Setelah sempat mogok makan di sekolah sejak minggu lalu, akhirnya siang kemarin anak saya mau makan makanan yang dibawanya dari rumah meski makanan yang di bawa berbeda dengan makanan teman-temannya di sekolah. Istri saya menjelaskan dengan sabar ke anak saya soal makanannya yang berbeda dengan teman-temannya.
“Meski berbeda dengan mayoritas teman bukan berarti kita harus merasa malu dan tidak percaya diri, apa lagi untuk hal yang prinsip, untuk hal yang menyangkut keyakinan, sabar dengan perbedaan insyaAllah berpahala”, begitu istri saya membujuk anak saya.
Tentu tidak mudah menjelaskan kepada anak-anak tentang perbedaan, karena memang setiap orang, bukan cuma anak-anak, cenderung menyukai kesamaan dan kebersamaan dengan lingkungan,menyukai keselarasan dan kesagaman dengan lingkungan. Sebagi contoh, siang ini, mahasiswa di tempat saya bekerja, yang bapaknya muslim Kuwait dan ibunya Jepang mengatakan “bagaimana mungkin saya mengikuti bapak saya yang tidak makan babi dan tidak minum alkohol, sementara ibu saya, tante saya, teman-teman saya dan semua orang Jepang ini makan babi dan minum alkohol”.
Perbedaan yang menjadi dasar dari keberagaman, bagi kaum pluralis dianggap sebagai kekuatan, sebagai khasanah yang memperkaya. Oleh karenanya tidak sedikit dari mereka yang melakukan pembelaan mati-matian untuk menjamin agar perbedaan tetap eksis, keberagaman tetap terjaga. Mereka menolak segala bentuk penyeragaman, karena penyeragaman dianggap sebagai ancaman dari kebebasan, ancaman dari hak asasi.
Manusia memang seringkali dipenuhi oleh ambiguitas, sifat “kemenduaan”, sifat yang sepintas lalu seperti terlihat tidak konsisten. Di satu sisi mereka memperjuangkan keberagaman, tapi di sisi lain mereka sering takut dengan perbedaan. Di satu sisi mereka memperjuangkan keseragaman, tapi di sisi lain mereka menginginkan eksistensi individual diperhatikan, perbedaan tetap dipertahankan.
Saya punya teman, dosen salah satu universitas Islam terkenal, yang sangat mengagungkan pluralisme, bahkan bisa dibilang sebagai pejuang dari perbedaan. Tapi saat dia pergi ke Eropa, dia minum wine disana. Saya tanya mengapa minum wine? Dia bilang “semua minum wine saat membuka pesta, jadi saya harus menghormati mereka”. Tentu saya tertawa dalam hati, bagaimana mungkin dia yang begitu keras memperjuangkan perbedaan, tapi tak sanggup berbeda saat diajak minum wine. Saya katakan kepada teman saya,”kalau pluralism adalah ideology yang mereka perjuangkan dengan jujur, mereka pasti menghormati anda jika anda tidak minum wine”.
Sebaliknya saya juga punya teman yang sangat tidak suka melihat perbedaan. Tapi saat gajinya disamakan dengan orang yang pendidikannya lebih rendah, meski posisi dan pekerjaannya sama, dia marah dan tersinggung bukan main. Dia jadi begitu terobsesi pada perbedaan.
Bagi saya, keseragaman dan keberagaman memiliki nilai positif dan negatifnya masing-masing. Oleh karenanya saya tidak akan berada pada posisi orang-orang yang sangat terobsesi pada pluralism atau pada posisi orang-orang yang selalu menginginkan keseragaman dalam segala hal. Masing-masing ada tempatnya, masing-masing ada manfaatnya.
Saya selalu mengatakan kepada anak-anak saya, “yang berbeda jangan disama-samakan, yang sama jangan dibeda-bedakan”. Saya katakan kepada mereka bahwa mereka punya kesamaan dengan anak-anak Jepang lainnya, yaitu sama-sama harus pintar, sama-sama harus sehat dan kuat, sama-sama harus menjadi orang baik, untuk itu mereka harus mendapat hak yang sama untuk belajar, mendapat fasilitas olah raga dan kesehatan di sekolah, juga mendapat hak yang sama atas pendidikan budi pekerti. Yang sama seperti ini tidak perlu dibeda-bedakan.
Pada saat yang sama saya mengatakan kepada anak-anak saya bahwa mereka dan anak-anak Jepang berbeda agama, berbeda keyakinan, berbeda aturan, berbeda budaya dan berbeda pertanggungjawaban, sehingga tidak perlu disama-samakan. Kalau mereka makan babi atau minum minuman yang mengandung alkohol atau melakukan ritual menggantungkan harapan di pohon bambu, maka tidak perlu kita mengikuti, menyama-nyamakan dengan alasan penghormatan. Justru kita akan dihormati jika konsisten terhadap prinsip, terhadap keyakinan yang kita pegang.
Mudah-mudahan anak-anak saya kelak bisa lebih memahami, bisa lebih yakin bahwa berbeda atau bersama-sama, seragam atau beragam bukanlah suatu bencana, karena mereka faham bahwa “yang sama tak perlu dibeda-bedakan, yang beda tak perlu disama-samakan”.
Tokyo, (www.najib23.blogdetik.com)