Seorang sahabat, yang datang ta’ziah de Fahrin pada tengah malam itu (saat de fahrin masih disemayamkan), berkata, "Nanti cobaannya yang akan terasa adalah rasa kangen, Ning. Tapi aku yakin kamu kuat."
Dan kini, genap 25 hari telah berlalu. Tetap saja aku masih merindu. Rindu bercakap dengannya, rindu memeluknya, rindu bermain dengannya, juga rindu dengan ke’nakal’annya. Rindu yang coba kukabarkan pada langit, pada mentari, agar sejenak aku lupa. Namun, saat rindu itu mendera, betapa terasa perih di hati. Betapa sulit membendung tumpahnya air mata. Rindu yang kadang membuatku terdiam lama, menggenang air mata, atau menangis dalam sunyi, meski tak terlalu lama. Rindu yang membuatku sulit untuk memejamkan mata di malam hari, saat biasanya ia minta ditemani sebelum berangkat tidur. Rindu yang kadang membuat seluruh persendian terasa lemas tak bertenaga, sambil melihat salah satu potretnya. Rindu yang berakhir dengan kepasrahan dalam lantunan doa lirih seorang bunda, “Ya Rabb, sampaikan rinduku padanya. Ijinkan suatu saat aku dapat bertemu, dan memeluknya lagi…”
Ah, aku jadi ingat sepenggal nasihat dari penyair Taufiq Ismail:
Bersabarlah. Meski ia tak lagi ada, telah Allah taqdirkan ia sekarang berlari-lari riang di taman Firdaus. Sembari menanti kedua orang tua ynag dikasihinya. Hinga saat nanti kalian bertemu dengannya, wildan itu berkata, “Duhai ayah ibuku, ini aku anakmu. Temanilah aku dalam firdaus ini, karena aku telah begitu lama merindukan kalian” Allah senantiasa bersama orang2 yang sabar.
Aku tahu, aku harus bersabar. Tapi kadang aku tak kuasa. Ibarat saklar, aku masih merasa on-off. Ya Rabb, aku mohon ampun padamu, jika hati ini kadang masih merintih perih serasa disayat sembilu. Kucoba yakinkan diri, untuk menghibur hatiku. Maka, catatan singkat dari seorang adik yang belum lama ditinggalkan istrinya, kini begitu terasa ‘ruh’nya bagiku:
Kita tak pernah benar-benar memiliki
tapi kita benar-benar dititipi
jika tak pernah benar-benar memiliki
mengapa merasa bangga bila berlebih
jika tak pernah benar-benar memiliki
mengapa rasa kehilangan itu begitu pedih
kita memang tak pernah benar-benar memiliki
tapi kita benar-benar dititipi
Sungguh semuanya Allah yang benar-benar memiliki
dan kepada-Nya semua benar-benar kembali
(MK)
Ternyata, meski paham kalimat-kalimat nasihat sarat makna tersebut, tak mudah menyikapi. Ternyata, meski berusaha tegar, sulit untuk terus bersabar.
Banyak hal yang membuatku teringat padanya, buah hatiku yang lucu.
Saat pagi, masih kutengok kamarnya unuk membangunkannya. Ah ternyata .. dia sudah tiada.
Saat sore menjelang petang, dan dia yang biasanya menyambutku datang dari kantor sambil menggeratak isi tasku mencari permen kopiko, kucari ia yang tak nampak batang hidungnya. Main kemana sampai sore begini belum pulang juga? Ternyata… memang tak ada.
Saat duduk di pesawat menuju Medan, tepat 2 pekan setelah kepergiannya, langsung aku teringat, hari sabtu & ahad 2 pekan yang lalu dek Fahrin masih naik pesawat untuk pertama (& terakhir kali) bersama kami sekeluarga. Maka, perjalanan Jakarta-Medan malam itu kulewati dengan rasa sesak di dada dan derasnya air mataku …
Saat beres-beres rumah, di atas bufet kutemukan sebuah amplop tertutup lem, berisi 3 uang logam. Duhai, segera aku tahu, ini salah satu hasil kreatifitas dek Fahrin, yang akhir-akhir ini sering minta amplop kosong padaku.
Saat aku membereskan tas travel dari Jogja, di saku tas kutemukan tali nylon warna-warni. Allahu.. aku langsung ingat, itu tali yang diminta Fahrin dari Om-nya di jogja, beberapa jam sebelum kami balik ke Jakarta. Aku yang memilihkannya waktu itu. Tiba-tiba rasa rindu kembali menyeruak…
Saat mengawasi mahasiswaku yang sedang praktek mengajar anak TK 3 hari yang lalu, tiba-tiba berkelebat di pelupuk mataku, dek Fahrin yang penuh semangat dengan seragam barunya tiap pagi pergi ke Play Grupnya, tak jauh dari rumah. Bahkan baju renang muslimah yang kau minta belikan itu, belum sempat kau gunakan bersama kawan-kawan di Play Grupmu. Perih terasa, kini semua berbeda. Allahu…sampaikan rinduku padanya…
Tapi, di sisi lain, banyak sahabat yang memotivasiku. Salah satu sahabat yang ta’ziah malam itu, justru tak mengucapkan bela sungkawa. Dia memelukku dengan senyum, dan berkata, "Selamat mbak, selamat, Subhanallah, engkau telah dipilih mendapatkan kenikmatan ini, memiliki tabungan seorang wildan di surga."
Aku membalas ucapannya dengan tersenyum, terhibur, tapi juga masih menyisakan perih.
Salah seorang teman kuliahku juga mengucapkan hal yang kurang lebih sama, setelah 5 hari dek Fahrin tiada. Bahkan dia mengatakan ‘cemburu’ padaku. Ucapnya, "
Saudariku, …apa yang harus kukatakan? Lama aku tak buka FB. Pulang kantor suamiku suruh aku buka FB, ada berita anaknya mukti meninggal. Yang ada di kepalaku saat itu hanya tanya, “Kenapa? Tapi membaca seluruh tulisanmu sampai hari ini, aku jadi sadar… hanya satu kata yang pantas diucap ‘ Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Ukhti, Allah begitu mencintaimu dengan semua kehendak yg telah ditetapkannya untukmu…sungguh aku "cemburu" padamu. Uhibbukifillah.”
Ya, aku tahu… bahwa hidup harus terus berjalan, Seperti kata adikku:
coz life ain’t nintendo game… can’t be paused, can’t be replayed… (MK)
Aku tahu, aku harus kuat. Bukankah musibah datang, ‘supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu’ (QS. Al-Hadid : 23) ?
Bukankah seorang Ummu Haritsah, yang tadinya terus menangis karena ditinggalkan buah hatinya, lalu bertanya pada Rasul, jika anaknya masuk surga maka ia akan bersabar, tapi jika anaknya masuk neraka maka ia akan terus menangis, dan Rasul kabarkan bahwa anaknya menempati surga firdaus, seketika sedihnya hilang dan tangisnya berhenti?
Tapi, jika kadang rasa rindu itu tiba-tiba mengharu biru, semoga ini bukan berarti aku tidak sabar. Jika kemudian aku masih saja meneteskan air mata saat rindu mendera, semoga ini bukan berarti aku tidak ikhlas.
maka…
adalah air mata
biarkan menelusuri jalannya
biarlah tumpah saja
biarkan mengikuti takdirnya
seiring berseminya keikhlasan hati
(AYN)
Allahu, semoga airmataku untuknya mampu menjadi penyiram iman, kenangan tentangnya senantiasa bersemat doa & kerinduanku padanya menjadi bingkai amal agar suatu saat aku dapat memeluknya (lagi), suatu saat nanti …..
Dan, kudekap erat fotomu, sambil memaknai puisi indah seorang ibu Palestina yang anaknya terbunuh tentara zionis:
Bermimpilah yang indah, anakku.
dan kucium keningmu dengan mata basah,
disini ada ayah dan ibu
yang selalu mengirim doa untukmu.
Air mata kami
akan menjelma titian pelangi
membawamu kesana,
kekal bersama doa-doa
yang kami lantunkan
setiap saat
setiap kali…
(DB)
*di penghujung rindu untukmu, dek Fahrin…