Ijinkanlah aku untuk menulis. Bukan untuk menggugat keputusan-Nya, tetapi untuk melerai duka, melarung lara, karena kepergian buah hati tercinta.
Semoga dengan menulis ini tidak mengurangi nilai kesabaran dan keikhlasan, karena aku tetap ingin digolongkan orang2 yang sabar dan ikhlas saat ditiimpa musibah.
Aku hanya ingin berdamai dengan diriku sendiri. Seperti nasehat seorang sahabatku:
"Aku tahu mbak rasa kehilangan ….berdamailah dengan rasa itu…serahkan pada yang Sang Maha Empunya…biarkan isak itu tumpah seperti kekasihNya menggugu dikala Ibrahim sang permata hati diminta Sang Pemilik..biar rasa itu mengkhaliskan seluruh rasa…biarkan rasa itu menuntun pada asa sakinah istana indah di sisiNya. amiin"
Atau seperti kata seorang adikku dalam pesannya yang panjang:
Mbak, Akan tiba suatu masa, ketika kau menyadari bahwa riak bening di telaga Kautsar adalah muara air mata kesabaranmu di dunia, langit yang menopang keberadaanmu di sisi-Nya adalah rajutan ketegaranmu, dan sinar yang memancar dari setiap sudut istana abadimu adalah senyum keikhlasanmu.
Karena itu, bertahanlah. Jangan biarkan sungai ujian ini menghanyutkanmu, bahkan merenggut akarmu yang tersisa. Sampaikan rindu untuknya, lihatlah ia akan memelukmu dan membisikkan ke hatimu, “semuanya akan baik-baik saja ibu… ayah…”
Maka, jika melihat benda-benda miliknya di rumah ini aku masih meneteskan air mata, semoga itu bukan berarti aku terjebak pada rasa kehilangan dan terperangkap romantisme bersamanya, dulu. Bukankah Rasululah SAW juga meneteskan air mata saat putra tercintanya yang masih kecil, Ibrahim, meninggal dunia?
Maka, jika aku merasa tidak nyaman untuk menjawab telepon atau sms yang bertanya, "Kenapa meninggal?", Astaghfirullah.. semoga itu bukan karena ketidakikhlasan. Hanya merasa letih, harus menjawab hal yang sama berulang-ulang.
Dan ….apakah kematian harus disertai dengan sebab yang meyakinkan sejelas matahari siang? Tidak cukupkah kita katakan bahwa ajal untuknya telah tiba, tak bisa dimajukan atau dimundurkan, apa pun sebabnya? Bukankah panglima Khalid bin Walid yang gagah berani justru meninggal di atas tempat tidurnya sendiri?
Maafkan aku saudara2ku, jika sms2 tentang itu tak ada jawaban dariku
Karena sesungguhnya, aku juga takut, jika sebab kematian menjadi begitu jelas bagiku, justru akan berbalik menjadi gerbang penyesalan untukku, yang dibisikkan oleh syetan-syetan jahat. Aku takut akan ada bisikan2: kalau saja begini, kalau saja begitu… Astaghfirullah…
Oh putri kecilku, aku hanya ingin mengenang hal-hal yang indah darimu.
Bukan ingin memberatkan langkahmu untuk lelap kembali pada pangkuanNya, yang Maha Sayang.
Sungguh aku juga ingin berpulang sepertimu, lelap dalam tidur panjang tanpa beban, suatu saat nanti.
Bidadari kecilku, memang kau masih belia, namun berpikir dewasa. Masih lekat dalam ingatan ucapanmu saat menjemputmu sepulang play group hari Jumat, 29 Oktober 2010. Kau bercerita, "Tadi ada nenek2 jatuh bu, di TK. Kasihan yaa. Harusnya yang jemput bukan neneknya, tapi ibunya"
Atau ucapanmu yang mengingatkanku tentang kesehatan, dengan bahasamu yang lucu, "Ibu, kalau suka minum kopi, nanti kaya nenek2 lho. Kalau kaya nenek2, nanti cepet mati"
Subhanallah, caramu mengingatkan begitu indah, nak.
Namun, ternyata Allah memanggilmu lebih dulu.
Masih lekat pula dalam ingatanku, saat di Jogjakarta, ahad pagi 31 OKtober, pada hari yang sama engkau dipanggilNya, kau meminta tempat minum baru setelah melihat tempat minum dek Azka, sepupumu, "Beliin yang kayak itu ya bu, untuk aku sekolah"
Iya nak, ibu sungguh ingin belikan, tapi untuk siapa kini? ….
Masih kuingat saat kau mengambil krayon, tetapi tidak meminta kertas putih kepadaku. Ternyata kau coret-coret wajahmu dengan krayon itu, dan kau berkata, "Aku mau jadi tentara!"
Masih banyak, masih banyak lagi kenangan indah bersamamu, yang akan terus kusimpan, dan kuceritakan nanti, saat kita berjumpa lagi.
Tunggu kami ya naaak, doakan kami agar bisa berkumpul bersamamu di surgaNya, nanti…
Semua mencintaimu naak. Betapa saat kau akan dipanggil-Nya, sampai selesai seluruh rangkaian kewajban terhadapmu, aku merasakan semua orang mencintaimu. Biaya rumah sakit yang digratiskan bunda Mugi, urusan biaya pemakaman yang tiba-tiba sudah beres karena kedermawanan ayahanda Rama, bunda Indah yang datang untuk memandikan, tetangga2 yang langsung berbagi tugas memasak ini itu atau memasang tenda dan kursi, kedatangan sahabat2 SMA, teman2 kantor, dan handai taulan dari jauh untuk mengucapkan simpati, sampai uang duka yang besarannya cukup untuk melangsungkan pesta penikahan. Subhanallah, ibu terharu naak, betapa indahnya persahabatan dan ukhuwah itu. Terharu, sekaligus pilu….
Sungguh, siapa menduga ajal akan menjemputmu begitu cepat, tak lama setelah mengajakmu berjalan-jalan 2 hari ke jogjakarta. Sungguh, bahkan sampai kau diambilNya pun, sesaat aku masih belum percaya. Karena semuanya begitu cepat terjadi. Aku hanya bisa berucap: Innalillahi wainna ilaihi rooji’un
Tiga tahun tujuh bulan
masa yang indah bersamanya
Kau percayakan aku mengasuhnya
Kini kau panggil dia pulang ke pangkuan-Mu
Aku redha dengan taqdir-Mu, ya Rabbi…
*kenangan untuk buah hatiku yang ke 3, KALIFAFIRDAUSYFAHRIN, yang wafat ahad, 31 Oktober 2010