Katarsis Jiwa Yang (mungkin) Tak Biasa

Pekan lalu, datang seorang pentaziyah, sepasang suami istri yang belum lama anaknya meninggal di SD tempat si anak bersekolah. Si anak meninggal mendadak setelah berlarian di halaman sekolah bersama teman-temannya. Saya kebetulan melayat juga waktu si anak tersebut meninggal.

Mereka menyimak penuturanku tentang kronologi kejadian meninggalnya buah hatiku yang ke-3, dek fahrin, yang baru 3,5 tahun, dengan seksama. Meninggal mendadak karena tersedak, padahal sebelumnya sehat-sehat saja. Kulihat sepasang mata si istri tampak berkaca-kaca, sementara si suami tampak tertunduk sedih. Mungkin mereka ingat akan anaknya.

Saya sendiri, herannya, justru punya kekuatan untuk menghibur mereka, “Saya tak bisa menjelaskan sebabnya dengan rinci bu, mungkin sama kejadiannya dengan anak ibu dulu, sebabnya tidak jelas. Tapi yang penting, kita tahu bahwa ajalnya telah tiba. Kalau kita masih mencari2 sebabnya, nanti malah gak bisa pasrah menerima taqdir”

Si suami menjawab, “Iya bu, paling ya begitu akhirnya, untuk menghibur diri”

Hmm, nasib kita sekarang sama, pak, bu…

Lain hari, datang adik tingkat kuliah, seorang perempuan cantik yang sudah ditinggal wafat suaminya lebih kurang 3 tahun lalu, (waktu itu) dengan 3 anak yg masih kecil. Dia datang malam hari nekat dengan motor, dari Sawangan ke rumah saya di Pondok Cabe, hanya karena ingin berbagi kisah senasib, ditinggalkan orang yang dicinta. Di ruang tamu, dia dengarkan kisahku, sambil menatapku lama. Lalu dia berkomentar, “Mbak, kamu cerita lancar begini, dan gak ada air mata? Bisa ya mbak? Atau, air matamu sudah kering terkuras mbak?”

Saya tersenyum, malu juga menyadarinya. Bukan kering terkuras dek, tapi lebih karena mencoba pasrah. Begitulah taqdir Allah yang terjadi, harus dilakoni kan?

Shock, jelas ada. Karena dek Fahrin berpulang sangat mendadak, tanpa sakit berarti. Praktis hanya 1,5 jam dari sakit sesak nafasnya, Allah berkekehendak memintanya kembali. Tapi untuk apa bersedih lama-lama, saat justru mestinya bahagia karena dek Fahrin sudah jelas ‘masa depannya’ bahkan insya Allah menjadi tabungan bagi kami, orang tuanya?

Kali lain, saat saya menguplod lagu Tidurlah Tidur dari Katon di salah satu situs jejaring sosial (yang mendadak jadi lagu favorit saya sepeninggal Fahrin), dan beberapa sahabat muda saya sms potongan syair lagu itu:

Tidurlah tidur bidadari kecilku

Setelah lelah kau bermain

Mimpikan dirimu dalam istana

Menari penuh suka


Dan kukecup lembut keningmu

Rasa haru luluh jua

Tidurlah tidur bintang kesayanganku

Bersinar menerangi sukma

Ternyata salah satu dari mereka membalas smsku dengan agak keras: “Sudahlah, jangan begini terus. Kalau masih terus sedih, yang lain juga ikut sedih”

Giliran saya yang bingung. karena saya menulis sms itu justru sambil bersenandung menyanyikan lagunya, membayangkan masa-masa indah bersama Fahrin. Kenapa diasumsikan sedang bersedih?

Tulisan-tulisan saya dua pekan ini yang tiba-tiba bak air bah tentang dek Fahrin, juga beberapa dikomentari sejenis itu. Bahwa saya harus ikhlas. Bahwa saya jangan sedih terus. Bahwa saya mungkin perlu menyimpan/membuang semua benda milik Fahrin agar tak terus teringat padanya. Bahwa saya mungkin perlu curhat dengan seseorang atau psikolog yang dipercaya untuk berbagi duka. Bahwa saya perlu mengganti foto-foto profil yang berisi foto Fahrin dengan gambar saya sendiri. Dan seterusnya. Dan seterusnya…

Semua ucapan itu memberikan simpati pada saya, dan sungguh saya hargai. Tapi, kondisi saya yang sebenarnya tidak ‘separah’ itu. Mungkin dalam tulisan, kesannya memang jadi mengaduk-aduk emosi. Tapi percayalah, kondisi nyata (jika anda ketemu saya langsung), tak sebegitunya lah, insya Allah :)

Saya bukan tipe-tipe yang mellow swallow dalam keseharian secara umum (meski kadang dalam beberapa hal sangat super mellow juga, hihihi). Bukan tipe perempuan yang mudah ‘rontok’, insya Allah. Malah pada hari ke-3 setelah Fahrin berpulang, kegiatan saya sudah normal seperti biasa. Kerja ke kantor, mengisi kajian keislaman di rumah sore harinya, dll. Salah seoprang ibu peserta pengajian Rabu sore itu sempat sms saya untuk meyakinkan, “Ibu bener-bener sudah kuat untuk mengisi kajian lagi?”

Subhanallah, kenapa bu, takut saya pingsan tiba-tiba ya? Doakan saya baik-baik saja ya bu…

Ah, kalaulah saya banyak menulis, justru itulah sarana katarsis saya. Pelepasan emosi saya, saat tiba-tiba teringat Fahrin dengan kelucuan dan keceriaannya.

Sebagian besar orang, terutama perempuan, mungkin lebih nyaman curhat-curhatan dengan teman saat dirundung duka. Tapi, saya merasa jauh lebih nyaman ‘curhat’ melaui tulisan. Saya meyakini bahwa writing is a part of healing. Jadi, saat menulis hal yang sedih, bisa jadi saya menulis sambil berurai air mata (sehingga tulisannya pun kadang membuat yang membaca ikut berurai air mata). Tapi, usai menulis, usai pula air mata saya. Terasa jauh lebih plong, lebih lega.

Maka, saya cukup kaget, saat ada sahabat yang mengatakan, “Mbak itu jadi panutan banyak orang. Hati-hati saat menulis lho, jangan sampai kesannya merawat kesedihan…”

Astaghfirullah! Begitukah? Kesannya saya merawat kesedihan dan membawa aura kesedihan terus-menerus dengan tulisan2 itu? Oh, mohon maaf, tidak bermaksud begitu, insya Allah.. :(

Mungkin ini katarsis yang tak biasa. Tapi setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengobati lukanya bukan? Saya mengobati luka dengan banyak menulis, memasang foto fahrin di hape, layar monitor, PP FB, dsb. Menyusun benda-benda pribadinya, sebagian jadi memorabilia, justru membuat saya lebih tenang.

Memang agak aneh. Orang lain lain mungkin justru berusaha bangkit saat ditinggalkan orang yang dicinta dengan cara membuang benda2 orang yang berpulag agar tak ingat2 lagi, saya justru menyimpannya dengan rapi. Bahkan malah sedang berencana membuat film album khusus tentang fahrin, buku tentang dia, dst.

Secara genetis ada faktor keturunan? Entahlah. Tapi, hal yang kurang lebih serupa, saya lihat dari Bapak saya sendiri. Tak lama sepeninggal ibu almarhumah, saya melihat Bapak memajang foto2 ibu berpigura 25R yang cukup banyak, di dinding kamarnya. Foto2 berpigura itu dipadu dengan puisi2 tentang ibu karya bapak sendiri! Yang saya tahu juga, Bapak selalu membawa foto ibu dalam tas besarnya jika akan bepergian cukup lama. Termasuk saat ta’ziah dek Fahrin kemarin, dengan segera saya bisa melihat di tas besar bapak ada foto ibu 25R yang dilaminating. Hmmm, lelaki yang sangat romantis :)

Sungguh, saya tidak ingin membuat orang yang membaca tulisan saya menjadi ikut bersedih dan berurai air mata, karena saya pun tak lagi berurai air mata :)

*mengenang 10 hari kepergian dek Fahrin (13 Mei 2007 – 31 Oktober 2010)