Oase Iman

Sesampainya di toko beliau yang menjual buku-buku Islami, Ibu itu segera memberikan uang kembalian saya. Saya kemudian meminta izin untuk melihat buku-buku di toko beliau.

Aku sering melihat para pentakziah tertawa dan bercanda di sana satu sama lain. Seolah kematian seseorang merupakan acara komedi yang dapat mengundang sejuta tawa.

Jawaban yang membuat diri dan hati ini terdiam, berusaha untuk menyadari, betapa diri ini terkadang diliputi rasa takut akan kehilangan dan kekurangan. Aku benar-benar kagum.

Saya termangu. Rupanya itulah batas wakil rakyat dan politik di mata beliau. Sederhana sekali. Beliau juga seolah sudah makhfum sekali dengan kondisi yang terjadi.

Alhamdulliah, ketika saya berkata seperti itu sopir yang mengemudikan angkot yang saya tumpangi berjalan semestinya. Normal. Perlahan-lahan tapi pasti. Tidak seperti tadi.

Mentariku, kita memiliki harta yang paling berharga di dunia ini, kedua anak kita tercinta. Mereka adalah investasi akhirat kita kelak. Pendidikan mereka adalah tanggung jawab kita berdua.

Dua tahun lebih saya tinggal terpisah dengan keluarga. Setahun di Pangkal Pinang, kemudian setahun lebih di Banda Aceh. Sekitar sebulan sekali saya mengusahakan diri untuk pulang ke Jakarta.

Dan yang membuat saya terkesan, pak Amin tidak mau tinggal di rumahnya yang mewah, berpakaian mewah dan menghabiskan masa tuanya dengan santai. Ia malah memilih gubuk kecil.

Dulu sebelum keberangkatan saya ke negeri Kinanah ini saya sempat kenal dengan seorang gadis yang sekilas tampak anggun, cantik dan menawan, ia menarik hati saya.

Menurut pengalaman saya selama di keramaian, mengawasi satu anak saja sulitnya bukan main. Apalagi jika sampai puluhan anak. Wow! Jangan-jangan ada yang tidak terawasi.