Oase Iman

Jogja sedang menggeliat panasnya. Awan biru cerah menggantung jagad raya. Tak lupa Alloh mengirimkan semilir angin untuk sejenak menghapus buliran keringat hamba-hamba-Nya siang ini.

Ketika dua orang aktivis kampung kami menikah, juga Sya’ban setahun sebelumnya, lagi-lagi dua orang aktivis kampung kami sendiri. Ada kebahagiaan dan keharuan, tapi juga sedikit kekhawatiran.

Kita itu muslim namun malah menjadi terbiasa dengan kata sapaan “Hey, apa kabar?”, atau “Duluan ya.. dadaa..” tanpa tambahan “Assalamualaikum”.

Dengan sopan pramuniaga yang tadi mematung berkata kepadanya, “Ma’af, ibu tidak bisa membeli kue tart ini karena mengandung alkohol”. Dug, ia kaget mendengar jawaban itu.

Menengok ke belakang rumah, ketidakteraturan lebih jelas terlihat. Awalnya banyak tanaman di sana. Mulai dari cabe, talas, singkong, pepaya, pisang, mangga, katuk.

Halnya orang yang sedang lagi kasmaran. Alias, jatuh cinta. Tidak peduli sikon. Mau ada angin puting beliung atau hujan badai tetap aja dilakoni.

Kita memiliki identitas yang tidak dimiliki oleh umat lain. Yang paling membedakan adalah keimanan di hati kita. Tidak akan ada satu agama pun di dunia ini yang akan menyamai keimanan kita sebagai seorang muslim.

Pagi ini, ketika sedang online di depan komputer, seorang sahabat menyapa GTalk, bahwa salah seorang kenalannya (dan juga kenalan saya) di Facebook, berpindah keyakinan.

Sementara beberapa Dai lainnya berusaha tetap teguh dalam jalan namun terpentok dalam masalah dana merasa dirinya lemah. Ada pula yang tidak punya massa, kemudian merasa tak berdaya

Banyak orang kerap menyayangkan keputusan Tari untuk menjadi full time mother, mendesaknya mengambil S2, bekerja di luar dan sebagainya, tetapi Tari tetap bangga dan yakin dengan pilihannya.