Setiap memasuki Bulan September, ingatan saya selalu kembali pada peristiwa nine eleven yang sempat menggemparkan dunia tujuh tahun yang lalu itu.
Tanggal 11 September 2001 pagi itu saya sedang kerja sukarela di sebuah perpustakaan di Alexandria, Virginia. Dari apartemen tempat tinggal saya menuju perpustakaan sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun untuk menempuhnya saya harus berjalan kaki dan berganti kendaraan dua kali.
Umumnya warga Amerika terpaksa kerja sukarela karena hukuman yang harus dijalaninya. Bila mereka tidak sanggup membayar denda yang dikenakan atau memang karena keputusan dari pengadilan, mereka harus kerja sukarela di pusat layanan umum, di antaranya bekerja di perpustakaan, pusat kebersihan, pusat kesehatan, dan sebagainya.
Salah satu wanita Amerika latin kenalan saya saat itu harus bekerja sukarela karena suaminya melanggar batas maksimum kecepatan mengendarai mobil. Mungkin karena si suami tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, maka isterinyalah yang harus menanggung kerja sukarela itu. Seorang lagi laki-laki usia belasan tahun juga harus menjalani hukuman karena pelanggaran lalu lintas.
Sedangkan alasan saya menjalani kerja sukarela ini selain untuk menambah pengalaman, juga karena ingin “kursus” bahasa Inggris gratis. Hitung-hitung daripada saya harus membayar kursus bahasa Inggris yang mahal (maklum suami saat itu berstatus mahasiswa), lebih baik terjun langsung di masyarakat. Mungkin saja mereka menganggap kok mau-maunya saya kerja tanpa dibayar. Sementara mereka setiap selesai bekerja selalu menghitung-hitung berapa hari lagi mereka masih harus datang ke tempat itu.
***
Ketika sedang tekunnya saya menyusun buku-buku di perpustakaan, saya mendengar berita adanya ledakan di gedung Pentagon. Kami memang tidak mendengar suara ledakan itu. Namun, keadaan di luar sana yang genting, membuat suami saya yang sedang menemani balita kami di rumah khawatir, dan menelepon ke perpustakaan untuk menyuruh saya segera pulang. Namun saya tidak bisa meninggalkan tempat karena kendaraan umum dikabarkan untuk sementara tidak beroperasi. Stasiun kereta Metro pun ditutup. Suami saya tidak mungkin menjemput saya dengan membawa putri kami karena kondisi yang tidak aman, dan kami pun tidak memiliki mobil.
Saat itu suasana di perpustakaan tetap lengang, perpustakaan tetap dibuka untuk umum, sebagian orangjuga sudah mendengar berita itu. Seorang pengunjung bahkan ada yang sempat berbisik-bisik kepada saya menyampaikan peristiwa itu. Saya tidak menyangka sama sekali bahwa itu sebuah berita yang sangat besar menyangkut umat Islam.
Menit demi menit bergulir, kami tetap menuntaskan pekerjaan sambil menunggu perkembangan berita. Akhirnya supervisor saya, seorang wanita Polandia, memberitahukan kepada saya bahwa stasiun Metro sudah dibuka kembali dan saya dapat segera pulang.
***
Di tengah perjalanan, dari jendela bus, saya menyaksikan banyak polisi yang berjaga-jaga. Beberapa jalan ditutup, sehingga bus harus menggunakan jalur lain. Sedikit ada rasa cemas karena saya takut diturunkan di tempat yang tidak saya kenal. Pada saat itu berita yang saya terima pun masih simpang siur. Sepanjang perjalanan saya terus berdoa agar bisa selamat sampai rumah dan bertemu keluarga.
Perjalanan yang seharusnya singkat jadi terasa berjam-jam. Rasa lega dalam dada ketika saya tiba di stasiun yang dituju. Begitu turun dari bus, saya segera menuju telepon umum untuk menelepon suami dan memberitahukan bahwa saya baik-baik saja. Suami saya yang rupanya sedari tadi sudah menunggu hanya dapat menyuruh saya waspada. Saya pun dengan segera menyambung perjalanan dengan kereta Metro menuju Huntington. Suasana di stasiun memang jauh berbeda karena banyak polisi yang siaga.
Dari stasiun Huntington saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 2 km untuk dapat sampai ke rumah. Saya percepat langkah sambil menahan dinginnya udara di Bulan September. Suami saya rupanya sudah menanti saya di dekat jendela apartemen dan setengah berteriak kepada saya agar saya segera berlari masuk ke dalam rumah. Alhamdulillah saya tiba di rumah dengan selamat dan selama di perjalanan pulang tidak menerima gangguan apapun.
Dari berita-berita di TV Amerika, tragedi 9/11 disiarkan berulang-ulang. Kaum muslimin mendadak dipojokkan dan harus bertanggung jawab terhadap penabrakan pesawat yang menghancurkan gedung pencakar langit WTC di New York dan gedung Pentagon di Virginia.
Pantas saja suami saya khawatir mengingat saya berjilbab. Saya pun baru paham kenapa dia berteriak dari jendela apartemen menyuruh saya lari masuk rumah, rupanya dia takut kalau ada tetangga yang menaruh dendam kepada umat Islam lalu melampiaskannya kepada saya. Apalagi dia sempat berkomunikasi dengan saudaranya yang tinggal di daerah Illinoi (ketika itu) bahwa keadaan di sana sangat gawat. Perempuan berjilbab menjadi sasaran untuk dibunuh karena kebencian mereka terhadap umat Islam. Di Canada pun teman wanita muslim saya yang sedang mengendarai mobilnya sempat diberhentikan orang tak dikenal yang marah dan menyuruh dia untuk pulang kembali ke negaranya (Singapura).
Setelah kejadian itu, saya yang mengenakan busana muslimah, belum berani keluar rumah hingga dua minggu lamanya. Saya tetap berusaha untuk tidak melepas jilbab saya selama keluar rumah. Ustadz di pengajian pun mengatakan, sebelum di hadapan kita ada ancaman akan dibunuh, kita tidak boleh putus asa dan tetap merapatkan barisan. Untung saja saat itu musim dingin. Jadi saya bisa mengganti jilbab dengan topi dan selendang yang melilit leher agar tidak terlalu menarik perhatian.
Tentu saja kejadian setelah 9/11 itu telah membuat kaum muslimin di Amerika maupun negara-negara dengan mayoritas non muslim menjadi kurang nyaman. Mereka tampak curiga bila bertemu dengan orang Islam. Pada saat itu kami hanya dapat berdoa kepada Allah SWT agar diberi perlindungan dan keselamatan bersama.
Kini kami bersyukur karena telah dapat melalui hari-hari yang sulit itu. Setelah tragedi itupun diberitakan semakin banyak orang yang tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang Islam dan bahkan semakin banyak pula yang mendapat hidayah masuk Islam. Ini adalah hikmah Allah SWT yang tidak disangka-sangka. Wallahu a’lam.
Ramadhan 1429H