Pagi ini saya berangkat kerja dengan perasaan malas. Terutama bila mengingat jarak tempat kerja yang lumayan jauh.
“Kau harus semangat, De, kalau kita semangat dan pekerjaan bisa selesai dengan cepat, kau kan bisa pulang lebih awal. Kita bisa bertemu di rumah lebih cepat juga. Jangan tertinggal dengan orang lain,” suami saya langsung tanggap ketika melihat gerakan saya yang lamban dan tidak bersemangat ketika akan berangkat.
Duh, tiba – tiba saya teringat akan suasana kerja yang tidak kondusif belakangan ini. Saya tidak bersemangat setiap memulai hari. Hal itu semakin terasa setelah beberapa orang teman berhenti dari perusahaan ini dikarenakan berbagai alasan. Belakangan saya terhanyut dengan situasi itu. Sekarang saya tengah rajin membuat peta kompetensi. Dengan begitu saya berharap bisa dapat petunjuk ke arah mana karir saya akan berlanjut. Saya tidak ingin tertinggal jika kelak ada perubahan mendadak dari manajemen.
****
Di bawah jembatan penyeberangan yang berfungsi sebagai halte, saya berdiri menunggu bus yang akan membawa saya ke tempat bekerja. Debu beterbangan, knalpot mengeluarkan asap yang menyesakkan. Di tengah situasi seperti itu, beberapa orang polisi dengan setia bertugas. Berdiri di tengah keruwetan lalu lintas yang padat berdesakan.
Beberapa menit setelah saya berdiri, lalu lintas diujung jembatan sana sepertinya makin terhambat. Rupanya sebuah mobil angkot tengah memperlambat laju sehingga memperparah kemacetan. Suara klakson bersahut–sahutan melengking tinggi memekakan telinga. Mereka tak sabar meminta jalan.
Entah mengapa, perasaan saya ikut terbawa juga dengan situasi itu. Saya agak kesal melihat kejadian yang bising dan ruwet tersebut. Polisi berjalan menuju sember kemacetan. Saya berfikir: sopir angkot itu pasti akan ditilang. Dan menurut saya itu sudah sewajarnya untuk dilakukan.
Kemudian, mobil angkot itu melaju sangat pelan sekali. Ternyata sopirnya tidak berada pada kemudi. Dia sedang terengah–engah mendorong mobil yang memuat beberapa penumpang wanita. Oh! Ternyata mobil tersebut mogok, dia bukan dengan sengaja membuat kemacetan. Yang lebih menakjubkan, pak polisi membantu mendorong mobil tersebut dari arah belakang dengan sekuat tenaga. Mereka berdua bekerjasama agar mobil bisa dibawa ketepi. Sementara itu, di belakang mereka suara klakson masih melengking tinggi, seolah tak perduli dengan kesulitan yang menimpa di hadapannya.
Saya telah salah menduga. Men-genarilisir tentang suatu peristiwa pada prasangka yang negatif. Sopir itu tak sengaja membuat kemacetan, dan polisi tersebut tidaklah hendak memberikan surat tilang. Beliau malah memberikan suatu pertolongan. Kebaikan yang tidak saya duga sebelumnya.
Pada pagi yang ruwet menurut versi saya itu, beliau telah bersedekah dengan tenaganya. Jabatan yang dimilikinya tidaklah mengunci hatinya untuk berlelah – lelah membantu seseorang yang tidak dikenalnya. Tulus! Kata itulah yang tepat dilekatkan pada hatinya.
Aha! Mungkin ini yang menjadi penyebab kemalasan saya. Saya harus memeriksa sudut–sudut hati saya. Mungkin kekurangtulusan saya yang menyebabkan saya enggan berangkat ibadah menjemput rizki dengan semangat. Belakangan ini saya tidak enjoy menjalani hari–hari pada pekerjaan. Saya lebih tertarik mendengarkan gossip tentang karyawan yang sudah keluar dan yang akan keluar. Saya terlarut dalam suasana yang tidak terkendali, dalam kekhawatiran yang seharusnya saya paham untuk menghindarinya. Saya tidak tulus menerima suasana kerja yang tengah berubah. Padahal, kemungkinan besar adalah bukan iklim kerja yang berubah, namun sudut pandang saya tengah mengalami pergeseran. Saya harus bergerak untuk menggeser sudut pandang saya kepada posisi yang tepat. Meyakinkan kembali kepada tujuan hakikatnya bekerja. Kemudian, saya harus mengawal terus keyakinan itu. Setelah itu, biar Allah memilihkan yang terbaik untuk saya.