Wajahnya yang sudah penuh kerutan, tersenyum lebar menyambut langkah kaki saya yang mendekatinya. Deretan gigi yang sudah menghitam tampak menyembul ketika menjawab salam saya. “ Wa’Alaikum salam…”, ujar beliau lantang. Sejenak kemudian dengan sigap tangannya bergerak membungkusi nasi kuning sesuai pesanan. Pagi ini saya memang membeli cukup banyak nasi kuning, ada acara kecil di kantor. Kalimat syukur beliau lantunkan demi mendengar jumlah yang saya pesan. “ Alhamdulillah, pagi-pagi, rezeki dari Allah” ujarnya sumringah.
Nasi kuning. Makanan khas sarapan pagi yang sangat terkenal di Sengata. Di masak dengan santan dan diberi warna kuning dari kunyit. Agar lebih wangi dan menggugah selera, ketika di tanak, diberi beberapa helai daun pandan. Lauk yang paling cocok menemani nasi kuning biasanya ikan gabus, ayam, daging ataupun telor ayam rebus yang dimasak bumbu bali dengan warna merah cabai yang mengoda. Di sajikan dengan taburan bawang goreng dan serondeng (kelapa parut yang diberi bumbu seperti urap ). Mmmhh….sungguh lezat rasanya. Saya sendiri termasuk penggemar nasi kuning. Hingga tahu persis di mana saja warung nasi kuning yang enak. Ada di Sengata lama, juga ada di daerah teluk lingga. Kali ini saya mampir, di langganan saya, di daerah teluk lingga.
Saya sudah kenal sekali dengan nenek penjualnya. Biasanya kami akan bercerita tentang berbagai hal. Tentang pekerjaan, tentang bunga, sampai tentang harga bahan pokok di pasaran. Kebanyakan beliau yang memulai percakapan. Seperti sekarang.
“Maaf ya, ini potongan ayamnya agak kecil. Harga ayam naik betul. Sampai bingung aku nih mo jual”. Ujar si nenek sambil menaruh potongan ayam di atas nasi yang mengepul.
“Belum lagi harga minyak goreng. Masa seliter sudah limabelas ribu ”, ujar beliau lagi. Saya mangut-mangut, mengiyakan. Yah, memang begitulah keadaannya sekarang …
“Tuh, si Darto, tukang sate yang biasa mangkal kalo malam di depan apotik A ngeluh juga. Kata isterinya pusing mau jual berapa lagi setusuk. Ada aja harga yang naik setiap harinya. Si Ani jua, yang jual gorengan di sebelah warung itu bilang, kalo bisa minyak goreng di ganti air, alangkah senangnya”.
Senyum saya mengembang mendengar ucapannya. Logat Banjar nampak kental menghiasi setiap kalimat yang beliau keluarkan.
“Coba wakil rakyat kita di sini, yah, bisa nurunin harga. Wakil rakyat kan kerjanya mbantu rakyat yang kesusahan. Termasuk pedagang kecil, kaya nenek ini “.
Tangan beliau berhenti membungkus. Di hitungnya deretan nasi kuning yang berjejer. Sudah lima bungkus, berarti tinggal lima bungkus lagi untuk pesanan saya. Kemudian beliau melanjutkan kalimatnya.
“Ih, coba nenek ya, jadi wakil rakyat itu, yang nomor satu pasti harga sembako murah semuanya…”
“Jangan lupa untuk pasang listrik juga ya nek…” ujarku. Teringat rumahku yang hanya mengandalkan genset sebagai penerangan karena aliran listrik belum ada.
“Iya, pasang listrik juga. Di rumahmu di jalan Pendidikan, belum ada listriknya kan? Air PDAM juga nanti di pasang. Biar kita enak kaya orang di perumahan (maksudnya di komplek perusahaan yang airnya terkenal sangat bagus dan lancar), jadi kita gak usah ngobatin air sumur lagi. Pokoknya untuk masyarakat, Insya Allah beres. Nenek juga akan bantu tukang nasi kuning, tukang sate, tukang gorengan, pokoknya semua pedagang kecil. Nenek kasih mitsubisi biar harga murah, jadi mereka bisa tetap jualan”. Ujar beliau mantap. Persis seperti para politikus yang sedang berorasi. Ada binar –binar harapan terpancar jelas di matanya yang sudah mulai memutih warnanya.
“Maksud nenek subsidi, kan? Artinya dana bantuan dari pemerintah, sehingga harga yang sampai ke rakyat bisa lebih murah harganya. Kalau Mitsubishi itu merk mobil, nek “. Ucap saya sekedar membenarkan. Lucu juga mendengar beliau salah menyebut kata itu.
“Oh iya, maksudnya itu. Maklum sudah tua, pendengaran nenek waktu nonton di TV ya, mitsubisi. Ujar beliau tersipu.
“Tapi nanti kalo sudah jadi wakil rakyat, jangan lupa sama janjinya ya, nek…” saya menggoda beliau. “ Insya Alloh. Nenek kan sudah banyak merasakan sulitnya kehidupan rakyat kecil”
“ Alhamdulillah, Amiiin….” Saya mengamini harapan beliau.
“ Tapi…….”. Tiba-tiba nenek berhenti berucap. Tangannya menghitung jumlah nasi kuning pesanan saya sudah lengkap jumlahnya. Sambil tangannya meraih plastik putih untuk menampung bungkusan nasi kuning, beliau berujar lagi.
“Tapi sayang di sayang ….., nenek cuma pedagang nasi kuning…, ” kali ini sambil terkekeh. Kerutan di wajahnya bergerak-gerak. Saya juga tak mampu menahan senyum.
“Gayanya nenek itu, kaya orang ngerti politik aja…”
“Iya dong. Kaya orang politik. Yang ngomong-ngomong kalo mau pemilu itu loh. Nanti kalo sudah terpilih, diam deh…”. Senyum masih ada di bibirnya.
Saya termangu. Rupanya itulah batas wakil rakyat dan politik di mata beliau. Sederhana sekali. Beliau juga seolah sudah makhfum sekali dengan kondisi yang terjadi.
Nasi kuning pesanan saya sudah siap, tersusun rapi dalam kantong plastik di hadapan saya. Kalimat syukur kembali terlontar dari beliau, ketika lembaran rupiah sudah berpindah ketangannya. Menurut beliau, walaupun keadaan serba sulit sekarang, kita harus banyak bersabar, dan jangan sampai lupa bersyukur. Karena mengeluh juga tak mengubah keadaan.
“ Alhamdulillah, biarpun untungnya kecil, masih bisa jualan. Masih bisa bantu-bantu keluarga. Maaf ya, nenek tadi cuma curhat, daripada di pendam, bikin sakit hati ”.
Begitulah kalimat terakhir yang saya dengar tadi darinya. Kalimat yang sarat dengan optimisme dan keikhlasan.
Saya sudah jauh meninggalkan beliau menuju ke arah kantor ketika percakapan kami tadi kembali berputar di kepala saya. Membuat senyum kembali tercipta. Dari ucapannya, saya menangkap bahasa halus khas rakyat yang meminta konsistensi ucapan yang dilontarkan para wakil rakyat sebelum duduk di kursinya dengan tindakan riil yang dapat di rasakan oleh rakyat kecil, seperti beliau. Para wakil rakyat yang beliau pilih namanya setiap lima tahun pemilihan, pun ketika beliau tidak tahu persis siapa mereka.
Duhai nenek! Ternyata begitulah nasib pedagang kecil. Mungkin benar, banyak juga yang bernasib sepertimu. Berusaha tetap tegar menggapai rezekiNya, merayap perlahan di tengah harga-harga yang semakin tinggi berlari. Saya salut padamu, nek! Karena begitu banyak kalimat syukur yang dapat kau cipta di atas himpitan yang kau rasakan. Engkau masih bersabar walau di tengah kepayahan.
Kita memang dapat belajar dari siapa saja, tentang apa saja. Hari ini saya telah mendapatkan sebuah pelajaran lagi dari seorang nenek penjual nasi kuning.
*Insya Alloh tambah laris ya, nek! Semoga harapan nenek juga di dengar oleh para wakil rakyat, nun jauh di sana …
http://yunnytouresia.multiply.com