Pintu kayu itu dibuka. Dua orang perwira di dalam ruangan segera berdiri tegap dan memberi hormat.
“Selamat siang, mohon ijin,” seru mereka. “Silakan duduk. Silakan duduk.”
Kursi-kursi digeser. Karena tidak cukup, kursi di ruang sebelah didatangkan. Kami segera dipersilakan duduk.
Letkol W menyiapkan berkas-berkas bahan diskusi. Sambil menata kertas di mejanya, ia menyeletuk. “Saya jadi nggak enak, nih, Pak H,” katanya pada lelaki paruh baya yang menyertai kami. “Masak Kolonelnya yang datang ke sini?” Ia lalu melirik lelaki di samping saya.
Pak H hanya terkekeh.
Dengan tersenyum pula, Kolonel D, seorang yang dimaksud Letkol W di samping saya menjawab. “Lho, untuk urusan diskusi teknis begini kan tidak ada hubungannya dengan pangkat?” katanya mencairkan suasana. “Justru inilah yang benar, yang tidak tahu mendatangi yang lebih tahu untuk belajar. Bukan begitu, Pak Bahtiar?”
“Benar, Pak,” jawab saya mengiyakan lelaki itu. Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. Yang mencari ilmu mendatangi yang memberikan ilmu. Bukan sebaliknya.
Diskusi pun berjalan gayeng. Fokus. Dan hasilnya pun sangat menggembirakan.
“Saya senang diskusi seperti sekarang ini,” kata Kolonel D pada saya setelah diskusi selesai, sebelum ia meninggalkan gedung. “Meski hanya sebentar, tetapi fokus dan hasilnya konkrit.”
***
Meski Stephen King mengaku dalam On Writing bahwa ia terbiasa membaca 100 buah buku dalam satu tahun, tetapi saya tidak pernah bertemu dengannya. Karena itu, tidak ada seseorang yang lebih “gila” dalam hal membaca buku yang pernah saya jumpai selain perwira dengan tiga melati di pundak ini.
Setiap kali saya datang ke ruangannya untuk berdiskusi atau sekedar sharing informasi, selalu saja ada buku baru di mejanya. Bahkan, Tafsir Fii Dzilalil Qur’an saya lihat tak pernah absen berada di meja kanannya. Saya hampir yakin bahwa tafsir itu mungkin sudah berganti jilid dari sebelumnya setiap kali saya datang pada kesempatan yang berbeda. Karena Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka saja sudah ia khatamkan sejak lama. Dan setahun yang lalu, ia membeli paket utuh tafsir karya Sayyid Quthb itu. Kini boleh jadi sudah dilahapnya habis.
“Tafsir ini lebih enak dibaca karena mengandung unsur sastra, Pak,” katanya ketika saya tanya suatu kali. “Membacanya membuat kita tidak cepat bosan.”
“Bagaimana dengan tafsir Al-Mishbah, Pak?” tanya saya memancing.
“Saya berencana membacanya juga suatu saat,” jawab beliau mengomentari tafsir karya Pak Quraish Shihab itu.
Tak heran, di mejanya beberapa waktu lalu, tergolek Shalat Khusyu’ tulisan Abu Sangkan. Lain waktu, novel Da Vinci Code karya Dan Brown. Kemudian Laskar Pelangi, jauh sebelum buku itu booming. Lalu buku tentang biografi Presiden Suharto, buku-buku teknologi informasi, sejarah nusantara, termasuk novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Majalah komputer terbaru seperti tak pernah lewat untuk dibacanya. Maklum, ia pernah menjawab sebagai kepala sub dinas yang berkaitan erat dengan teknologi informasi di kesatuannya.
Hampir setiap hari buku yang dibawanya – dan tentu dibacanya — selalu berganti. Dan hari itu, saya temui buku tentang leadership di antara berkas-berkas di mejanya.
“Tidak ada novel John Grisham yang pernah terbit yang belum saya baca, Pak,” katanya. Saya lantas membayangkan betapa luasnya perpustakaan pribadinya di rumah. “Semua buku tentang leadership berbahasa Indonesia yang pernah ada juga tidak ada yang luput saya baca,” katanya tanpa terkesan menyombongkan diri.
“Kapan Bapak bacanya?” tanya saya ingin tahu.
“Saya biasa membaca buku sekitar 1 jam sebelum tidur,” katanya. “Dan terutama di hari libur, saya bisa menghabiskan satu buku setebal 500 halaman sekali baca.”
Hua! 500 halaman sehari? Bagaimana bisa?
Tak heran jika Pak H, kolega saya itu, pernah berkomentar tentang sosok ini. “Heran sama orang yang satu ini. Ketika tugas di Singapura beberapa waktu lalu, jika yang lain pada belanja atau ngelayap entah ke mana, eh, beliau hanya minta diantar ke toko buku Kinokuniya.”
***
Ia seorang tentara. Seorang perwira berpangkat melati tiga di pundaknya. Seorang pamen yang tak pernah telat apel pagi dari satuan kerjanya. Bahkan mungkin satu-satunya. Seorang diantara sedikit perwira yang masih segar mengikut KASAL kala itu berlari pagi mengelilingi kawasan markas besar TNI AL Cilangkap sejauh beberapa kilometer tanpa alas kaki hingga ke garis finish setiap olah raga hari Selasa dan Jum’at.
Ia mantan aktivis Masjid Salman, yang lantas berkarir di kedinasan baju biru laut. Jam beraktivitasnya teratur dan rutin: bangun pukul 03.00 pagi dan tidur tidak telat dari jam 10 malam. Ia sudah berada di kantornya pagi-pagi sebelum jam kantor tiba. Setiap kali undangan rapat, ia pasti akan datang lebih awal dari waktu yang telah ditentukan dengan bahan yang telah siap di tangan. Demikian juga halnya untuk sekedar janji bertemu pada acara-acara yang sifatnya informal.
Ia juga sempatkan untuk mengajar di sebuah almamater selepas jam kantor atau di hari Sabtu; sesuatu yang seketika membuat saya merasa begitu capek hanya untuk membayangkan saja. “Uangnya tidak seberapa, Pak,” katanya suatu kali. “Hanya agar ilmu saya berkembang dan tidak mandeg saja.”
Dari kombinasi inilah: suka membaca, suka belajar, mau mengajar, dan disiplin yang tinggi, jika berdiskusi dengan beliau, maka pasti to the point, tidak bertele-tele, ilmiah dan berdasar, serta berorientasi pada ilmu dan memandang jauh ke depan.
***
Tidak itu saja.
Pernah pada rapat di setingkat asisten bintang dua, ia mengemukakan pendapatnya dengan begitu keras, berseberangan dengan pemikiran banyak pejabat lain yang notabene seniornya. Saking sengitnya, beliau sempat diperingatkan oleh ketua rapat. “Kamu jangan nyerocos begitu!”
Meski demikian, ia tetap menyampaikan pertimbangan-pertimbangan yang relevan, logis, dan berdasar pada forum itu terhadap permasalahan yang sedang dibahas.
“Apakah tidak mengapa tadi Bapak diperingatkan sama ketua rapat, Pak?” tanya saya sehabis rapat yang saya juga hadir itu.
“Buat saya tidak masalah, Pak,” jawabnya enteng. “Paling-paling dimarahi.”
“Apakah tidak mempengaruhi karir Bapak?”
“Ah, saya tidak mikir masalah itu, Pak. Paling banter ya dipecat.” Ia tertawa.
Saya pun tersenyum. Dipecat dari kedinasan bukankah memalukan?
“Itu konsekuensi dari jabatan saya, Pak, sebagai tim teknis. Kalau saya diam saja terhadap permasalahan yang sebenarnya saya harus menjawabnya, justru saya menyalahi amanah jabatan saya.”
***
Saya jadi ingat cerita ketika Umar bin Khaththab ra. diangkat sebagai khalifah, ia berpidato di depan khalayak yang hadir. “… Apabila tindakan saya benar, ikutilah saya. Dan jika saya menyimpang, maka luruskan saya.”
Tiba-tiba merangseklah seorang pemuda dengan pedang terhunus di tangan. “Wahai Umar, apabila engkau menyimpang, maka saya akan luruskan dengan pedangku ini!”
Umar justru tersenyum. “Alhamdulillah,” katanya. “Puji bagi Allah yang telah memberikan keberanian kepada seorang hamba-Nya yang bersedia meluruskan Umar dengan pedangnya.”
Saya berandai-andai, jika saja ada orang-orang yang cakap dan berani karena menjalankan amanah seperti lelaki dari Cilangkap yang saya ceritakan di atas, atau pemuda di depan khalifah Umar itu, barangkali akan banyak yang bisa diselamatkan dari negeri ini. Tak perlu orang seperti itu banyak-banyak. Bukankah di balik setiap perubahan besar pasti ada para pioner dalam tim kecil yang menyebabkan perubahan itu terjadi? Bukankah James Gleick mengatakan tentang Butterfly Effect, bahwa seekor kupu-kupu yang mengepakkan udara dengan sayapnya hari ini di Beijing dapat menyebabkan tornado di New York tahun depan?
Maka setiap kali saya patah semangat, malas belajar, stagnan menebar hikmah lewat tulisan, saya akan teringat dengan lelaki ini.
Wallahu a’lam.
***
Bahtiar HS http://bahtiarhs.net
PS. Teriring mohon maaf jika kurang berkenan, karena nama tidak disebutkan untuk menjaga privasi beliau yang bersangkutan.