Situasi di kamar pijat antara Kang Kandar dan Pak Kapolres ternyata diketahui oleh para pejabat korup di kabupaten tersebut. Mereka dapat mengendus bahwa Kang Kandar, konon menyimpan seabrek rahasia pribadi yang dibicarakan bersama Kapolres. Hingga pada gilirannya, dari Pak Bupati, beberapa kepala dinas dan pengusaha seperti kontraktor atau broker proyek, ikut menggemari pijatan Kang Kandar. Sontak saja, mereka minta Kang Kandar membeberkan informasi apapun yang disampaikan kepala kepolisian di kabupaten tersebut.
Mula-mula Kang Kandar mencoba bungkam. Ia sangat menyukai profesi memijat, dan tak mau profesi kesayangannya itu dikotori oleh urusan politik. Tetapi, lama kelamaan toh bobol juga, terutama ketika beberapa orang merayunya sambil memberi sedikit tekanan.
Namun, bukan karena alasan itu Kang Kandar berhenti keliling untuk memijat pasiennya. Ia merasa sudah waktunya dunia pijat-memijat dijadikan usaha serius. Ketika anak-anaknya sudah beranjak remaja, maka kebutuhan keluarga pun kian menuntut hal-hal yang realistis.
“Aku akan bikin rumah pijat di sebelah pangkas rambut milik Pak Majid,” kata Kang Kandar kepada istrinya.
“Di sekitar pertigaan Jombang? Apa nantinya bisa laku, Pak?” tanya istrinya sangsi.
“Kan di sekitar itu banyak pegawai pabrik yang lalu lalang, belum lagi yang bermobil, ditambah pasien-pasien yang sudah jadi langganan,” tegas Kang Kandar.
Perkiraan Kang Kandar sungguh tepat. Di sekitar pertigaan itu berduyun-duyun orang datang ke rumah pijatnya, dari para pedagang, sopir angkutan, para pegawai pabrik, hingga para penanggung jawab keamanan dan ketertiban kota. Pukul delapan pagi Kang Kandar sudah membuka rumah pijatnya dan pukul enam sore ia tutup. Setiap hari ia bisa memijat lima hingga tujuh orang.
Pada hari Jumat ia meliburkan diri, tetapi tidak menolak apabila ada pejabat tinggi memanggilnya untuk dipijat di kediamannya seraya bisik-bisik minta informasi mengenai apa-apa yang telah dibicarakan dengan Pak Kapolres. Pada malam Minggu, dan setelah rehat sejenak ia pun mendatangi rumah Pak Kapolres. Seperti biasa, Pak Kapolres tidak berubah, di sela-sela pijatannya, ia selalu mengumbar cerita tentang segalanya.
Setelah empat tahun lebih memanfaatkan jasa Kang Kandar, Pak Kapolres menghadiahi Kang Kandar agar berangkat umrah bersamanya. Seketika Kang Kandar terkaget-kaget, namun dengan cepat ia dapat membaca bahwa perjalanan umrah maupun haji adalah ibadah yang sangat melelahkan, sehingga membutuhkan pijatan bagi tubuhnya.
Ternyata, perkiraan itu tak meleset. Di sela-sela ibadah, apabila lelah mencengkeram, Pak Kapolres tak segan memanggil Kang Kandar untuk memijat badan, kaki dan tangannya.
Di tanah suci Makkah, Kang Kandar merasakan hidup yang indah dan nikmat luar biasa. Ia tak merasa lelah seperti halnya Pak Kapolres yang memang sudah lanjut usia. Ia merasa senang meskipun diminta untuk memijat kaki Pak Kapolres manakala ia harus berjalan kaki puluhan kilometer mengelilingi Ka’bah, bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwa, hingga jalan-jalan ke Padang Arafah dan Jabal Rahmah.
Kang Kandar tetap tersenyum di sepanjang perjalanan umrah. Namun, sepulang dari umrah tersebut ia terheran-heran mendapati istrinya mengeluh dan cemberut. Seketika ia bertanya-tanya mengapa istrinya bersikap tidak seperti biasanya?
Kang Kandar baru mengerti kemudian, bahwa ternyata sebuah salon bergaya modern telah berdiri di antara warung Bi Siti dan kedai kopi milik Pak Salim. Istrinya uring-uringan, khawatir rumah pijatnya sepi karena salon baru itu tidak hanya menyajikan potong rambut, tapi sekaligus menyediakan layanan memijat. Beberapa pelanggan setianya sudah mulai bertanya-tanya serta melirik ke arah salon tersebut.
Ya, salon baru itu adalah ancaman serius bagi istrinya, tetapi Kang Kandar tetap saja tersenyum, “Tak usah khawatir, rezeki itu sudah ada yang ngatur. Setiap orang sudah ada bagiannya masing-masing.”