Nggak Apa-Apa Bu, Hidayah kan Tidak Bisa Dipaksakan

Setiap Jumat awal bulan, Aku dan suami selalu menyempatkan diri untuk datang menengok anak kami yang mondok di Pesantren Darussalam Kersamanah Garut. Tidak terasa acara rutin itu sudah berlangsung tiga tahun lamanya sejak anak kami tamat SD dan meneruskan belajar di TMI (Tarbiyatul Mu’alimin al Islamiyah) Darussalam. TMI ini adalah sekolah dengan lama belajar enam tahun, jadi setingkat SMP/SMA atau Tsanawiyah/Aliyah.

Bolak-balik Bandung-Garut memang agak melelahkan apalagi pada tahun pertama, setiap minggu kami berkunjung ke sana. Tapi melihat perkembangan anak kami setiap minggunya amat sangat membesarkan hati. Ada beberapa moment yang tak mungkin bisa kami lupakan.
***
Peristiwa pertama yang berkesan adalah pada dua minggu pertama di Pondok. Ketika kami bertemu lagi, Muslim (nama anak kami) terlihat kelelahan dan baju seragamnya yang tadinya berwarna putih sudah nampak coklat seperti atasan baju pramuka. Tatapan matanya memancarkan sedih tetapi penuh ketenangan.

“Dede betah di sini?” Aku bertanya sambil memeluknya.

“Kalau mau makan enak, ke restoran saja. Kalau mau bersenang-senang ya ke tempat wisata. Kalau mau tidurnyenyak ya di kasur yang empuk, di rumah atau di hotel tempatnya. Di sini tempat mencari ilmu.” Jawab Muslim pelan tetapi pasti.

Jawaban yang tidak Aku duga sebelumnya. Menjadikan kami terbengong-bengong dibuatnya. Kok bisa ya, dua minggu mengubah perangai anak kami yang biasanya pemberontak di rumah menjadi tenang seperti itu?

“Bu, Aku juga sudah hapal satu hadist” Katanya melanjutkan.

“Coba De, bacakan, Ibu mau tahu” jawabku antusias.

“Man kharoja fii tholabil ‘ilmi fahua fii sabilillahi hatta yarji’a” katanya.

“Apa artinya De?” Tanyaku lanjut.

“Siapa yang keluar untuk menuntut ilmu maka ia berjuang fii sabilillah hingga kembali” Muslim menjelaskan maknanya.

Tidak ada rasa bangga dan bahagia yang lebih besar lagi bagi kami pada waktu itu. Melihat anak kami berjuang mencari ilmu di sana. Dia belajar berbagi dengan teman, belajar mandiri (di sana santri mencuci baju sendiri, makanya warna baju seragam anak kami yang tadinya putih berubah coklat he..he..). dia juga belajar memecahkan masalah(tentunya banyak masalah ketika jauh dengan orang tua), belajar hidup dan makan dengan sederhana. Tetapi semuanya dilakukan dengan tujuan pasti mencari ilmu dan keridoan Allah SWT.

***
Peristiwa kedua yang meluluhkan hati kami adalah pada akhir semester pertama, waktu pembagian raport. Sebelum kami turun dari mobil, Muslim sudah berlari mendekat kemudian langsung masuk. Matanya sembab.

“Ibu, Papah maafkan Dede, nanti Ibu dan Papah kecewa kalau lihat nilai raport Dede” katanya sambil menangis.

Aku peluk anak laki-laki kecilku itu dengan penuh sayang. Kubiarkan ia menangis. Setelah tangisnya mereda aku menjawab, “Jangan khawatir, mengenai nilai atau apapun namanya, bagi Ibu dan Papah, Dede bisa hidup jauh dari Ibu dan Papah merupakan prestasi yang luar biasa, tidak setiap anak bisa melakukannya”

Entah paham atau tidak tapi anak kami itu yang tadinya peringkat 17 dari 18 orang di kelasnya (tahun pertama kelas satu), sekarang sudah bisa menjadi peringkat tiga di kelas tiga, alhamdulillah.
***
Peristiwa ketiga adalah ketika pertemuan wali santri di Pondok. Pertemuan berlangsung seharian dari pagi sampai sore. Hari semakin sore, beberapa wali santri (Bapak-Bapak) tampak menghangatkan diri dengan mengisap rokok. Begitu pula suamiku. Dengan agak menjauh ke sudut Pondok ia terlihat merokok dengan asiknya. Saya teringat beberapa waktu yang lalu, Muslim titip pesan padaku untuk disampaikan kepada papahnya. Isi pesannya agar Papahnya tidak merokok di lingkungan pondok.

“Aduh De, maaf ya, Ibu sudah kasih tahu Papah kok, jangan merokok di Pondok” Kataku tidak enak hati. Aku kira Muslim kecewa.
“ Nggak apa-apa Bu, hidayah kan tidak bisa dipaksakan” Jawabnya santai.

Byarrr… jauh dari dugaanku. Aku pikir anakku akan marah, akan menampakkan ekspresi tidak senang, dan sebagainya dan sebagainya ternyata…

Aku lambaikan tangan pada suami untuk mendekat. Lalu aku katakan apa yang tadi dikatakan anak kami, langsung tanpa diedit, bahwa hidayah kan tidak bisa dipaksakan.

Sejak saat itu, sedikit demi sedikit suamiku meninggalkan kebiasaan merokoknya. Sekarang, di Pondok atau di manapun say no to cigarette menjadi mottonya.
***
Anakku … hidayah memang tidak bisa dipaksakan, tetapi hidayah itu harus dijemput. Ibu dan Papah menjemput hidayah lewat bibir mungilmu, terima kasih sayang…

Ibu dan Papah tahu, kamu amat sangat sedih setiap kita harus berpisah. Tetapi kamu amat pandai menyembunyikan di hadapan kami. Ubahlah tangis sedihmu menjadi tangisan doa untuk kami yang tidak bisa mendidikmu dengan ilmu agama yang mumpuni. Jangan mengira Ibu dan Papah tidak menyayangimu hingga menjauhkanmu belajar di Pondok. Karena kami tahu, kami tidak bisa, maka kamulah yang harus bisa mencari rahasia hidup yang sebenarnya dalam cahaya Islam.

***
Sekarang Muslim, anak kami baru menyelesaikan Ujian Nasional tingkat SMP/Tsanawiyah. kalau di Pondok berarti Dia akan naik ke kelas empat. Tak bosan-bosan kami panjatkan doa untuknya, agar betah di Pondok dan berhasil dalam belajarnya. Semoga Muslim menjadi manusia yang mulia, bahagia, dan sejahtera, di dunia dan di akhirat. Amien.

[email protected]