Dahulu, sering kita mendengar optimisme para tokoh negeri ini mengungkapkan impian negeri ini sebagai negeri ideal dengan slogan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur’ sebuah negeri yang baik, yang diberi ampunan oleh Allah.
Potensi dan kekayaan alam negeri ini seperti negeri Saba’ di era kejayaan dan kemakmurannya, hingga Allah menjadikannya sebagai percontohan dalam Al qur’an. Tadinya Saba adalah negeri yang aman, subur dan makmur. Bukan saja aman dari segala bentuk kriminalitas dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia, namun juga tak ada ancaman dari hewan-hewan yang berbahaya. Bahkan Allah membersihkan hewan-hewan pengganggu dari negeri itu.
Allah berfirman :
Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri (kepada mereka dikatakan) : Makanlah olehmu dari rezeki yang dianugrahkan Rabb-mu dan bersyukurlah kamu keop[adaNYa. Negeri mu adalah negeri yang baik (Baldatun Thayyibah) dan (rabb-mu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun.
Imam Asy-syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menyebutkan dari Imam Abdurrahman bin Zaid rahkhimahullahj, bahwa maksud dari firman Alah “..sesungguhnya bagi kaum saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka..” Yakni mereka tidak melihat adanya nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, ular dan hewan pengganngu lainnya. Dlam konteks kekinian barangkali termasuk virus dan bakteri yang membahayakan. Saba juga menjadi negeri yang sangat subur dan makmur. Mereka membangun bendungan yang disebut sejarawan sebagai bendungan Ma’rib. Air dari dua bendungan dialirkan ke wilayay perkebunan yang terletak di sisi kanan dan sisi kiri negeri mereka,..” yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.(qs. Saba; 15)
Ahli tafsir di kalangan tabi’in mengambarkan betapa subur dan makmurnya negeri Saba, dikatakan bahwa seorang wanita berjalan di bawah pepohonan dengan memanggul keranjang di kepalanya untuk mewadahi buah-buahan yang berjatuhan. Keranjang itu menjadi penuh tanpa harus susah payah memanjatnya atau memetiknya. Buah-buahan yang ada juga digambarkan dengan segala sifat kelezatan dan istimewa dibandingkan dengan buah-buahan yang ada di dunia. Begitulah gambaran negeri yang sempat diimpikan masyarkat dan didengung-dengungkan oleh para tokoh negeri ini.
Sekarang slogan itu nyaris tak terdengar.. Mungkin kurang percaya diri , atau malu mengungkapkannya. Karena realita makin jauh dari impian. Harapan itupun semakin kandas sebelum mendekati titik yang diharapkan. Seakan potensi alam kita menjadi musuh dan dari arah itulah dan musibah datang bergantian. Mengingatkan kita akan kondisi kaum Saba’ ketika merubah syukur dengan kufur, maka dengan sekejap Allah menggantikan ni’mah (nikmat) dengan niqmah (bencana). Allah menurunkan hujan lebat tiada henti, air meluap tak terbendung. Akhirnya bendungan Ma’rib jebol dan mengakibatkan bannjir besar. Allah SWT berfirman :
“Tetapi mereka berpaling, maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon sidr…” (QS Saba : 16)
Sungguh , dijadikannya Kaum Saba sebagai permisalan, agar kita mengambil pelajaran. Mungkin sebagian kita tidak mau dipersalahkan atau sebagian menganggap bahwa tidak ada hubungannya dosa dengan musibah, atau bahkan pikiran itu mengesankan tidak ada empati terhadap para korban bencana. Padahal, mengkaitkan bencana dengan dosa tidak berarti menuduh korban bencana adalah biang keladi. Boleh jadi orang yang tidak terkena musibah turut andil dalam mengundang datangnya bencana disebabkan adanya tokoh-tokoh yang mempopulerkan dosa atau juga yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena hidup dalam masyarkat diibaratkan menumpang dalamsatu kapal, jika kita biarkan sebagian penumpang melobangi kapal, maka jika kapal tenggelam semua penumpang dia atasnya akan menjadi korban tidak terdecuali orang yang berbuat ulah melubangi kapal tadi.
Meski negeri ini kenyang dengan musibah dan kekawatiran yang bertubi-tubi, Allah masih memberikan kepada kita untuk bangkit. Menuju baldatun thoyyibah sekaligus wa rabbun ghafuur. Kalilmat “Allah mengampuni” mengandung konsekewendi bahwa untuk mendapatkan situasi negeri yang baik, kita harus bersedia bertaubat dan memohon ampunanNya. Dengan terlebih dahulu mengampuni kesalahan, kesombongan dan kelancangan kita yang telah mencampakkan hukum dan aturan-aturanNYa. Harus ada penyesalan, kemudian bertekad untuk tidak mengulangi lagi maksiat dan menjadikan Islam sebagi jalan hidup baik secara personal maupun komunal. Tekad untuk mencegah kemungkaran harus kokohkan karena tampanya bencana belum akan dicabut, meski doa terus dilantunkan, Nabi SAW bersabda :
Demi yang jiwaku ada di tanganNYa, hendaknya kamu mengajak yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, atau Allah akan mengirimkan bencana atas kalian, kemudian kalian berdoa namun tidak dikabulkan (HR Tirmidzi, hadits hasan)
Sumber : Arrisalah