Harga Sebuah Kejujuran

Ini cerita tentang fragmen seorang anak kecil yang sedang diuji untuk menegakkan kejujuran. Menarik karena dari anak, dari jiwanya yang masih polos dan suci, betapa banyak hal kita bisa belajar.

Bidadariku nomor 2, Adnin, kelas 3 SD, kemarin pagi seperti biasa bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Mandi, sarapan, memakai seragam sekolah…. Tapi tiba-tiba, kudengar suara isakan di kamar. Kutengok, lhooo…. Adnin sedang sesenggukan sambil bersandar ke lemari baju. Mungkin mau mengambil jilbabnya, tapi entah kenapa tak jadi.

Langsung kutanya, "Lho kenapa ini, sudah rapi mau berangkat kok malah nangis? Adnin sakit? Atau kenapa? Berantem dengan kakak tadi?"

Dia hanya menggeleng, tak menjawab apapun, tapi masih menangis. Aku tahu, tabiatnya selama ini jika menangis, akan makin sulit untuk bicara. Beda dengan kakaknya, Hurin, yang bisa tetap lancar bicara sambil menangis.

Melihat dia masih tetap menangis, aku tak memaksa. Biarlah nangisnya tuntas dulu, tak terganggu dengan pertanyaanku.

Kutinggalkan kamar, mengerjakan hal-hal yang lain. Tak lama, balik lagi ke kamar, eh Adnin malah sudah tertidur. Walah, piye to iki? Tapi tentu aku tak tega mengusiknya. Biarlah dia tidur dulu. Feelingku mengatakan ada suatu masalah yang menyebakan dia tak mau sekolah, tapi dia masih belum berani atau mau cerita padaku. Ya sudahlah, dia butuh waktu untuk menetralisir emosi.

Karena aku sudah saatnya berangkat kerja, aku berpesan pada mbak yang di rumah, kalau siang nanti Adnin berubah pikiran mau berangkat ke sekolah, tolong diantar sampai kelas karena pasti terlambat beberapa jam pelajaran, takut dia jadi gak berani masuk kelas.

Ternyata, siang-siang kucek dari kantor, anak itu masih di rumah aja, tidak mau ke sekolah. Wah, kalau begitu nanti malam harus ada investigasi nih! *sambil mikir-mikir caranya supaya dia mau cerita.*

Malam hari, sepulang aku dari kantor, saat ketemu dia, langsung kusapa," Eh Adnin.. Jadinya gak sekolah ya? Kenapa memangnya Nin? Mau gak cerita sama ibu? Ibu janji gak akan marah kok"

Dia senyum-senyum dan bilang," Iya, mau, Tapi nanti aaah."

Kakaknya yang kebetulan di dekat situ langsung sensi, "Yaah, pasti karena ada kakak nih, gak mau cerita."

Aku hanya senyum-senyum saja.

Lalu aku menunggu jam-jam berlalu untuk mencari saat yang tepat mulai investigasi. Kebetulan ayahnya pun sudah pulang dari kantor, dan kulaporkan kejadian ini. Bertepatan saat itu waktuku untuk ‘ngelonin’ dede Hibban. Waduh repot nih gak bisa fokus investigasi deh :(

Akhirnya si ayah, dengan caranya sendiri supaya Adnin merasa aman, lantas menggendong Adnin, membaringkannya di kamar, dan mulai mengajak ngobrol pelan-pelan sambil sama-sama berbaring santai.

Ternyata, usut punya usut, kemarin dia mogok tak mau sekolah karena ketakuatan dengan hukuman harus belajar di kelas yang lebih tinggi, kelas 4. Ceritanya, wali kelasnya sedang melatih rasa kejujuran pada anak-anak muridnya, dengan cara self assesment. Bu guru sudah menyiapkan setangkai bunga matahari dari kertas cukup besar untuk tiap anak yang dipasang di tembok. Jika anak melakukan pelanggaran yang disepakati, maka anak itu harus memberikan titik/spot di tengah-tengah bunga matahari itu, yang sekaigus berfungsi sebagai hiasan. Pelanggaran yang disepakati cukup banyak: berlari di dalam kelas, makan minum sambil berdiri, jajan di luar sekolah, mengganggu teman, tidak mengerjakan tugas, dan terlambat datang ke sekolah.

Adnin bercerita bahwa bunga mataharinya banyak titik spotnya karena dia sering lupa berlari saat bermain di luar ruangan, (ahaha, aneh juga kalo yang ini dianggap sebagai pelanggaran. Namanya anak segitu ya hobinya lari lah kalo bermain di luar. Kayaknya ini sih persepsi dia sendiri).

Kutanya, "Ah, masak lari di ruangan gak boleh juga? Yang di dalam ruangan aja kali?"

"Iya ibuuuu, lari di luar juga. Pokoknya kalau lari, kata bu guru" kata dia rada ngotot.

Wedeww, jadi pengin konfirmasi segera ke gurunya :)

Akibatnya, karena seringnya dia berlari, titik-titik yang dia miliki di bunga mataharinya jauh lebih banyak dari teman-teman putri lainnya. Sementara sosialisasi awal dari wali kelasnya yang dia tangkap adalah: bagi 1 anak putra dan 1 anak puteri yang ternyata hiasan titiknya paling banyak, akan dihukum dengan masuk sehari ke kelas yang setingkat lebih tinggi, yaitu kelas 4.

Nah, ini rupanya yang membuat dia stress! Oalah, nduuk nduk.

"Lho, kan malah enak Nin, jadi pinter duluan, dapet pelajaran kelas 4" kataku mengjbur

"Enggak ah! Takutnya nanti ditanya-tanya, aku kan nggak bsa jawab. Gak ngerti pelajarannya" jawabnya, sangat logis.

Lalu tiba-tiba dia protes, "Tapi, teman-teman perempuan yang sebenarnya sering lari2 juga banyak lho bu, tapi mereka gak mau kasih titik di bunganya. Jadi titik-titiknya pada dikit-dikit."

Ayahnya spontan menjawab, "Waah, kalau begitu Adnin harusnya malah dapet hadiah nih, karena sudah bertindak jujur, meskipun tahu ada resiko dihukum. Tenang aja Nin, kan ada hadisnya tu, yang dulu sudah kamu hapalin: Innas shidqo yahdii ilal birri, wa innal birro yahdii ilal jannah. Kejujuran akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke surga. Jadi kalau kata ayah dan ibu, justru Adnin hebat!""

Dia tampak mulai tenang, tersenyum-senyum.

Kutanya lagi, "Jadi, besok gimana, mau sekolah gak? Atau masih takut kalau harus masuk kelas 4?"

Dia menjawab diplomatis, "Mau aja tapi ibu ke sekolah dulu. Jelaskan ke bu guru kenapa aku tak masuk tadi. Terus kenapa cuma aku yang dihukum"

Ehem, ternyata masih gak terima dia. Okelah nduk, ibu akan temui wali kelasmu besok :)

Pagi2 tadi, Adnin mengingatkan aku, "Bu, jangan lupa lho ke sekolahku, cari solusi buat aku!"

*hayah bahasanya kok tinggi amat to nduk* :D

Aku tertawa, "Yuks. ibu sudah siap kok"

Bersamanya, aku ke sekolahnya, bertemu dengan wali kelasnya. Kujelaskan duduk perkaranya pelan-pelan. Gurunya tampak geli. Pertama, karena anak putri yang paling banyak spotnya ternyata bukan Adnin, tapi ada teman lain yang lebih parah. Kedua, karena hukuman yang diberlakukan akhirnya bukan duduk di kelas 4, tetapi mencari buku tertentu di perpustakaan.

Aku yang punya naluri kependidkan, langsung ingin tahu apa yang sebenarnya sedang dirancang bu guru. Beliau lalu menjelaskan media dan sistem kerjanya, termasuk sosialisasi tentang masuk ke kelas 4 itu untuk ‘pemecah rekor’. Waktu kutanya kenapa harus kelas 4, gak kelas 2 atau kelas 3 paralelnya? Alasan beliau, karena kalau kelas 2 kan pelajarannya malah jauh lebih mudah, sedang kalau kelas 3 paralelnya belum tentu guru di kelas tersebut memberlakukan sistem yang sama.

Hmm, ada sesuatu that i have to do nih, eh i say :)

Dengan pelan-pelan, aku mencoba memasukkan penerapan teori tentang punishment. Bahwa tidak semua jenis hukuman cocok untuk setiap orang. Mungkin hukuman naik/turun kelas ini pernah berhasil untuk salah seorang anak kelas 6 (seperti yang diceritakan kakak Hurin), tapi belum tentu cocok untuk anak lain, termasuk Adnin. Apalagi jika harus masuk kelas di bawahnya atau di atasnya, yang secara komunitas sangat asing baginya dan anak dipaksa keluar dari zona nyamannya, ini menjadi beban psikologis yang luar biasa berat bagi anak tertentu, mungkin termasuk Adnin.

Alhamdulillah, beliau memahami penjelasanku *duh, sebetulnya aku juga rada takut kalau beliau tersinggung, tapi untunglah aku sejak lama cukup akrab dengan guru-guru di SD anak2 itu.*

Lalu aku menyarankan beberapa hukuman yang memungkinkan dan lebih mendidik, seperti membuat prakarya, meringkas buku tertentu di perpustakaan, atau membuat tulisan/karya dengan komputer di lab komputer, dan lain-lain.

Nah, pelajaran buatku sendiri adalah, kejujuran memang harus dilatih sejak dini. Meski dengan kejujuran kadang akan mendatangkan resiko (secara jangka pendek), tapi dalam jangka panjang, itulah yang paling nyaman dan aman :)

*Pondok Cabe, 22 Pebrruari 2011

muktiamini.blogspot.com