Oase Iman

Dan aku bukan pedagang kelontong yang selalu memaknai setiap memberi harus menerima, hidup terlalu sempit untuk selalu dimaknai sebagai transaksi rugi – laba.

Mauritus, sebuah Negara kepulauan yang sangat kecil di tengah luasnya Samudera Hindia. Besarnya mungkin hanya 3/4 kali Bali dengan jumlah penduduk yang tidak sampai 15% warga DKI Jakarta di siang hari.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan…

Namun pertanyaan itu begitu menghentak, betapa setiap orang beriman akan mendapatkan beragam ujian. Salah satunya berkenaan dengan amanah berupa anak.

Ada banyak hikmah yang bisa saya petik. Allah adalah dzat yang maha kaya dengan kebaikan. Kebaikan Haji Sarbini menghantarkan kami pada keberhasilan meniti hari-hari perkuliahan.

Fungsi Masjid yang seharusnya untuk pusat kegiatan umat Isam, kini bisa dikatakan hanya pelengkap atau simbol bahwa di tempat itu mayoritas warganya adalah beragama Islam.

Kesan ziarah pertamaku ke makam Imam Syafi’i terasa kurang menyentuh. Aku lebih merasa berkesan saat berada di pusara tanpa nama itu. Sungguh aku merasa ngeri.

Beberapa tahun berlalu sudah. Perjuangannya tidaklah sia-sia. Sang ayah dapat meraih gelar doktor, anak-anaknya pun kini telah menjadi lelaki-lelaki dewasa yang mandiri.

Dengan musibah ini aku bisa lebih peka dengan keadaan sekitarku, aku bisa lebih peduli dengan orang-orang yang mungkin hari ini bisa makan dan besok mungkin berpuasa karena tidak punya uang untuk makan.

Setelah sekian lama kita bersama, sudahkah kita saling mengenal? Adakah engkau bahagia hidup bersamaku? Setidaknya senantiasa muncul dari lubuk hatiku, untuk lebih dan lebih mengenalmu.