“Makanya kamu cepat menikah, selagi bapak ibu masih sehat dan kuat. Jadi kami bisa menggendong anak kamu dan membantu merawat. Jangan karir dulu yang diurusin, ” ujar ibu di ruang tunggu Bandara Adisumarmo, Solo.
Aku hanya tersenyum kecut mengalihkan pandangan ke arah sebuah pesawat terbang yang sedang tinggal landas, tak berani menatap wajah orang yang melahirkanku. Aku segan.
Waktu itu aku sedang dalam perjalanan mengantar ibu ke Riau untuk menengok kakak yang baru saja dikarunia seorang bayi perempuan. Bahagia dan sedih menyelimuti perasaan selama dalam perjalananku menemani ibunda. Bahagia karena akan bertemu dengan saudara, termasuk keponakan yang baru lahir, tapi sedih karena sampai di usia matang ini aku belum bisa memberikan cucu kepada orangtuaku.
Aku sadar mungkin aku bukanlah satu-satunya orang yang belum menemukan belahan jiwa di dunia ini. Tapi meskipun begitu, perasaan sendiri dan bersalah terkadang menghampiri tanpa permisi.
Dalam perjalanan itu aku tidak henti berdialog dengan diri sendiri, tentang apa yang telah aku lakukan dan rencana akan yang akan kujalani. Tak lupa terseling doa tulus kepada Allah agar segera memberikan petunjuk tentang jodohku. Perjalananku danliburannkudi rumah kakak, benar-benar aku jadikan kesempatan untuk kontemplasi dan merenung. Selama ini memang aku belum maksimal dalam usaha “mempercantik” diri, bukan secara lahir tapi secara batin. Aku juga sering kurang bersyukur dengan nikmat atau kemudahan yang Allah berikan. Memang, aku beberapa kali menolak ikhwan yang ingin berbagi hidup denganku. Aku hanya ingin mendapatkan pendamping yang benar-benar berkualitas. Apa itu salah?
Perenunganku terus bersambung sampai aku pulang dari Riau. Karena ibu masih ingin tinggal di sana, aku kemudian pulang sendiri ke kotaku.
Aku naik pesawat sampai di Jakarta kemudian naik kereta api malam. Aku sengaja memilih kelas eksekutif karena aku ingin istirahat dengan nyaman, lantaran aku harus puasa keesokan harinya. Setelah mendapatkan tempat duduk sesuai tiket aku langsung berusaha membuang kepenatan di kursi kereta yang lumayan empuk.
“Mau turun ke mana, Jeng?” suara lembut seorang ibu yang duduk di sampingku memaksaku menoleh.
“Solo, Bu? Ibu mau ke mana?”
“Sama, Jeng. Wah, senang dapat teman ngobrol nih. ”Perbincangan pun mengalir dan melebar ke mana-mana. Dan Subhannallah, ibu berusia 75 tahun itu mengungkapkan kisah hidupnya yang sangat mengesankan. Dia punya anak 11 orang yang semuanya lulusan perguruan tinggi negeri. Saat ini semua anaknya sudah bekerja dengan mapan di sejumlah instansi pemerintah dan swasta. Bahkan anaknya yang paling sulung menjadi dosen salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta.
Padahal, dia membesarkan 11 anak itu seorang diri, lantaran suaminya meninggal ketika anak sulungnya masih sekolah SMP. Subhannallah.
“Maaf, Bu, apa dulu ibu pernah merasakan capek dan mengeluh, dengan cobaan yang ibu dapatkan?” tanya saya penasaran.
“Tentu saja, Jeng. Tapi saya tidak mau menyerah. Kalau saya menyerah, anak-anak saya mau gimana? Ya terus berjuang dan berdoa minta kekuatan kepada Tuhan, ” urai ibu yang tidak tahu kekaguman dalam hatiku.
“Oya, Jeng, nanti kalau sahur tidak usah jajan, ini saya bawa nasi sama lauk pauknya, ” kata ibu.
Dan sahur di kereta waktu itu begitu nikmat, karena selain gratis aku juga mendapat pelajaran berharga dari seorang ibu yang Allah takdirkan duduk di sampingku. Terus terang aku menjadi sangat malu kepada ibu itu dan diri sendiri. Aku terlalu penakut untuk menerima ujian kehidupan dan secara tidak sadar menunda pernikahan karena selalu merasa belum siap. Padahal setiap manusia akan diuji, siapapun dia. Jika dia berhasil melewatinya dengan ikhlas, maka buah manis akan dia nikmati di kemudian hari. Terima kasih ya Allah atas sahur yang berharga ini. Wassalamu ‘alaikum warahmatuh wabarakatuh
Solo, 7 Oktober 2007