Pagi itu langit masih terlihat cerah. Bumi tempat kita berpijak masih terlihat basah. Maklum saja malam itu hujan lebat, terlebih ditempat tinggalku Parung, Bogor. Pagi itu aku harus berangkat kerja. Sepeda motor Honda tahun 2000, aku luncurkan. Tak lupa berdoa do’a untuk menjaga keselamatan.
Seperti biasa mataku selalu tertuju pada pandangan hilir mudik pemakai jalan. Waspada tepatnya. Namun satu jam lewat mata tertuju kepada salah satu sisi jalan menuju tempatku bekerja. Herannya kenapa pemakai jalan khususnya pengendara motor semakin banyak memutar balik. Jumat itu aku belum terpikir jika terjadi kemacetan, karena tak biasa. Motorku terhenti, dan aku sigap bertanya,”ada apa pak?,”tanyaku.”banjir, gak bisa lewat”,jawab lelaki muda yang menghalangi jalan dengan bangku panjang.
Aku bergegas balik arah. Dalam benakku sudah terbiasa jika Bogor hujan, daerah ini menjadi langganan banjir. Aku bergegas mencari jalan lain. Namun akupun dikejutkan kembali dengan seorang pengemudi jalan, ”banjir, gak bisa lewat”,jawabnya. Aku penasaran dan bersegera balik arah mencari jalan alternatif lainnya. Ketika memasuki jalan utama. Terjadi kemcaetan total. Motor tuaku tak tinggal diam, dengan lenggak-lenggok, motor berhasil melampaui pemakai jalan lainnya, tapi lagi-lagi mataku tertuju pada genangan air coklat hampir setinggi paha orang dewasa.”Balik lagi mas, tangul situ Gintung cebol. Katanya sih, ada yang mati tujuh orang,”cerita orang yang sejak tadi mengatur lalu lintas.
Hati menjadi miris. Namun aku tak segera diam aku terus mencari jalan. Pikirku rumah ibu, bagaimana keadaannya, ya..? Aku membeli voucer. Sebelumnya menelpon front office kantor untuk mengatakan banjir yang tidak jauh dengan kantor. ”Udah, ya..aku harus nelpon ibuku, karena kali Pasangrahan tak jauh dari rumah ibu,”pungkasku pada front office . Entah kenapa, ketika aku menelpon rumah, hanya dering nada tut…tut..tut panjang, bukankah ini menandakan tak ada yang mengangkat. Akupun penasaran dan menelpon kembali. Belum ada 1 menit telpon diangkat dan nampak isakan tangis ibu .”huuuhihihihi…cepat ….kerumah karena tak ada orang…, air sudah mencapai teras rumah. ….ibu belum beres-beres barang-barang,”isaknya tak tertahan. Aku bergegas mengemudi. Pikirku menerawag mengingat banjir besar tahun 2004 lalu.
Sang Khalik tak pernah berbohong, sesampai disana, nyatanya jalan menuju rumah sudah tak lagi bisa dilewati. Aku segera mencarai jalan. Sesampai dirumah aku hanya dapat menarik nafas, karena teras rumah sudah mencapai paha orang dewasa sedangkan ibuku hanya bisa menangis. Motorku pakirkan ditempat yang aman, sedangkan tenaga serta kemampuan untuk mengevakuasi semua barang.-barang seadanya. 3 jam kemudian keluarga kakak datang dan dengan sigap akhirnya barang–barang dapat diselamatkan. Belum puas dengan musibah ini aku semakian penasaran. Ada apa sebenarnya ?.
Namun ketika aku menyaksikan salah satu televisi nasional. Aku hanya berdiri kaku tak tertahan. …air bah tersebut benar-benar menghempaskan ratusan orang dan rumah. Padahal sebelumnya informasi hanya menewaskan tujuh orang. Pikirku, dibandingkan rumah ibuku belum seberapa. Di sana manusia bahkan mobil-mobil telah tersangkut pohon bahkan segelondongan kayu.
Untuknya 8 jam kemudian akhirnya air dirumah menyusut. Akupun segera beranjak ke lokasi untuk menghilangkan penasaran. Tiba-tiba aku dikejutkan kembali dengan 2 keranda yang diusung kanan kiri orang tanpa alas kaki. Herannya orang yang mengikuti hanya beberapa saja. Aku mencoba mendekati salah seoarang mengikut, dan segera bertanya, ”pak apakah ini bagian dari tragedi gintung,”ucapku. Benar pak, orang tersebut menjawab, ”ini sepasang suami istri yang tewas,”pungkas bergegas ke pemakamanan.
Aku hanya dapat menarik nafas panjang.”Saya turut berduka pak,”ucapku menuruskan perjalanan sesuai rencana. Ketika memasuki area lokasi, ternyata tidak mudah. Aku harus berhadapan dengan penjaga dan ribuan masyarakat yang padat. Motorku saja harus dipakirkan dibahu jalan raya. Aku berlari menuju lokasi. Setiba disana. ”Innalillahi,”mata tak berkedip sesaat. Pemukiman tempat bermaianku dulu kini hanya genangan air kotor, dan puing-puing rumah. Kaki lemas dan diam membisu. ”Ya, Allah cobaan apalagi kini. Tempat bermainku dulu kini rata dengan tanah. Bagaimana nasib teman-teman semasa kecilku dulu. Bukankah warga telah mengantisipasi sejak 3 tahun lalu untuk mendesak Pemda setempat untuk memperbaiki situ tersebut.
Jum’at itu mataku hanya berkaca-kaca dan tak dapat berbuat banyak. Dua jam disana aku hanya seperti lainnya yaitu hanya menyaksikan kedasyatan ujian dari Sang Khalik. Dalam perjalanan pulang mata terus berkaca-kaca. ”Ya..Alllah aku tak berbuat banyak. Musibah ini begitu cepat. Bagaimana nasib teman-temanku semasa Sekolah Dasar (SD) dulu. Semoga mereka tercatat diantara orang-orang yang mulia disisiMU”.