Pada suatu kesempatan di sebuah rumah seorang sahabat, saya ngobrol santai dengan seorang tenaga kerja wanita Indonesia. Bila dilihat dari wajahnya mungkin wanita itu berusia sekitar empat puluh tahunan. Wanita ini asli Jawa Timur dan pernah mengecap bangku sekolah hingga kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Dia merantau ke Saudi bersama suaminya yang berprofesi sebagai supir. Padahal pendidikan suaminya cukup tinggi yaitu hampir sarjana. Suaminya kadung berhenti kuliah sebelum sempat menyelesaikan skripsinya. Mereka memiliki tiga orang anak yang dititipkan kepada neneknya di kampung. Masa lalu kerjanya yang berliku membuat saya tertarik untuk mendengar cerita kehidupannya.
Sudah sekitar tujuh tahun dia bersama suaminya tinggal di Saudi. Tahun-tahun pertama masa kerjanya begitu penuh dengan kerikil-kerikil tajam. Nasib yang telah mempertemukan dia dengan seorang majikan wanita yang pekerjaannya menjual para tenaga kerja wanita kepada para lelaki lajang (paling tidak lajang di negara ini) yang tinggal di sekitar pemukiman majikan wanita tersebut.
Wanita separuh baya itu bercerita bahwa dia bersama dua orang temannya pada awalnya dipekerjakan sebagai tenaga pembantu rumah tangga di rumah itu. Seperti biasa pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan rumah tangga sehari-hari yaitu membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, mengepel, memasak, dan sebagainya. Tetapi kemudian selang waktu berjalan, majikannya menyalurkan para pembantu yang bekerja di rumahnya itu ke rumah-rumah lain yang memerlukan tenaga pembantu sekaligus bertugas ’melayani’ majikan baru tersebut.
Pembantu tadi tetap mendapat gaji rutin sebagai pembantu rumah tangga, namun juga ’mendapat’ tambahan gaji sampingan. Hanya saja gaji sampingan tersebut seluruhnya diserahkan kepada si majikan wanita yang telah menyalurkan dia. Menurutnya, tidak ada pilihan bagi pembantu tadi selain harus menuruti perintah majikan wanitanya yang masih berkuasa. Alhamdulillah, kata wanita setengah baya tersebut kepada saya bahwa dia selamat dari paksaan majikannya karena kebetulan dia dibela oleh sang suami.
Begitu keras kehidupannya, hingga di wajahnya tidak tampak bulir-bulir penyesalan karena pergi merantau. Semua dijalankan dengan kepasrahan, menerima nasib dengan hati lapang. Tak disangka wanita setengah baya itu hamil. Isu miring tentangnya pun merebak. Dia dihamili si A, begitu kasak kusuk yang terdengar. Wanita tadi hanya menegaskan kepada saya bahwa dia tidak pernah terlibat dengan kegiatan maksiat itu. Bayi yang dikandungnya pun diakui adalah miliknya bersama suaminya yang sah. Bulan demi bulan dilalui, perutnya pun semakin membesar. Tidak mungkin bagi dia untuk bekerja lagi. Pulanglah dia ke Indonesia sementara waktu untuk melahirkan bayinya di kampung.
Kebutuhan ekonomi yang mendesak, anak-anak yang kian banyak memerlukan biaya sekolah, tidak adanya lapangan kerja yang dapat memberikan gaji yang layak di daerahnya, menjadi faktor pemicu wanita tersebut untuk kembali mengadu nasib menjadi tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi. Demikianlah, pada saat bayinya sudah memasuki usia sekitar satu tahun, dia tinggalkan bayinya bersama kakak-kakaknya yang memang sudah beranjak remaja. Anak-anak itupun kembali berada dalam pengasuhan neneknya.
Kini, setelah dia kembali berada di Saudi untuk mengais rezeki, wanita tersebut tidak lagi memiliki izin tinggal resmi. Entah bagaimana awalnya, mungkin kedatangan dia yang kedua kalinya ini dengan visa umroh kemudian overstay? Saya hanya bisa menduga-duga.
Memang banyak cerita yang saya dapatkan dari para majikan yang memiliki tenaga kerja legal bahwa pembantunya telah kabur. Berderet alasan para pembantu memilih kabur dari majikan. Alasan tidak mendapat gaji, diperlakukan kasar, tidak diberi makan, gajinya lebih rendah dibanding temannya, dan masih banyak alasan lainnya.
Tak dapat dipungkiri, memanggil tenaga kerja resmi dari agen di Indonesia itu tidaklah mudah. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat memanggil tenaga pembantu rumah tangga. Sementara biaya yang harus ditanggung pun tidak bisa dibilang murah. Ongkos total pengurusan paspor, visa, tiket, penampungan, izin tinggal (ikama), dan lain-lain paling tidak harus merogoh kocek sebesar tujuh ribu sampai sebelas ribu Saudi riyal. Kalau dirupiahkan nilainya menjadi lebih fantastis lagi yaitu sekitar enam belas hingga dua puluh enam juta rupiah. Belum lagi majikan yang sudah berhasil mendatangkan pembantu tadi masih berisiko rugi bila ternyata si pembantu malas bekerja atau kabur. Mungkin akhirnya kita akan lebih memilih untuk membayar down payment rumah sederhana di Indonesia daripada mendatangkan pembantu.
Dalam perjanjian tertulis, gaji yang diperoleh oleh pembantu rumah tangga per bulan memang hanya enam ratus Saudi riyal. Sementara di pasaran, banyak tenaga kerja illegal justru memiliki gaji seribu Saudi riyal atau bahkan lebih. Bagaimana mereka tidak tergiur untuk lari dari majikan dan memilih menjadi tenaga kerja illegal yang dengan demikian dia akan memperoleh gaji yang lebih besar?
Bagi tenaga kerja illegal, masalah pemeriksaan surat-surat, dikejar polisi, terancam masuk tarhil (penjara) sudah menjadi hal yang biasa. Wanita yang berada di depan saya itu pun pernah sambil lalu saya tanya,
“Nanti kalau ketangkap polisi gimana?”
“Yah….. kalau ketangkep toh paling juga ujung-ujungnya dipulangin ke Indonesia. Di sana juga bisa ketemu anak. Pulang gratis.” Begitu jawabnya tanpa beban.
Tenaga kerja kita memang paling berani dan paling nekat. Bagi mereka, tertangkap, masuk tarhil, atau dipulangkan, sudah menjadi sebuah risiko hidup di perantauan. Bila apes-apesnya dipulangkan, beberapa bulan kemudian tetap saja mereka bisa kembali lagi ke Arab Saudi. Entah trik apa yang membuat mereka bisa lolos imigrasi.
Di jalan-jalan pun, untuk menghindari kecurigaan para penegak hukum, terkadang mereka menutup wajahnya dengan cadar. Ada pula di antara mereka yang memiliki ’strategi’ lain yaitu dengan melepas jilbab sama sekali dan menyampirkan selendang hitam abayanyadi pundak, seperti penampilan tenaga kerja Filipina. Mengapa? Karena para tenaga kerja Filipina umumnya legal.
***
Usaha mencari nafkah para tenaga kerja kita yang bermacam-macam ini membuat serba salah menjadi warga negara Indonesia di Saudi. Bila berdandan ala kadarnya akan dilecehkan, bila berdandan berlebihan dikira akan menjual diri, namun jika berdandan biasa saja pun belum tentu disegani. Astaghfirullah.
Seorang kawan saya dari negeri Jiran memberi usul kepada saya agar tidak usah mengaku berasal dari Indonesia jika ditanya orang. Tapi bagaimanapun juga saya masih mencintai tanah air sendiri.
Ada kiat yang sudah dipraktekkan Ustadzah saya agar dihargai lawan bicara. Bila ditanya kita berasal darimana, jawab saja Muslimah Indonesia, tidak hanya dengan menyebut warga Negara Indonesia. Ya saya pun sekarang selalu menjawab Muslimah Indonesia…alhamdulillah.
Rabi Al-Tsani 1429H