Malam itu pukul 22.00 waktu Tokyo. Saya baru saja mengikuti sholat taraweh di masjid otsuka. Di dalam kereta yang masih ramai saya berdiri dekat pintu dekat seorang ibu yang sibuk memainkan handphone nya. Di telinga saya mengalun lantunan merdu syeikh Mishary membacakan ayat-ayat suci. Saya sangat suka mendengar bacaan syeikh Mishary yang syahdu dan menggugah kalbu.
Di sekeliling saya orang-orang Jepang khusyu dengan dirinya sendiri. Ada yang asyik dengan nintendonya, ada yang asyik membaca, ada yang asyik bekerja dengan laptop kecilnya, ada juga yang terpulas dalam sandaran kursi kereta.
Di dalam kereta memang dilarang bersuara yang bisa mengganggu penumpang lain, sehingga kereta-kereta di Tokyo meski selalu penuh orang namun terasa sunyi, tak ada yang bicara dan yang terdengar hanyalah dentum roda-roda kereta.
Saat melihat orang-orang Jepang ini, saya teringat ucapan Sayid Qutb ketika beliau mengatakan “dari sini, di bawah naungan Al Quran, aku melihat banyak sekali manusia yang larut dalam kesia-siaan“. Banyak manusia yang begitu sibuk, begitu lelahnya bekerja, namun mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali kehampaan. Tidak sedikit orang Jepang yang melakukan rutinitas kehampaan ini.
Pada hari-hari kerja mereka sibuk luar biasa, mencurahkan segala tenaga dan fikiran mereka dari pagi hingga larut malam. Namun ketika sampai pada jum’at sore, mereka larut dalam kebebasan yang melenakan. Melepas penat di meja-meja judi, di bar-bar, ditempat-tempat yang dianggap bisa menghilangkan stress sesaat mereka. Mereka mencari uang dengan susah payah dan menghamburkannya dengan mudah.
Situasi ini sesungguhnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Jepang yang memang tidak mengenal agama, tidak mengenal adanya kekekalan setelah kefanaan, tidak mengenal adanya kehidupan sesudah kehidupan. Situasi ini juga terjadi di Indonesia, di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama.
Tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang terjebak dalam rutinitas kehampaan ini. Mereka bekerja keras, mereka berjuang siang malam, mereka mengorbankan segalanya, namun mereka tidak menemukan apa-apa kecuali kehampaan dan kesia-siaan.
Bahkan situasi ini juga terjadi pada mereka yang secara fisik terlihat gemar melakukan ibadah. Rosulullah mengatakan “betapa banyak orang yang berpuasa namun mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga, betapa banyak orang yang sholat malam, namun mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lelah“. Yang demikian itu tidak lain karena mereka melakukan segalanya tidak didasarkan pada orientasi, tujuan atau niat yang benar.
Bagi seorang muslim, kehidupan dunia yang fana ini menjadi bermakna ketika kita melakukan segala sesuatunya karena dan hanya untuk Allah semata. Ketika Allah memerintahkan kita untuk menjadi wakilnya di muka bumi,menjadi khalifahnya dengan mandat untuk memakmurkan bumi ini, sesungguhnya bukan bumilah yang menjadi tujuan kita.
Kita meyakini bahwa suatu hari nanti kita akan kembali ke kampung yang abadi, kita akan menjalani proses pertanggungjawaban atas semua yang sudah kita kerjakan, dan kita akan mendapatkan kenikmatan di atas kenikmatan seandainya kita bisa lolos dari proses pengadilan yang maha adil.
Keyakinan ini membawa kita pada upaya yang sungguh-sungguh, berkerja keras dengan ikhlas, berjuang dengan sekuat tenaga untuk membebaskan penduduk bumi ini dari kerusakan dan kesengsaraan, berjuang memakmurkan bumi sebagaimana kita telah diperintahkan. Yang demikian itu semata-mata karena kita ingin suatu hari nanti bisa bertemu Allah dalam keadaan bangga, dimana Allah ridho kepada kita, Allah cinta kepada kita karena kita sudah mempersembahkan semua karya-karya terbaik kita sesuai dengan perintah-Nya.
Mari kita periksa kembali dengan cermat semua amalan kita, semua perbuatan kita, sudahkah kita orientasikan segalanya untuk Allah semata? Sudahkan kita membersihkan diri kita dari orientasi-orientasi duniawi yang hanya menyebabkan kita tenggelam dalam rutinitas kehampaan, rutinitas kesia-siaan tanpa mendapatkan apa-apa kecuali kepenatan dan kekosongan?
Semoga kita bisa menjadikan romadhan ini sebagai sarana berlatih untuk senantiasa mengorientasikan semua perbuatan kita hanya untuk Allah semata. Ketika kita bekerja, bukan semata untuk anak dan istri, tapi lebih jauh dari itu karena kita meyakini hal itu adalah bagian dari pelaksanaan perintah Allah.
Ketika kita menuntut ilmu, bukan semata untuk gelar, pangkat atau jabatan yang akan kita peroleh kelak, tapi semata-mata karena kita ingin menjalankan perintah-Nya. Ketika kita berpuasa, sholat taraweh atau sholat malam bukan semata-mata kita ingin disebut sebagai orang yang alim, ketika kita berinfaq bukan semata-mata karena kita ingin disebut dermawan, tapi semata-mata karena kita ingin menjalankan perintah Allah.
Karena memang kita sudah berikrar “Innasholaati,wanusuuki,wamahyaaya,wamamaati lillaahirabbil’aalamiin“,kita sudah berjanji setiap hari bahwa “sesungguhnyasholatku,ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah tuhan seluruh alam“(QS. Al-An’am: 162).