. Bukan hanya itu. Mendidik adalah menularkan kesadaran, agar siswa mampu mengolah dan memanfaatkan semua informasi keilmuannya itu menjadi sikap hidup yang membawa maslahat bagi diri dan lingkungannya. Maka betapa mahal dan berat sesungguhnya jalan hidup seorang pendidik. Sabar, telaten dan ikhlas ternyata memang tetap sifat dasar yang berperan mengantarkan keberhasilan proses pendidikan.

Tapi saya bukan sekedar kagum, saya tercenung tiga puluh tahun kemudian di tengah beratnya tugas mendidik. Bu Habibah masih tetap bertahan mengajar di kelas satu. Masih dengan sikap dan kesabaran yang sama, seolah itulah ”keabadian” milikinya. Saya tercenung sebab dalam satu forum rapat terkuak, bahwa gaji mereka hanya berkisar antara tiga ratus tujuh puluh lima ribu sampai empat ratus ribu rupiah per bulan. Ya Allah, bu Habibah!?.

”Satu-satunya yang membuat guru dapat bertahan di sini, hanya keikhlasan Pak”.

”Sebenarnya, jika dihitung rasio jumlah siswa dengan iuran siswa, apa tidak bisa dinaikkan lebih dari itu Pak?” tanya saya.

”Sebenarnya, bisa”.

”Lalu, kendalanya di mana?”.

“Tunggakan. Sekitar 40 persen tunggakan setiap bulan konstan. Bahkan hingga saat ini, masih ada siswa kami yang selama tiga tahun, belum sesenpun membayar uang sekolah. Padahal SPP hanya Rp. 40.000”.

 

 

***

Bu Habibah tetaplah bu Habibah. Usianya memang semakin beranjak senja. Tapi semangatnya tetap seperti awal mula ia berdiri di muka kelas menyambut siswanya tiga puluh tahun lalu. Masih terbayang lekat bagaimana dulu ia memperlakukan anak didiknya di kelas.

Lebih dari separuh hidupnya telah dihabiskan untuk mengajar, meskipun gajinya tak rasional untuk hidup seminggu saja di zaman ini. Tidak ada tanda murung di wajahnya, meskipun hanya sebagai guru honorer. Ia bukanlah guru seperti mereka yang mendapat gaji pokok, tunjangan anak, tunjangan beras, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, asuransi, kesra, atau entah apa lagi. Baginya pengabdian tidak harus dibatasi dengan nomor induk pegawai dengan segala fasilitas yang melekat padanya.

Rupanya jiwa ikhlaslah yang tetap dipeganganya setia hingga kini. Sifat itu jualah yang membuatnya tidak pernah lelah bergelut dengan tanggung jawab berat sebagai pendidik. Seingat saya, belum pernah pula saya mendapat khabar beliau sakit. Sebuah keadaan yang mencerminkan kestabilan emosi dan perasaan nyaman yang berpengaruh pada kebugaran pisiknya.

Jika melihat berita tentang komunitas guru turun ke jalan menggelar demonstrasi menuntut pemerintah untuk mengangkat mereka menjadi PNS, saya teringat bu Habibah. Ia bahkan tidak pernah membiarkan siswanya terlantar karena luput dari pengawasan dan kehadirannya. Apalagi hanya untuk urusan yang menurutnya tak penting. Kami dibimbingnya sejak menit pertama belajar, sampai akhir pelajaran berakhir.

Bu Habibah tidak seperti guru yang pandai ”ngeles”. Guru yang menyuruh ketua kelas mencatat pelajaran di papan tulis, sementara ia menghilang untuk ngumpul, ngobrol atau ngopi-ngopi di ruang guru saat kepala sekolah rapat dinas keluar. Kemudian masuk lagi, lalu marah-marah karena tidak ada satupun siswa yang menyalin catatan di bukunya.

”Yang tidak mencatat, berdiri di pojok kelas sambil mengangkat sebelah kaki. Jangan coba-coba diturunkan sebelum bel pulang berbunyi. Cepaat!”.

Apakah ini yang menjadi sebab tersembunyi maraknya pelajar terpicu berkelahi di jalan pada jam sekolah? Sesama pelajar saling memaki, saling melempar bahkan saling melukai. Mirisnya lagi hal itu terjadi antara kakak terhadap adik kelasnya. Saya khawatir, jangan-jangan karena pola didik yang keliru seperti yang diandaikan Dorothy. Saya khawatir pula jangan-jangan karena telah hilangnya sifat ikhlas, sabar dan keteladanan dari sebagian kecil guru dalam pola pengajaran dan mengemban amanahnya. Atau jangan-jangan pula seperti kata pepatah ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Saya kembali ingat bu Habibah.

Ah bisa jadi, karena bu Habibah adalah guru kelas satu. Kelas yang memang belum dapat diandalkan untuk menggantikannya sejenak mencatat pelajaran di atas papan tulis lalu ditinggal-tinggal dan dibentak-bentak.

Guru-guru yang ikhlas, amanah, jujur pada tugas dan tanggung jawabnya semakin amat dibutuhkan di zaman ini. Bukan sebagai pelengkap atas keahlian teknologi informasi yang dikuasainya dalam merancang pembelajaran yang menyenangkan dan modern, tetapi justru menjadi pijakan dasar bagi atribut pendidik yang melekat pada sebutannya. Terbutki, efektifitas teknologi tidak sanggup mengalahkan tipu daya setan. Malah sebaliknya, bisa menjadi amunisi modern bagi setan dalam membelokkan fungsi teknologi untuk menyesatkan orang terpelajar sekalipun. Sedangkan ikhlas diakui setan sebagai sumber kekuatan yang tidak pernah berhasil dikalahkan olehnya seumur pembangkangannya.

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Terjemah QS. Al-Hijr [15]: 39-40).

Memang, keikhlasan adalah sifat yang teramat abstrak. Hanya Allah yang tahu persis. Allah juga yang tahu, mengapa bu Habibah masih setia menjalani tugas mendidik dengan gaji yang tidak lebih dari empat ratusan ribu rupiah. Sementara beberapa siswa yang pernah dididiknya dulu, hidup mapan dengan penghasilan cukup. Ada yang menjadi anggota DPRD, jurnalis dan pegawai kantoran. Banyak pula yang sukses mengikuti jejaknya menjadi guru. Tapi entah, apakah mereka juga mewarisi naluri keguruan sebagaimana penjiwannya?

 

Depok, Nopember 2009.

 

Untuk rasa hormat bagi penanam benih kebajikan yang tak pernah memperhadapkan pengabdian dengan nominal. Semoga yang saya dapat darimu menjadi jariyah bagimu, Ibu.

[email protected]