“Waktu Anda sudah habis, ini sudah lebih dari 2 semester,” saya remas proposal yang ada di tangan.
“Ah, lagi-lagi soal waktu,” dan saya pun keluar dari bagian pendidikan fakultas dengan langkah gontai. Saya dekap proposal di dada dan menjauh dari komunitas yang seakan melihat dengan mata sinis ke arah saya.
Saat itu keputusan pahit saya terima dari pihak pendidikan untuk melepaskan judul proposal skripsi yang telah diujikan. Saya harus rela menunda kelulusan, padahal sudah banyak waktu yang telah saya korbankan. Namun Allah berikan kepingan cinta yang lain setelah itu, dialah waktu.
Berawal dari pertemuan saya dengan salah seorang dosen yang terkenal di kalangan teman-teman saya sebagai ibu peri, di saat saya bimbang kemana harus mengantarkan proosal skripsi. Beliau profesor yang telah menginspirasi saya selama satu setengah tahun belakangan. Ketulusan cintanya memang bukan dalam bentuk materi, tetapi cinta itu diwujudkannya dalam bentuk waktu.
Ada 10 orang mahasiswa yang beliau bimbing. Setelah resmi diterima kami diwajibkan untuk mengikuti bimbingan setiap Senin pukul 3 sore di ruangan beliau. Senang karena selain langsung dibimbing oleh profesor, jarang sekali ada dosen yang selalu meluangkan waktu khusus untuk memimbing mahasiswanya. Kalau dipikir berulang kali, saya sendiri pun belum pernah menemukan ada dosen yang memiliki komitmen dan karakter seperti beliau. Saking panjangnya antrian tak ayal saya pun harus pulang lepas maghrib atau isya. Dan bagi mahasiswa seperti saya, meluangkan waktu untuk bimbingan adalah bentuk kepingan cinta terbesar seorang dosen kepada mahasiswanya, bukankah demikian?
Semua mahasiswa bimbingan sudah dianggapmya sebagai anak sendiri. Setelah akrab kami memanggilnya bunda. Beliau telah mengajarkan arti persaudaraan yang begitu mendalam pada kami. Dari yang semula kami tak mengenal kini bisa menjadi sahabat.
Di saat salah satu mahasiswa bimbingannya masuk rumah sakit, kami diminta untuk menjenguk dan menghiburnya. Jika satu teman ada yang tidak hadir, yang lain wajib tahu alasannya. Bukankah empati adalah kepingan cinta yang dibentuk oleh waktu?
Kami tak hanya diskusi soal proposal skripsi. Beliau lebih sering bercerita tentang kisahnya semasa kuliah atau memberikan motivasi agar selalu semangat mengerjakan skripsi karena boleh jadi hari-hari ke depan akan melelahkan.
Kadang merasa kasihan ketika banyak orang yang mulai tak suka melihat begitu banyak mahasiswa yang ingin dibimbing oleh bunda. Ini bukan soal uang karena selama satu setengah tahun bersama beliau tak pernah terucap satu kalimat pun berapa imbalan materi yang ingin beliau dapatkan.
“Bunda heran, orang-orang yang berjalan pada jalur yang benar selalu dipermasalahkan? ditanya begitu saya hanya bisa menjawabnya dengan senyuman. Saya tak ingin bunda semakin bersedih. “Menegakkan kebenaran itu jalannya panjang dan berliku, Bun.” Ketika bimbingan telah usai bunda selalu mencium kening kami ketika kami pamit pulang. Bukankah kasih sayang adalah kepingan cinta yang dibentuk oleh waktu dan kebersamaan?
Seiring dengan bergulirnya waktu, bunda memberikan amanah untuk saya. Yah, saya merasa bunda selalu memberi ekspektasi lebih kepada saya dibanding teman-teman yang lain. Mahalnya biaya penelitian yang akan dilakukan mengharuskan kami membuat proposal pendanaan ke Dikti.
Saya tahu betapa banyak yang harus diurus namun beliau tetap mengusahakan agar proposal kami bisa sampai di Jakarta sebelum deadline. Selama 3 hari beliau menemani saya bersama 2 dosen yang lain untuk mengerjakan proposal itu hingga tak terasa matahari sudah berganti menjadi rembulan.
Bahkan di hari terakhir beliau sendirilah yang mengantarkan dan memperbanyak proposal itu. “Saya akan berusaha memegang kepercayaan yang telah bunda berikan,” janji saya dalam hati. Bukankah kepercayaan itu adalah kepingan cinta yang telah dibentuk oleh waktu?
Beliau meminta saya mendoakannya dalam setiap sholat agar Allah selalu memberi beliau kekuatan dan kesehatan untuk membimbing kami. Bunda sudah memasuki usia purna. Diabates Melitus telah menggerogoti tubuhnya. Dan tentu saja terkabulnya doa itu adalah soal waktu. Inilah definisi cinta untuk saya, waktu. Dan cinta saya kepada Bunda hanya bermodalkan waktu. Sederhana, bukan?
Banyak orang yang memiliki waktu dalam hidupnya, namun ia tak pernah menyadari. Bahkan sengaja menghamburkannya seperti gelembung sabun untuk hal yang remeh temeh. Banyak pula kesempatan yang sebenarnya muncul dalam waktu-waktu tersebut, namun tak banyak orang yang bisa mengambil kesempatan itu untuk memberikan nilai tambah di dalam hidupnya. Karena tanpa sadar hati dan pikiran kita terlalu sempit dalam mendefinisikan sebuah cinta atau karena definisi cinta itu sendiri yang terlalu luas?
Salah satu bentuk cinta Allah kepada makhluknya adalah waktu. Di malam gelap gulita, siapakah manusia yang dapat menegakkan kepala dan punggungnya, serta menjauhkan perutnya dari kasur yang empuk untuk bermunajat kepada Allah Sang Maha Cinta?
Di waktu shubuh, siapakah manusia yang menyadari bahwa sholat fajar itu lebih baik daripada dunia dan seisinya? Pun ketika di pagi yang menerpa wajah, ketika matahari mulai naik sepenggalah, siapakah manusia yang sadar bahwa ia seharusnya memberikan sedekah pada anggota tubuhnya?
Ini saja masih belum bisa mewakili definisi cinta tentang kepingan masa, lalu kenapa kita tak lekas sadar untuk belajar?
Allah telah tuliskan tentang waktu dalam Al Quran, bahkan dalam bentuk sumpah. Bahwa masa adalah akumulasi dari waktu-waktu yang kita miliki. Masa adalah kepingan waktu yang terserak.
Masa adalah sesuatu yang relatif. Barangsiapa yang bisa memanfaatkan waktunya (masa) dengan baik, maka dialah manusia yang akan berada dalam keadaan beruntung sepanjang masa hidupnya. “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali yang beriman dan yang beramal saleh.” Wallahua’lam bishshowab.
Dalam kerinduan akan masa bimbingan
Kota soto, 200211