Sore baru saja hadir. Semburat merah nampak menebar warna, sedikit membuat sore itu nampak begitu indah. Kebanyakan orang menyebutnya sebagai senja. Sinar yang menghangatkan bagi orang-orang yang bernauang di bawahnya. Lelah raga, ataupun letih jiwa seakan surut dengan hadirnya senja itu. Aku terus melangkahkan kakiku di atas trotoar di sebuah kota yang konon orang menyebutnya “kota metropolitan”. Kota labuhan mimpi, kota yang menawarkan kemewahan bagi penghuninya.
Banyak langkah yang bergegas. Di senja hari langkah –langkah itu seakan tak mau berhenti barang sedetikpun. Kemacetan, tak sedikit terjadi di jalan-jalannya. Langkah kakiku di trotoarpun malah masih terganggu dengan motor yang menyerobot. Ataupun oleh bisimg klakson yang seperti bersahutan. Apa mereka tak melihat rambu sedang merah? Beberapa umpatan tak jarang keluar dari dalam mobil mereka. Langkahku masih satu –satu menapak paving blok yang tersusun. Sebentar lagi maghrib akan tiba, ke mana langkahku terhenti. Di masjid mana ragaku akan bersujud. Terlalu letih raga dalam kemusafiran.
Sebuah pasar tradisional menjadi tujuanku. Beberapa orang yang kutanya di mana masjid berada selalu bilang “Terus saja … di belakang pertokoan akan ada pasar, masuk saja ke dalam!”. Benar, setelah sampai di sebuah pertokoan aku melangkah menuju ke sebuah pasar yang kata orang-orang tadi ada masjidnya. Menerobos jalan yang masih terlihat terang. Kurang beberapa menit lagi adzan akan berkumandang. Beberapa meter dari jalan raya aku menjumpai banyak pedagang yang berjualan di pinggir jalan, mungkin inilah pasar tradisional yang di katakan orang orang tadi.
Berderet pedagang dengan bangunan yang terlihat seadanya dan kelihatan baru saja berdiri. Mereka menempati halaman dan sebagian meluap di pinggir jalan. Lampu penerangan mulai di nyalakan. Di setiap lapak pedagang nampak memberesi daganngannya.
“Bu masjidnya di sebelah mana?”tanyaku pada seorang nenek yang sedang memasukkan buah ke keranjang.
“Masjid…”ulangnya. Ia nampak berpikir, mungkin sedang mengingat.
“Iya Bu”jawabku cepat.
“Yang ada musholla, ngak apa?”jawabnya, aku mengangguk.
“Di mana?”tanyaku.
“Masuk lewat gang ini. Di sebelah kanan”jarinya menunjuk ke gang yang harus aku lewati.
Kuucapkan terima kasih terlebih dahulu sebelum melangkah ke gang yang tadi ditunjuk nenek itu. Aku berjalan semakin masuk. Di sebuah kios yang nampak ramai dan berisik ada gang yang di tunjuk nenek itu, aku masuk. Gang yang menuju ke musholla terlihat sepi, di kanan-kiri juga sepi dan terlihat sudah gelap. Pasar ini habis kebakaran, pikirku..
Sebuah bangunan yang kurasa ikut terbakar nampak di sebelah kananku, mungkin ini yang di maksud nenek itu. Bangunan yang sudah ada beberapa orang di dalamnya. Bangunan tak beratap, beberap keramik lepas dari lantai. Dinding juga masih ada bekas salatan api menghitam, seperti lukisan abstrak.
Sebelum aku sempat masuk adzan sudah berkumandang tanpa pengeras suara. Lantunan tanpa pengeras suara itu keras dan sangat indah suaranya. Di ujung gang orang mengantri mengambil air wudhu. Sebagaian jamaah sudah masuk dan aku masih mengantri wudhu dikamar mandi umum. Air kran hanya dua buah dan yang ingin berwudhu ternyata banyak.
Sebelum sampai di musholla, kumandang Qomat telah melengking. Aku segera masuk ke dalam. Aku kaget, di dalam hampir sudah tidak muat lagi untuk ikut sholat berjamaah. Ada empat shof yang terbentuk, di tiap shof kurang lebih delapan orang. Aku bersyukur di dekat pintu masih ada tempat kosong. Di belakangku adalah dinding yang menyekat untuk shof perempuan.
Seusai sholat hanya beberapa saja yang berdoa dan sholat rowatib. Datang kemudian jamaah yang lain untuk sholat berjamaah. Sungguh, di dalam kondisi musholla yang sedemikian jamaah masih melakukan sholat berjamah dengan semangat. Lampu neon 20 watt ternyata tak menghalangi jamaah merengkuh pahala sedemikian derajat yang di janjikan Alloh.
Malam ini aku harus bermalam di sini. Maka kutanyakan siapa marbotnya. Seorang lelaki tua nampak menghampiriku. Ia mengizinkanku untuk bermalam di sini. Lelaki tua yang kebetulan imam musholla itu juga bercerita kalau musholla seminggu yang lalu bau kebakaran. Musholla yang berpenerang 20 watt itu tak pernah sepi dari orang, katanya.
“Sebulan lagi kami akan membangunnya, masih ada sedikit kekurangan dana”terangnya.
“Kenapa tidak minta donatur pak? Tanyaku.
“Ini kesadaran kami. Kami tak mau merendahkan agama ini dengan meminta-minta, biarlah sesuai kemampuan, karena kami percaya setiap niat baik akan di balas dengan beribu kebaikan pula”
Aku menunggu sholat isya dengan lebih khidmat. Di atas kami bintang berpedar, angin seakan melantunkan kuasa di kota yang kebanyakan orang menyebutnya Metopolitan.