Nurani Fitri Seorang Bencong di Berlin

Manusia bukan malaikat. Ada satu masa dalam hidupnya ia khilaf. Tapi hamba yang beriman, bukanlah makhluk yang hobi berbuat khilaf. Setiap kekhilafan itu menjadi keterlanjuran, ia ingat Allah lalu meratapinya sambil mengiba pada Allah agar mengampuni keterlajuran ini.

Ketergelinciran karena harta, karena makanan, karena keluarga dan intinya tergelincir karena godaan hawa nafsu yang berasal dari syaithan. Tema pokok inilah yang masih teringat oleh kami yang tiap pagi hari kami dapatkan di masjid kami yang berlabel IWKZ (Indonesische Weisheits und Kulturzentrum/ Pusat Budaya dan Kearifan Indonesia). Wejangan menyentuh hati dari pak Ustadz tentang akhlak, tentang sabar, tentang mensucikan hati dan tentang beberapa bahaya yang bisa menggelincirkan manusia.

Berlin, 20 September 2009 atau 1 Syawal 1430 H. Sebuah pagi yang sejuk.

Pagi-pagi kami sudah sarapan, bersiap-siap pergi ke aula KBRI. Terus terang, baru saja kami langkahkan kaki kami keluar rumah di hari pertama bulan Syawal, terasa kami sudah kangen kembali akan seri wejangan itu lagi. Rasa kangen yang terkira untuk menjumpai Ramadhan tahun depan. Insya Allah.

Di KBRI sudah kami jumpai saudara-saudara muslim Berlin bertakbir. Allahu akbar, allahu akbar, walillaahil hamd. Idul fitri yang spesial, fikirku. Jamaah membludak tidak seperti biasanya, maklum hari ini hari libur. Seluruh ruangan di dua lantai yang disediakan tidak mampu menampung jamaah yang akhirnya berdempetan dan rela melebar ke lorong-lorong Kedutaan Kesar Republi Indonesia (KBRI). Lebih dari 600 muslim Indonesia di Berlin dan sekitarnya hadir.
Baru saja aku masuk ke pintu aula, seorang kawan yang melihatku hadir langsung melambaikan tangan, lalu berjalan tergopoh-gopoh ke arahku diikuti seorang wanita muda di belakangnya.

„Pak… ini ada yang masih mau bayar zakat nih“…kata kawanku tadi.

Sobat, bayar zakat fitrah adalah kewajiban seorang muslim. Tapi urusan satu ini di Berlin bukan perkara mudah, karena harus ditangani dengan bijak agar kewajiban berzakat fitrah gugur, sekaligus sarat syariah dalam hal penyaluran kepada yang berhak juga terpenuhi. Maklum, satu sisi banyak pembayar zakat di Berlin, tapi sisi lain mayoritas mustahik (orang yang berhak) untuk zakat kami berada di tanah air, terbentang ribuan kilometer dari Berlin.

“Begini pak…ehmmm” si wanita muda berlipstik knallrot, merah mengkilat, mulai tampak berbicara. Tapi kenapa ada rasa ragu? fikirku.
”Maaf ya Pak, bayarnya last minute. Saya jadi nggak enak ngerepotin panitia masjid“ ia berbicara sambil menunduk ada rasa bersalah.
„ Tapi kalo saya sebenarnya sih sudah bayar zakat, lho Pak. Nah, uang zakat ini titipan temen saya yang malu…” semakin ke ujung deretan katanya mulai menghalus, nyaris tak terdengar…
” Dia malu datang langsung ke masjid Pak” katanya setengah berbisik…

Sebentar aku mulai memaknai dan meraba arah bicaranya…

„Oh ya…? Kenapa bayar zakat harus malu sih mbak?” tanyaku sambil senyum, sambil tanganku sibuk menyiapkan bukti administrasi tanda terima.
”hehehe… anu pak…” nadanya diputus sebentar…
“hmmm … soalnya temen saya ini kerjaannya jadi bencong (banci) di Berlin Pak“ lagi-lagi dia menunduk seolah malu untuk bicara.
„Temen saya ini masih sadar bayar zakat, tapi dia malu karena sampai saat ini dirinya cuma bisa kerja jadi bencong biar bisa bertahan hidup di Berlin”… tuturnya lirih, nyaris tak terdengar…

Subhanallah… aku jadi terenyuh. Belum lagi lepas dari belitan rasa takjub yang baru saja lewat, mbak knallrot tadi berbisik …
”ssssst… Pak, untuk saat ini, kayaknya dia masih malu untuk ke mesjid tuh. Tolong didoain ya Pak… Maunya sih segera taubat dan hidup normal sebagai pria, tapi yah, bagaimana yah… kok jadi begitu …udah jalannya kali ” katanya. Aku menangkap rasa pilu di hatinya.

Si mbak kemudian melanjutkan…
”Tapi dia masih sholat dan puasa kok Pak. Kadang-kadang juga dateng ke acara bazar masjid, itu loh…acara sate-somay. Katanya mau sedekah buat masjid. Dia selalu ngajak saya dan bilang, ayo kita ikutan ke bazar masjid, kapan lagi kita bisa beramal. So wie so kita kan pasti nanti mati dan menghadap Allah…” bisiknya semakin mendekat…

Allahu akbar… keharuan memaksa saya seperti patung untuk beberapa detik…

”Sebentar ya mbak … saya siapkan kertasnya dulu”…

Sobat, ternyata siapapun yang terjerumus dalam kesalahan, tentu punya keinginan untuk lepas darinya. Sebab kesalahan, dosa dan kebatilan adalah belenggu, penjara, kegelisahan dan kehampaan. Kesenangan yang didapatkan seseorang dari sesuatu yang salah adalah semu belaka. Intinya, ketersiksaan dalam segala bentuknya. Tidak ada orang yang lama-lama dalam ketersesatan, meskipun ia terlihat senang dan bahagia.

Akan tetapi, kekhilafan berbuat dosa seringnya membius dan menghipnotis. Meskipun semu, selalu membuat kita terlena. Kita yang terbius keterlanjuran khilaf sering tak kuasa lepas darinya. Salah seorang ulama, Ibnu Hajar, membuat ilustrasi bahwa logika waras orang yang terlena dengan kekhilafan ini telah dihalangi oleh hawa nafsunya, hingga mereka tidak memahami apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan.

Sobat, kita sadar, bahwa kita begitu mudah dikalahkan hawa nafsu. Kitapun tahu, betapa kita sering kalah dan tidak berhasil menaklukannya. Bahkan anehnya, terkadang kita merasa gembira dengan ketertipuan ini.

Kita sebenarnya bukannya tidak yakin dengan adanya perhitungan di akhirat atau siksa di neraka. Kita bahkan sangat mengerti. Hanya saja, seringnya kita diliputi rasa takut yang berlebihan jika kenikmatan dunia yang semu itu lepas dari tangan kita. Kenikmatan ini akhirnya membutakan mata hati, membuat lupa diri dan menyesatkan orientasi hidup kita. Ketika kesadaran terbesit sejenak saja, kita akan menemui diri kita yang aneh dalam kenaifan dosa.

Maka sobatku, berhati-hatilah dalam menjalani hidup kita ini. Barangkali ada kekhilafan yang saat ini sedang membelenggu kita, yang setiap saat kita lakukan secara konsisten, maka segeralah bangkit dan obati ruhani kita. Karena kita diciptakan Allah dengan dilengkapi instrumen yang dapat mengendalikan diri kita masing-masing agar sukses meraih kebahagiaan yang hakiki. Kita punya nurani fitri, yang bila kita selalu mendengarnya, Allah akan selalu menunjukkan kita jalan yang tepat. Karena itu kita tidak boleh berlama-lama dalam sebuah kekhilafan. Kita mesti bebas, merdeka lepas dari belenggunya.

Berlin, 1 Syawal 1430 H/20 September 2009