Sayangku, maafkan baru kali ini aku menjengukmu, sejak kepulanganmu lebih dari 3 bulan yang lalu. Jika selama ini aku tak pernah menjengukmu, bukan berarti karena aku melupakanmu naak. Tapi karena .… terasa berat melihat gundukan tanah merahmu itu bagiku.
Gundukan merah itu seolah mampu meluruhkan tulang belulangku, menguncupkan jantungku, hingga aku takut tak bisa menguasai diriku. Sungguh, tak ingin kuteteskan lagi air mata di pusaramu itu. Tak ingin aku tergugu pilu saat menjengukmu. Karena ku ingin kau melihatku tersenyum untukmu. Maka, cukuplah kulantunkan doa-doa untukmu dari atas sajadah, sambil menangis lirih di lorong sunyiku.
Melati kecilku, hari ini kami datang, untuk melihatmu. Melihat kayu pusaramu yang dimakan rayap, sungguh hatiku miris. Tak jelas lagi terbaca namamu di kayu itu. Aku tahu, ada atau tiada kayu pusaramu itu, tak penting buatmu, dan sejatinya kau tetap tersenyum.
Tapi, ijinkanlah kami menggantinya dengan batu nisan bertulis namamu, ya naak. Untuk mengingatkan kami, bahwa kau telah memberikan kebahagiaan yang begitu indah selama 3,5 tahun. Bahwa ajal tak mengenal usia, dan bahwa kelak kami pun akan menyusulmu, satu demi satu.
Sayangku, lihatlah naak. Kami semua datang mengelilingimu sore ini. Datang dengan segunung rindu, membayangkan kenangan indah bersamamu. Kakak2 dengan penuh sayang mencabuti rumput2 liar di sekitar makammu. Juga adikmu, yang mungkin tidak tahu siapa sesunggguhnya yang berada di balik gundukan tanah itu, ikut membantu. Ayah dan ibu, saling bantu memasang batu nisanmu. Tak ada orang lain, hanya kita sekeluarga nak.
Buah hatiku, maafkan jika selama 3,5 tahun membersamaimu, tak paripurna kuberikan kasih sayang itu. Dan, ternyata Allah yang Maha Rahman dan Rahim jauh lebih sayang padamu. Ingin didekapNya kau lebih erat disampingNya, dengan kasih sayang yang tak tergambarkan manusia.
Tentu aku tak akan ragukan itu, karena Dia jua yang menciptakan kau dan aku. Karena kau sejatinya adalah millikNya, yang dititipkanNya sementara waktu padaku. Aku, meski ini berat, mencoba ikhlas naak, belajar untuk terus ikhlas, karena begitulah agamaku mengajarkanku.
Belahan jiwaku, namun karena aku pernah merasakan janinmu bergerak2 lincah di rahimku, merasakan indahnya 3,5 tahun bersamamu, maka… ijinkanlah aku untuk tetap merindu.
Rindu seorang ibu, yang terpisahkan dari salah seorang buah hatinya. Rindu melihat senyuum dan candamu. Rindu ingin mencium dan menggendongmu. Rindu yang tak kutahu entah kapan bisa bertemu. Rindu yang membuat air mataku jatuh (lagi) di atas sajadahku di sela2 doaku.
Padamu Tuhanku, kutitipkan dirimu.
Jagalah ia dengan sebaik2 penjagaanMu, sampaikanlah salam rinduku, dan ijinkankah kami saling bisa melepas rindu, satu saat nanti….
~mengenang ananda fahrin,
Pamulang, 2 Pebruari 2011