Bis jurusan Merak-Pulogadung itu meluncur di jalan tol layang Tanjung Priok. Dari ketinggian tampak jelas langit Jakarta yang sore itu biru cerah. Ada jejak asap di sebelah barat. Sepertinya jejak asap pesawat jet. Dulu sewaktu kecil aku mengira itu kentutnya pesawat terbang. Ketika agak besar sedikit, aku mengira bahan bakarnya yang bocor. Aku tersenyum geli juga jika mengenang kepolosan masa kanak-kanak dulu.
"Wah, indah ya, Mas!" ujar seorang kawan yang duduk di seberang bangkuku. Kali ini bis antarkota ini tak begitu ramai. Suaranya menyadarkanku yang tengah merenung. Dalam perjalanan aku senang merenung. Teman-temanku bilang sih bengong. Entahlah, meski sepintas sama, sebetulnya keduanya punya makna yang berbeda secara signifikan.
"Apa, Mbak?" Aku masih belum ngeh dengan maksudnya. Pikiranku sedang melayang entah ke mana. Hari itu kami bersebelas menumpang bis dari sebuah acara kunjungan di luar kota. Tepatnya menghadiri diskusi bersama seorang tokoh penulis nasional untuk studi banding Pondok Baca yang akan kami dirikan.
"Itu jejak asap pesawat itu!" sang kawan yang akrab kupanggil ‘Mbak’ mengarahkan telunjuknya ke arah Barat. "Indah ya?"
Aku mengarahkan pandangan ke arah telunjuknya mengarah. Ya, jejak asap putih memanjang ratusan meter seakan ekor ular yang panjang yang hendak merayap naik ke langit. Subhanallah. Pemandangan sederhana yang sebenarnya cukup menggetarkan.
"Tapi aku jadi ngeri, Mas, " kata si Mbak lagi. Ngeri? Apakah ia alergi asap? Atau fobia ketinggian? Terkaku bertubi-tubi dalam benak.
Kawan satu organisasi ini lantas bercerita pengalamannya naik pesawat terbang dari Solo ke Jakarta. Betapa ia menangis dan berdoa sekuat-kuatnya tiapkali pesawat take-off dan landing. Betapa ia sangat takut nyawanya akan dicabut. Betapa ia tak ingin menjemput kematian dalam kondisi seperti para penumpang Adam Air yang hilang di perairan Makassar atau yang terbakar di landasan Adi Sucipto, Jogjakarta beberapa waktu lalu.
"Mbak takut ketinggian ya?" selaku di tengah ceritanya yang sangat dramatis. Kadang jika ia bercerita, aku seakan merasa hatiku sangat kotor. Betapa tidak. Hanya karena seorang kawan meminta maaf selepas perdebatan yang "lumrah" dalam sebuah organisasi, ia bisa menitikkan airmata. Ah, rasanya aku merasa hatiku ini terlalu batu. Apalagi jika ia bercerita betapa dalam sholat malamnya ia dapat lebih menangis tiap kali mengenang masa lalunya. Ia memang seorang mu’allaf, yang masuk Islam setelah lima tahun mempelajari berbagai agama di Indonesia lewat buku-buku dan diskusi intensif. Sampai kini ia masih merahasiakan agama barunya itu karena tekanan keluarga besarnya. Sungguh suatu pengembaraan rohani yang panjang dan mengayakan.
Ia tersenyum malu. "Iya, aku takut ketinggian, Mas. " Wajahnya tersipu memerah. Persis seperti sewarna lembayung senja di ufuk barat. "Tapi aku malah bersyukur. Coba kalau aku tak fobia ketinggian barangkali aku jadi lupa berzikir dan malah asyik ngobrol. Lupa dengan Allah. Jika pesawat itu jatuh, gimana? Iya kan?"
Aku tertegun. Benar juga, pikirku dalam. Kadang pada apa yang kita takutkan kita justru menemukan apa yang kita cari. Ketika kita dihadapkan dalam kondisi sulit, kita tak dapat lantas menyalahkan Allah. KarenaAllah bisa jadi punya rencana terbaik buat kita yang jalannya harus melalui sesuatu yang kita anggap buruk itu.
Aku jadi teringat sebuah cerita yang pernah aku baca semasa SMP.
Alkisah, ada dua orang dihadapkan dengan malaikat. Keduanya akan diputuskan apakah masuk surga atau neraka. Salah satunya adalah seorang pemuka agama. Yang lain seorang pencuri kelas teri.
Malaikat itu menatap keduanya tajam. Sang pemuka agama tersenyum bungah, yakin ia bakal masuk surga. Si pencuri gemetar kedinginan. Ia sudah membayangkan akan seperti apa daging tubuhnya digarang dalam panasnya neraka.
"Kau!" ujar Malaikat menunjuk Pemuka Agama dengan kasar. "Masuk neraka!" Sang Pemuka Agama terkaget-kaget.
Si pencuri tambah pias mukanya. Sang Pemuka Agama saja yang tiap hari berkhotbah kebaikan malah masuk neraka bagaimana dengan dirinya? Tubuhnya kian menggeletar ketakutan. Nyalinya ciut seciut-ciutnya.
"Kau, silakan masuk surga!" Malaikat menyilakan ia memasuki surga dengan pandangan ramah dan suara lembut.
Sang Pemuka Agama protes. Si pencuri pun sudah pasrah jika keputusan tadi dianulir.
"Kau tahu kenapa engkau masuk neraka?" tanya Malaikat kepada Pemuka Agama.
"Tidak. Justru itu saya protes. Setiap hari saya berkhotbah mengajak orang ke jalan kebaikan. Kenapa malah saya yang masuk neraka? Bukan si pencuri tengik yang keberadaannya meresahkan masyarakat?!"
"Tapi ketika kau berkhotbah, engkau melakukannya dengan pamrih dan ingin dipuji. Lagipula ketika kau berkhotbah, orang-orang malah bosan mendengarnya bahkan tertidur sehingga mereka lupa mengingat Tuhan, " tegas Malaikat. "Tapi si pencuri ini mencuri dengan penuh ketakutan. Ia tak bakal mencuri jika ia punya cukup uang untuk makan atau ada yang berbelas kasihan kepadanya. Lagipula karena keberadaannya orang-orang jadi terjaga di tengah malam dan selalu menyebut nama Tuhan. "
Paradoks dan ironis bukan? Itu sebuah kisah lelucon. Namun, bagiku, maknanya dalam. Sama menggetarkannya seperti ketika membaca cerpen legendaris Robohnya Surau Kami karya AA Navis yang dengan gaya ironi melukiskan seorang penjaga masjid (‘Garin’ dalam bahasa Minang) yang giat beribadah namun mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ia yang merasa dijamin masuk surga karena aktivitasnya di ‘rumah Tuhan’ merasa tergedor ketika salah seorang tetangga, Ajo Sidi, menceritakan mimpinya bahwa banyak orang Indonesia yang taat beribadah namun kelak justru masuk neraka karena Tuhan menganggap mereka hanya sibuk beribadah dan malas bekerja sehingga Indonesia menjadi negara miskin.
Cerpen yang dipublikasikan pada 1950-an itu sendiri awalnya digugat banyak orang yang merasa persepsi keberagamaannya terusik. Namun pada akhirnya mereka pun menyadari bahwa ironi yang disajikan AA Navis itu memang benar adanya. Beribadah bukan hanya dalam bentuk ritual sholat, kebaktian atau sembahyang di pura tapi juga dalam amal karya nyata di masyarakat.
Ah, menyingkap makna kehidupan di balik kejadian memang bukan pekerjaan mudah. Hanya orang-orang yang punya kebeningan hati dan ketulusan yang dapat melihat makna yang tersimpan di balik segala sesuatu. Ketika musibah bertubi-tubi menimpa setiap orang dapat dengan mudah mengatakan, "pasti ada hikmahnya." Benar. Tapi seberapa banyak yang mampu dengan jujur mengambil hikmah apa yang tersembunyi itu?Dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama bodohnya seperti keledai?
Sore itu rasanya lelahku lenyap. Dialog sore tersebut sungguh sebuah dialog kehidupan, dialog tentang makna hidup dan menghidupkan hati nurani. Bukankah Allah sudah menjamin bahwa hanya orang-orang yang beriman (the true believers) yang dikaruniai basyiroh (inspirasi dan firasat) yang tajam dan kebeningan hati akan makna kehidupan? Sebuah karunia yang tidak mendadak turun bak hujan dari langit namun yang diperoleh lewat olah rasa dan kejujuran dalam memaknai setiap kejadian dalam hidup.
Jakarta, 16 Maret 2007 -saat pagi bening–
http://nursalam. Multiply. Com