Sore yang cerah! Saya, dan dua orang sahabat dariBatam dan Yogya; Lina dan Ulfah rencananya akan memanfaatkan waktu rehat untuk hunting kuliner ke daerah Margonda, tak berapa jauh dari asrama kami di P4TK Srengseng Sawah. Dari asrama yang letaknya agak terpencil, kami harus berjalan kaki sekitar 300 meter menuju jalan besar, lalu melanjutkan perjalanan dengan angkot.
Ini adalah kali pertama saya naik angkot di Jakarta. Ternyata bentuk angkotnya persis seperti angkot yang ada di Sengata. Penumpang di belakang duduk saling berhadapan. Beberapa kali kami terpaksa menolak angkot yang berhenti, karena tidak memungkinkan untuk kami bertiga duduk di sisa tempat duduk yang ada. Lina menjadi penunjuk jalan, karena ia memang pernah menetap di ibukota. Sedangkan saya dan Ulfah, hanya nunut-nunut saja.
Beberapa kali angkot berhenti menaikkan penumpang. Kami harus duduk super hemat dengan jurus mengecilkan tubuh. Alhamdulillah, waktu itu tidak ada penumpang laki-laki, hingga kami bisa bebas duduk berhimpitan.
Tiba-tiba ketika angkot bergerak pelan karena jalan mulai macet, seorang pengamen kecil meloncat ke dalam angkot. Ia lalu duduk di kursi kayu tepat di belakang supir menghadap pada kami. Tak berapa lama seorang lagi ikut meloncat masuk, namun karena sudah tidak ada tempat duduk, ia lantas duduk di depan pintu angkot.
Penampilan dua pengamen kecil itu sungguh menarik perhatian saya. Rambut acak-acakan berwarna biru dan merah terang dengan kedua telinga di tindik dipasangi ring besar warna hitam. Gaya punk yang sungguh tidak cocok dengan anak seusia mereka. Dengan gitar kecil dan kerincing sebagai senjata, mereka mendendangkan lagu untuk kami, penumpang angkot menuju Margonda.
“ Permisi kepada pak supir. Selamat sore para penumpang sekalian.. “ ujar pengamen kecil yang duduk tepat menghadap ke arah kami. Suaranya nyaring namun sedikit parau. Mungkin pita suaranya mulai serak karena kebanyakan sudah lagu yang di keluarkannya. Lalu dengan petikan gitar kecil dan iringan kerincingan yang dibunyikan temannya, ia mulai angkat suara bernyanyi.
Aku mentari tapi tak menghangatkanmu Aku pelangi tak memberi warna di hidupmu Aku sang bulan tak menerangi malammu Akulah bintang yang hilang ditelan kegelapan Bla..bla..bla…
Hanya satu bait itu yang sempat terekam dalam ketikan jari saya di hp. Selanjutnya saya hanya tenggelam dalam curi pandang kepada sosok pengamen kecil tersebut.
Ia begitu bersemangat mengeluarkan suara. Menghasilkan bunyi serak yang melengking. Jauh dari kata indah. Sebagian penumpang lain nampak cuek dengan kehadiran mereka. Mungkin sudah terlalu sering mereka bertemu dengan pengamen-pengamen kecil di atas angkot. Berbeda dengan ‘orang asing’ seperti saya, yang malah terpaku memperhatikannya.
Belum pernah saya menjumpai ada pengamen kecil seperti mereka di Sengata. Hanya beberapa dewasa bergitar yang bernyanyi di wilayah Town Hall, tempat sentra jajanan satu-satunya di Sengata. Itupun hadirnya hanya pada hari – hari tertentu, biasanya malam minggu atau hari libur lainnya.
Ada gores pilu dalam hati, ketika melihat sosok kecil seperti mereka harus turut berlari mencari rezeki. Apalagi dengan penampilan yang menurut saya, sungguh tidak pantas untuk ukuran mereka. Inikah yang dinamakan kehidupan kejam ibukota? Ketika untuk mencari rezeki sudah tidak ada lagi batasan usia?
Saya terhentak ketika si pengamen kecil yang di depan pintu tiba-tiba menyodorkan bungkus permen kehadapan saya. Rupanya lagu telah selesai dan saatnya meminta bayaran atas nyanyian mereka. Saya menyodorkan lembaran rupiah ke dalam kantong yang terdapat beberapa logam ratusan, pemberian penumpang lainnya. Ketika melihat lembaran dari saya, matanya langsung berbinar dan senyum lebar muncul di bibirnya. “Terima kasih, bu…” ujarnya kegirangan.
Setelah mengedarkan kantong bekas permen tersebut, kedua anak pengamen itu lalu berloncatan keluar sambil tertawa-tawa. Sibuk nampaknya mereka menghitung jumlah rezeki di tangan yang tentunya tidak seberapa.
Saya dan kedua sahabat akhirnya tiba di tempat tujuan. Menikmati sore sambil menyantap mie Aceh yang rasanya sangat istimewa. Entah mengapa, saya tetap saja merasa ada yang kurang. Masih ada pilu di sudut hati ketika bayangan sosok kecil yang saya jumpai dalam angkot tadi perlahan berkelebat. Saya bermohon padaNya, semoga suatu hari nanti, ada nyanyian indah yang dapat mereka lantunkan tanpa harus berkeliaran di jalanan seperti sore ini. Amiin.
* untuk dua sahabatku di FLP; Lina dan Ulfah. Really miss u, ukhti! Terima kasih telah mengajakku ‘berkelana’.
Http://yunnytouresia.multiply.com