Ketika Jeritan Ibu tak berarti

Hampa.. Beku.. Layu dan mungkin Lantak tak berdaya ketika seorang Ibu tak lagi terasa berarti bagi kita. Sungguh pantaslah kita mengutuk diri sendiri, jika keberadaan seorang ibu tak lagi terasa hangat untuk kita.

Dan ketika kita menuhankan Ego kita, untuk memilih jalan hidup kita yang seolah bisa disebut Hak asasi diri, maka terjerumuslah kita ke dalam sumur lara hitam pekat, penuh derita bila tak cerdas iman menggunakannya. Ibu, ialah hakim agung terakhir sebelum kita berhadapan dengan Allah untuk setiap tindakan yang patut & tidak kita lakukan. Seorang Ibu yang kelam masa lalunya, tak lantas menjadi bahan yang patut kita injak harga dirinya dan justru balik menghakiminya dengan segala macam kesalahan yang ia ambil.

Kecerdasan iman, akan membantu kita bergerak kedalam dimensi manusia mulia & dengan tulus segenap hati membimbing Ibu senantiasa selalu di jalan Rabb yang Maha Mulia.

Kecerdasan akhlak, akan membantu kita berjibaku pada koridor sunnah Nabi Muhammad tercinta. Yang senantiasa selalu berprilaku lembut & santun pada semua orang tua di dunia, serta menghargai dan selalu mengingat setidaknya setitik peluh akibat hadirnya kita di bumi fana ini.

Di dalam hadits yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma melihat seorang menggendong ibu untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja ‘Si Ibu’ menginginkan, orang tersebut berta kpd, “Wahai Abdullah bin Umar, dgn peruntukanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku.?” Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, “Belum, setetespun engkau belum dpt membalas kebaikan kedua orang tuamu” [Shahih Al Adabul Mufrad No.9]

Demikian besar pengorbanan Ibu untuk kita, namun terkadang jeritannya pun tak juga mengusik kita, dimana kah rasa kemanusiaan kita jika hal itu kita alami? sungguh merugilah kita menyia-nyiakan Ibu…

Ada satu kisah tauladan dalam sebuah Hadist,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada suatu hari tiga orang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka ada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua. Sebagian mereka berkata pada yang lain, ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan’. Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, degan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu diantara mereka berkata, “Ya Allah, sesungguh aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang telah larut malam dan aku dapati kedua orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi kedua namun kedua masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kpd anak-anaku. Ya Allah, seandai peruntukan ini ialah peruntukan yg baik krn Engkau ya Allah, bukakanlah. “Maka batu yg menutupi pintu gua itupun bergeser” [Hadits Riwayat Bukhari (Fathul Baari 4/449 No. 2272), Muslim (2473) (100) Bab Qishshah Ashabil Ghaar Ats Tsalatsah Wat-Tawasul bi Shalihil A’mal]

MashaAllah… Sudah mampukah kita meng-agungkan keberadaan seorang Ibu dan Ayah kita untuk kehidupan kita seperti kisah yang telah terjabar diatas? Mungkin di setiap kita akan merasa telah lega menyenangkan sang Ibu dan Ayah kita dengan beberapa hal yang mungkin membuat mereka bangga dan bahagia telah menghadirkan kita ke dunia..

Sobat muslim & muslimah yang terhormat, maka janganlah kita menanam benih adzab turun-temurun ke dalam kehidupan kita & anak cucu kita kelak. Sesuai dengan Sifat Allah Ya ‘Afuwwu, sekotor & sekeji apapun kita, asalkan kita tetap berada dalam kasih sayangNYA maka akan selamanya Allah bersifat Al- ‘Afuwwu. Subhanallah,, Maha Suci Engkau. Sebenci-bencinya kita terhadap orang yang telah menyakiti hati kita ini, hendaklah ingat Asmaul Husna itu. Dan jangan sampai anak keturunan kita merasakan derita yang sama atas kesalahan kita..

Dari Abdillah bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhuma dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridla Allah tergantung kpd keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kpd kemurkaan orang tua” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid-), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152)]

Wallahu a’lam bishowab,

-NIK