Suatu senja di Kota Hujan tahun itu. Aku pulang menuju rumah sendiri, tak seperti biasa, setelah sekian lama hidup bersama orang tua. Penat dan lelah seharian kerja, ditambah suguhan kemacetan kota, tak lama lagi ‘kan sirna. Harapan apa lagi ada di hati, selain bertatap muka dengan anak dan isteri.
Kuketuk pintu rumah mungil di sudut kota, sampaikan salam sejahtera. Ah’ isteriku, tambatan hati ini, kau sambut aku di sana dengan senyuman. Alangkah indahnya saat itu, kutermenung sejenak dalam pelukan isteri, nikmat Allah mana lagi yang aku dustakan.
Pukul sembilan malam menjelang, kamar kecil kutuju, kubasuh debu di wajah, sempurnakan Wudlu. Di kamar kecil, anak-anak berbaris rapi menunggu, dengan tawa dan canda, menunggu aku pimpin sholat Isya. Isteriku, di dapur kau rapikan hidangan, yang kau siapkan sejak siang, dan segelas air pembasah kerongkongan. Alangkah indahnya saat itu, kupandang sejenak wajah isteri, nikmat Allah mana lagi yang aku dustakan.
Larut menggelayut, anak-anak tertidur lelap. Isteriku, kau mulai cerita hari ini. Cerita panjang perjuangan, mendidik anak, mengelola uang. Kutatap lelah di wajahmu, tak mudah mengatur rumah, menyiapkan makanan, mengantar anak-anak ke sekolah dan membeli buku baru. Semakin kusadari, tak ringan pengorbananmu, terkadang aku lupa, ma’afkan aku.
Isteriku, sebuah nasihat lama kuucapkan, hidup adalah perjuangan. Tak sedikit di luar sana, ibu dan anak mengais sampah, mencari sisa makanan. Isteriku, inilah perjalanan hidup entah sampai kapan, menuju kampung akhirat surga idaman. Terkulum senyum di bibirmu, kau mengerti maksud nasihatku. Alangkah indahnya saat itu, kutatap lagi wajah isteri, nikmat Allah mana lagi yang aku dustakan.
Isteriku, bulan inibertambah usiamu, aku di sini, tak sempat kita rayakan. Isteriku, selamat ulang tahun. Sesungguhnya engkaulah nikmat itu, isteri shalehah-ku. Isteriku, sungguh, engkaulah nikmat yang tak aku dustakan.
Ar-Rahmaan, ‘Allamal Qur’an… Fabiaayi aala irobbikumaa tukadzibaan.
Assen, 9 Ramadlan, 1426 H