Orang itu hanya mampu mengikuti langkah kakinya sesuai dengan mata batinnya. Panas, hujan, lapar dan haus tak menjadi soal. Sesekali ia memungut barang apa saja yang terlihat. Ia kumpulkan dalam satu ikatan kain bahkan kantong plastik. Jika kita bertanya, sudah berapa lama ia hidup di jalan? Jawabnya, lihat saja dari isi gulungan kain yang dibawa dan kantong plastik besar yang dijijingnya. Jika sudah penuh barangkali, sudah berbulan-bulan atau bertahun-tahun ia hidup di jalanan.
Orang gila atau orang tak waras, begitu biasanya kita memangilnya. Kulitnya kelam dan kotor dibiarkan terbuka. Batas kemaluan saja hanya dibalut kantong plastik yang diubah menjadi celana favorit. Ketika itu ia duduk dipinggiran solokan sepanjang jalan Ciputat menuju ke Parung. Kali ini celana plastik, ia letakkan tak jauh darinya. Untungnya alang-alang menutup tubuhnya, setidaknya jika ia duduk atau jongkok, tak terlihat tubuh kurus tanpa sehelai benang. Kira-kira, pria tiga puluhan ini sangat menikmati sekali hidupnya. Ia turun dari solokan kecil dan mulai melakukan aktifitas pagi, yaitu mandi. Dengan air yang sudah berwarna ke abu-abuan, ia guyurkan ke sekujur tubuhnya.
Hidupnya hanya milik seorang. Ia tak perlu lagi memikirkan saudara, tetangga bahkan negara sekalipun. Entah kenapa dengan pria tersebut. Depresi karena di tinggal pergi kekasih, orang tua atau obsesi yang tak kunjung datang. Tak seorang yang tahu. Ke mana dengan sanak saudaranya ? mereka tak menghiraukan nasibnya.
Melihat hal tersebut, sepanjang jalan pastinya kita sering melihat fenomena ini. Ada yang setengah telanjang ada yang tidak mengenakan satu helai benang. Pernahkah kita melihat orang yang berprilaku sama dengan kucing kesayangannya ?. Tepatnya di Pasar Parung, ada seorang pria berperawakan sedang mengendong seeokor kucing, gemuk dan bersih. Ia tersenyum, seakan-akan ia mengendong seorang bayi montok.
Namun kali ini berbeda, pria tersebut tak membawa gulungan kain sebagai tas. Walau kumuh dan compang-camping, tapi cara berpakaianpun masih sopan, Herannnya kucing tersebut tidak berontak, dan masih tetap manis digendong majikannya. Berbeda dengan majikannya ia hanya melangkah dengan tatapan kosong, namun sesekali ia tersenyum pada kucing kesayangannya.
Lain hal dengan kisah wanita paroh bayi ini. Dengan pakaian compang camping ia hanya duduk di trotoar jalan kawasan kota, sambil memberikan makan kepada ketiga anak kucing yang terikat lehernya dengan tali rapia. Mirip seeokor Anjing. Ibu ini sangat prihatin, jika salah satu anak kucing pergi, ia tak segan menarik hingga anak kucing tersebut kembali kepangkuanya. Ketiga anak kucing tersebut nyatanya cukup riang. Ia tak peduli dengan majikannya. Seekor lainnya nampak sibuk dengan permainan tali rok yang terurai. Ibu tersebut tak peduli dengan orang sekitarnya, yang sesekali lewat sambil melemparkan makan apapun pada ketiga kucing kurus tersebut.
Melihat peristiwa ini, aku teringat pada perkataan seorang dokter tentang perilaku orang gila. Jika kita melihat, orang gila yang bugil, ia akan menjawab bahwa sudah memasuki stadium empat, berarti otak sudah tak mampu berkata malu. Jika masih berpakaian walau compang-camping, ia masih memasuki stadium tiga. Jadi otaknya masih mau menerima panas dan dingin. Tinggal kita coba terapi insentif dengan memperhatikan dan peduli dalam waktu cepat dapat membangkitkan gairah hidup mereka.
Jika merujuk pada UUD 45 PASAL 34 menyebut fakir miskin dan anak-anak terlantar katanya dipelihara oleh negara. Tapi bagaimana dengan nasib orang gila?. Konon banyak orang gila banyak dibuang oleh orangtuanya atau pihak RS di daerah Tangerang dan Bogor. Jika benar ini menjadi PR besar Pemrov.
Idealnya Pemprov maupun Kabupaten/Kota dinilai harus maksimal memperhatikan mereka. Bukannya dinas kesejahteraan sosial secara nyata sudah mengalokasi anggaran dan pembinaan mereka?.
Kini kesedihan mereka sebenarnya kepiluan kita. Jika yang kita lihat itu saudara kita ? Apakah kita acuh tak acuh. Wahualam Bishawab.