Suatu senja di Kairo. Saat-saat kelelahan menyelimuti para penumpang kereta bawah tanah jurusan Helwan. Ada pekerja kantoran dengan masih menggunakan setelan jas rapi, ada mahasiswa yang berpenampilan trendi, lelaki tua dengan tas lusuhnya dan beberapa wanita setengah baya bersama anak-anaknya. Serta masih banyak lagi orang-orang yang tidak bisa saya sebut satu persatu memenuhi gerbong kereta.
Saya harus menyelesaikan tugas mengajar privat di selatan Kairo hari itu. Perjalanan sekitar tiga puluh menit dari statsiun Demerdash, Abbasea. Pikiran saya tidak tenang, masih berkecamuk semenjak siang tadi. Kata teman-teman satu Fakultas ujian bisa jadi dimajukan dari biasanya. Terbayang oleh saya hafalan delapan Juz Al-Qur’an sudah menunggu. Ah, jika saja dulu di Indonesia sudah hafal banyak Al-Qur’an rasanya tidak usah pusing memikirkannya lagi, tinggal mengulang dan mendalami. Tidak seperti sekarang, terburu-buru menghafal karena ujian sudah dekat. Padahal dosen di kuliah berulang kali mengingatkan jangan menghafal Qur’an karena ujian, hafalkan ayat-ayat Qur’an karena ia kitabmu.
Diam-diam saya mengeluarkan mushaf kecil, membaca sisa bacaan yang belum selesai. Di depan saya berdiri, nampak anak muda berpakaian trendi sedang membaca kumpulan surat-surat pilihan dalam Al-Qur’an yang disebut Sab’ul Munjiyat. Tidak lama ia berdiri meninggalkan tempat duduknya, bersamaan dengan henti roda-roda baja kereta. Saya pun menempati kursi kosong bekas pemuda tadi.
Wajah-wajah dalam gerbong itu nampak lelah. Tetapi saya sedikit menemukan kesejukan, beberapa orang dalam gerbong itu membaca Al-Qur’an. Lelaki tua berambut putih yang duduk di samping saya juga mengeluarkan mushaf besar dari dalam tas lusuhnya. Memang terlihat ganjil, namun ia berusaha menyesuaikan dengan kondisi matanya yang (mungkin) sudah rabun.
Masyarakat Mesir cukup religius dalam keseharian mereka, utamanya dalam interaksi mereka dengan Al-Qur’an di tengah arus globalisasi dan invasi budaya Barat yang merajalela di negeri-negeri Muslim. Polisi, tentara dan satpam yang sedang jaga tak segan membaca Al-Qur’an. Saat pergi ke pertokoan Khan Khalili di kawasan Husein saya pun beberapa kali menyaksikan pemandangan yang membuat gairah keimanan menyala, beberapa penjaga toko Khan Khalili membaca Al-Qur’an sambil menunggu pembeli yang mayoritas turis Asing. Dan saat kami pergi ke kuliah, dalam bis-bis kota yang sesak beberapa orang Mesir membaca dan mengulang hafalan Qur’an-nya.
Pernah satu waktu sepulang dari perjalanan yang sama, saya ditegur seorang pemuda yang sedang mengulang hafalan Qur’an-nya.
“Apakah kamu membawa mushaf?”
“Ya” Jawab saya. “Mengapa kamu tidak membacanya?” katanya lagi.
“Saya tidak punya wudlu.”
“Apa salahnya mengulang hafalan Qur’an? Saya juga tidak punya wudlu!” saya mengangguk dan membenarkan nasihatnya.
Beberapa waktu lalu, adik kelas saya satu sekolah dulu bertanya, “Bagaimana cara menghafal Qur’an yang efektif?”
Saya tidak punya jawaban yang betul-betul saya tahu, hanya saja saya sarankan untuk terus menghafal dan banyak mengulang. Usahakan baca Qur’an di mana pun ada kesempatan seperti masyarakat Mesir melakukannya. Ia kemudian menjawab, bahwa untuk membaca Qur’an di setiap kesempatan terasa sulit jika diterapkan di kota seperti Jakarta. Saya tidak tahu pasti apakah memang benar di Jakarta susah untuk melakukannya? Karena masyarakat yang tadi saya ceritakan di atas ada di Kairo yang nota bene ibu kota Mesir.
Setidaknya satu hal yang diharap para pembaca Qur’an itu: keberkahan. Keberhakan dalam segala hal, bukan hanya dari sisi materi, jauh dari itu keberkahan di Hari Pengadilan seluruh manusia. Karena kata Nabi SAW, “Bacalah Qur’an. Karena ia akan menjadi pemberi syafa’at kepada para pembacanya.” Dan keberkahan itu sendiri telah dijanjikan Allah dalam kitab-Nya ini, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Q.S. Shaad: 29)
Penulis buku ‘Fî Dzilâlil Qurân’ (Di Bawah Naungan Qur’an) Sayyid Qutb, mengungkapkan kekagumannya kepada Al-Qur’an setelah lama ia bergelut dengan berbagai pemikiran Materealis, “Wajadtu-l Qur’an” (Kutemukan Al-Qur’an) katanya. Semenjak itu ia pun konsen mempelajari Al-Qur’an sampai ia menemui syahid di tiang gantungan, setelah merampungkan karya monumentalnya: Fî Dzilâlil Qur’ân.
Inilah sedikit gambaran dari sebuah Negeri Qur’an bernama Mesir. ‘Negeri Qur’an’ hanyalah sebuah nama yang terlintas di benak saya. Ia bukanlah negeri yang selalu identik dengan tanah Arab, bukan itu yang saya maksud. Negeri Qur’an ialah negeri yang masyarakat Muslimnya dekat dengan Al-Qur’an apapun bahasa nasionalnya. Negeri yang mencintai Al-Qur’an sebagaimana mereka menyintai Allah pemilik kitab-Nya. Negeri itu mungkin saja negeri kita tercinta: Indonesia.
Yang harus selalu kita pertanyakan, “Apakah kita termasuk orang-orang yang gemar membaca Al-Qur’an?” dan “Apakah kita masih mengharapkan syafa’at dari Al-Qur’an?” karena, ia (Al-Qur’an) datang sebagai pemberi syafa’at bagi para pembacanya. Wallahu ‘alam
Kairo, 10 April 2006