Teringat akan sebuah wajah yang akrab dalam masa kecilku. Seorang lelaki tua yang tegap, gagah, lembut tapi tegas. Almarhum Mbah kung, begitulah aku menyambutnya. Bagiku beliau seorang yang cerdas dan penyayang. Teringat waktu aku sering menginap di rumah mbah Putri dan Mbah kung. Setiap hubuh, sepasang suami istri itu melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Tidak pernah absen. Masya Allah dari sebelum adzan berkumandang, suasan rumah sudah terang benderang. Terkenang akan mbak kung yang selalu mengidupkan waktu shubuh. Akupun yang entah berapa umurku waktu itu terbangun dan ikut shalat berjamaah.
Shalat bersama mbah kung sangat kusuka. Harum sajadah itu, harum baju mbah kung dan mbah putri, bercampur harum wudhu mereka. Suara mbah kung melantunkan ayat ayat sucipun sangat nyaman didengar. Mbah kung tidak pernah tergesa waktu shalat. Beliau selalu membaca bacaan shalat denagn lembut, pelan dan santai. Andai aku tau apa yang beliau rasakan saat mengimami shalat itu, tentunya aku tak akan terkantuk- kantuk dalam shalatku bersamanya.
Suatu waktu kira kira duapuluh tahun yang lalu. Beliau mengadakan sebuah sayembara. Sayembara menghapalkan seluruh bacaan shalat plus artinya. Walaupun beliau mengadakan sayembara ini untuk ke 17 cucu-cucunya, namun sayembara ini juga terbuka untuk semua pembantu dan pekerja serta tukang-tukangnya, masya Allah.
Siapa yang dapat menghapal bacaan shalat dan artinya akan mendapatkan uang 50.000!
Wow! Berkilau mataku menatap mbah kakung sewaktu beliau mengumumkan sayembaranya. Zaman dulu 50.000 adalah jumlah yang bersar. Terutama untukku yang berasal dari keluarga sederhana.
Ayah menyemangatiku. “ Khan Nuniek ingin sepeda…” kata ayah. Tanpa harus dibujuk lebih lama, saat itu juga dirumah mbak kakung aku langsung menghafalkan bacaan shalat dan artinya.
Saat itu aku sedang mengtinap di rumah beliau. Ya, aku memang suka dan senang menginap disana. Aku senang tidur disamping mbah putri , harum spreinya, harum mbah putri dan di gosok gosok punggungku oleh mbah putri sampai aku tertidur. Masya Allah, kenangan yang tak kan kulupakan.
Selama dua hari aku giat menghafal bacaan shalat dan artinya. Mbah kakungpun tersenyum –senyum senang meliahtku, Beliau terus menyemangatiku. Pada saat itu, tak ada motivasi apa apa kecuali uang 50.000 itu. Aku ingin punya sepeda, tekadku. Mbah Kakung pun taku motivasiku, namun ia malah tertawa dan terus tersenyum senang aku begitu antusias dengan sayembaranya.
Tibalah saat yang dinanti. SEtelah dua hari menghafal, aku siap di test. Malam itu selepas isya di ruang tengah, mbah Kung mengambil kacamatanya dan duduk di depanku. Tak lupa ia menggoda cucunya agar aku tak gugup.
Aku pun mulai menyetor hafalanku.
Alhamdulillah, aku lulus tanpa salah. Tak akan kulupa kegembiraan yang terpancar di wajahnya. Ia masuk kekamarnya mengambil sesuatu. Tak lama kemudian beliau membawa satu amplop dan satu buah buku yang masih baru dan rapih.
Dengan kasih sayang beliau menyalamiku , menciumku dan memberi selamat. Tak kan kulupa harum baju shalatnya itu.
Beliau menyerahkan amplop dan buku baru berwarna biru. Aku buka amplop itu, tak kupercaya uang 50.000 rupiah itu pun ku dapat juga. Sepeda ! Langsung terbayang di benakku. Tapi mataku langsun tertuju pada buku biru itu . Aku membaca judul; buku bercover biru rapih itu, ‘ Penuntun Pershalatan Komplit’.
Dengan suka cita kubuka buku yang kini menjadi milikku itu . Dihalaman depanya ada catatan hadist dari H.R Ahmad Abu Daud yang di tulis sendiri oleh mbak kakung. Lalu ada pula catatan kenang kenangan serta tanda tangan beliau,
‘ Hadiah untuk cucunda Nuni’ Nuriani yang telah hafal arti doa sholatnya dalam bahasa Indonesiapada tanggal 27 Juni 1989. Pada pukul 19. Alhamdulillah.’
Embah Kung.
Keesokannya mbah Kung menceritakan keberhasilanku menghafal pada ayah. Terdengar mbak Kung, mbah Putri dan ayah berbincang.
Ada satu yang tertangkap di telingaku, mbah Kung khawatir sayembaranya tak akan di ikuti oleh cucu-cucunya yang lain.
“…Kalau mereka mau uang 50.000 rupiah, nggak usah menghafal, tinggal minta sama orang tuanya,” ucap mbah kakung. Mbah Kung sepertinya tak yakin cucu-cucunya yang hidup berkecukupan akan menyambut sayembaranya dengan antusias. Tapi mbak Kakung tetap berharap…
Aku ? Tak ada yang kupikirkan kecuali sepeda bekas yang dijanjikan akan di beli ayahku hari itu juga. Tak terbersit apapun tentang maksud sayembara itu, atau tentang apa yang sedang mbah Kakung pikirkan dengan idenya itu. Yang aku tau hanyalah kegembiraan menyambut sepeda baruku yang di beli di toko sepeda bekas.
……………
Tiga belas tahun berlalu dari masa itu. Silih berganti banyak hal mewarnai kehidupanku. Dunia menawarkanku banyak hal, yang membawaku kadang menjauh dariNya. Aku meniti kehidupan baruku di Tokyo. Menikah bersuamikan orang Jepang. Saat dunia terasa tak berwarna, atau mungkin terlalu banyak warna, sampai aku tak melihat kejernihannya, saat hati menghampa, hidup mulai hambar, saat hati lelah jauh berlari dariNya, tangan jiwaku pun menggapai-gapai lorong gelap kehidupan. Mencari cari-cari sinar terang.
Aku berusaha mendekati Sang Maha Pengasih. Kuhabisakan waktu waktu di atas sajadah panjang dan mulai mencari, di temani oleh buku biru hadiah mbak Kakung.
Ku hafal lagi arti bacaan shalat yang banyak terlupa. Kadang ku menangis mengenang pemberinya.
Untuk yang pertama kalinya sejakku beranjak dewasa melaksanakan shalat dengan menghayati artinya. Benar benar mengerti apa yang kuucapkan pada Tuhanku saat itu. Ternyata shalat menjadi sangat nikmat dan khusyuk.
Aku pun tenggelam dalam shalat-shalatku, dan menemukan sinar terang yang kucari. Karena begitu nikmatnya hidayah ini, ingin aku berbagi dengan orang-orang yang kucintai. Aku ingin mereka shalat seperti itu, dengan memahami artinya. Namun ternyat sulit untuk mengajak orang menghafal arti shalat. Walaupun demikian. Rasa tanggung jawab yang besar akan pendidikan agama keluarga ku selalu tersimpan dihatiku.
Kini aku mengerti perasaan mbah Kung saat itu. Kini aku mengerti maksud dibalik sayembara itu. Mbak Kung ingin memberikan sesuatu yang mahal kepada cucu-cucunya. Yang lebih mahal dari pada mobil mewah, baju yang indah. Mbah Kung ingin berbagi kenikmatan shalat yang beliau rasakan, Mbah Kung ingin cucu-cucunya mendapatkan hidayah dari shalat itu. Mbah Kung mungkin berfikir, walaupun motivasi cucu-cucunya adalah uang 50.000 itu, tapi insha Allah hafalan doa arti shalat ini akan berguna kelak. Mbah Kung mungkin sudah menebak bahwa aku akan melupakan arti doa shalat yang pernah kuhafal. Tapi mungkin beliaupun tau bahwa suatu saat nanti, saat cucu-cucunya tersesat di dalam dunia yang penuh fitnah ini, dan jenuh dengannya, mereka akan mencari , dan khan kembali, dan akan mengingat lagi yang diajarkannya. Beliau tau, cucu-cucunya akan membutuhkan ini, yaitu, kenikmatan shalat.
Terimakasih mbah kakung sayang. Semoga Allah selalu menjagamu. Terimakasih sudah membekaliku, mewariskan kepadaku ilmu sebagai perwujudan dari cintamu. Engkau ingin Allah menjaga akidah dan agama cucu-cucumu, anak-anakmu. Semoga apa yang engkau cita-citakan tercapai walau kini engkau telah tiada.
Ya Allah, semoga amalan dari ilmu yang diajarkan mbah Kung berbuah menjadi pahala yang mengalir terus untuknya. Ampunilah dosa-dosa beliau. Amiin.