Setiap perjalanan pulang ke tempat tinggal orang tua dengan menggunakan jasa angkutan kereta api, ada hal rutin yang saya akan jumpai dan akan menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Yup lalu lalang dan hiruk pikuk pedagang-pedagang kecil yang menjajakan berbagai macam penganan tradisional khas Sumatera atau roti-roti yang sudah cukup modern, juga minuman kemasan dengan berbagai merk yang beragam.
Hampir setiap waktu suara – suara yang khas itu akan mampir ditelinga saya, selain rentetan pengamen – pengamen yang silih berganti menghibur dengan lagu yang kadang sekedarnya alias asal bunyi yang kadang membuat sakit telinga orang yang mendengarnya .
Menyaksikan ibu – ibu yang umurnya mungkin sekitar 40-an dengan tak letihnya atau capek menurut saya dengan segala dagangan dan penganan yang ia jajakan membuat saya begitu takjub melihatnya, bapak-bapak dengan baju yang sekedarnya alias sudah lusuh dan berubah warna dengan tangan yang mengangkat ember minuman air mineral, anak-anak kecil dan lelaki muda yang menawarkan segala macam makanan kecil dan rokok.
Saya cukup yakin pekerjaan ini hampir setiap hari mereka lakukan, dan telah menjadi mata pencaharian untuk mencukup kebutuhan hidup dan mengepulkan asap dapur agar kehidupan terus berlanjut.
Bapak – bapak dengan wajah kelelahan yang terpancar dari sembutar raut wajahnya, mungkin begitu beratnya kehidupan yang mereaka alami, bahkan anak-anak kecil yang kadang-kadang sering melontarkan umpatan-umpatan kotor, entah bagaimana dan dari mana mereka mempelajarinya.
Melihat semua itu saya sedikit berandai – andai untuk menjadi mereka, setiap hari berjalan dari satu gerbong ke gerbong yang lain. Turun dari satu kereta kereta yang lain, dan harus sabar untuk bersaing mencari pembeli dengan persaingan yang terjadi dengan sesama pedagang di kereta.
Entahlah berapa penghasilan sehari yang mereka terima, puluhan ribuankah, ratusan, atau jutaan. Sebesar penghasilan orang-orang penting yang sering muncul dilayar kacakah. Apakah bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang saya rasa semakin lama semakin mencekik.
Ah saya rasanya bukan orang-oarang hebat seperti mereka, kadang kala saja saya begitu sering mengeluh karena kiriman orang tua yang saya anggap terlalu kecil untuk keperluan hidup saya di perantauan, dan tak pernah berpikir untuk menambah sendiri pengahasilan.
Saya jadi teringat dengan ucapan bocah bintang film cilik di sinetron kiamat Sudah Dekat
” Syafeei, kata ibu aku, ketika aku pernah bertanya kenapa Alllah itu menjadikan kita orang yang miskin, bukan berarti Allah ngak sayang sama kita. Justru begitu sayangnya Allah sama kita, makanya Ia menjadikan kita miskin, karena Allah tau kita sanggup untuk menjalani kehidupan yang miskin, dibandingkan dengan orang lain”
Ya pedagang-pedagang kecil di kereta dengan penghasilan yang tidak seberapa mungkin, adalah orang – orang hebat yang tak pernah muncul dilayar kaca atau surat khabar, karena anugrah kehebatan dan kedahsyatan untuk menjalani kehidupan sederhana itu langsung di berikan sendiri dari sang Maha Pencipta, karena Allah tahu orang-orang itulah yang dapat melakukannya. Jadi selamat atas anugerah itu.