Pekan yang lalu, saya ada acara Klab Santri di Solo dan Wonogiri. Untuk menuju ke sana, saya memutuskan menggunakan jasa kereta api. Biasanya, saya memesan tiket kereta api jauh-jauh hari, namun karena menunggu kepastian dari salah seorang teman yang mau ikut, maka saya menunda untuk membeli tiket. Dua hari sebelum berangkat, teman saya baru memastikan bahwa dirinya tidak bisa ikut, dan saya pun bersegera untuk membeli tiket.
Untuk efektifitas waktu, saya mencoba menghubungi Call Center PT KAI untuk reservasi online. Namun entah mengapa, setelah saya coba menghubungi berkali-kali dari pagi sampai malam, tidak tersambung sama sekali. Keesokan harinya, sehari sebelum berangkat, saya masih mencoba untuk menghubungi Call Center PT KAI, tapi masih tidak tersambung. Akhirnya saya berangkat menuju stasiun Gambir untuk memesan tiket secara langsung.
Tiba di Stasiun Gambir, karena saya hendak memesan tiket kelas bisnis, saya disarankan oleh petugas untuk menuju Stasiun Pasar Senen, karena sistem tiket sedang offline sehingga tidak bisa melayani pemesanan online. Akhirnya, saya bergegas menuju Stasiun Pasar Senen. Tiba di loket pemesanan, baru saja menyodorkan lembar pemesanan, petugas mengatakan bahwa tiket kereta api Senja Utama Solo untuk tanggal dimaksud sudah habis terjual.
Akhirnya saya kembali lagi ke Gambir untuk memesan tiket kelas eksekutif. Namun ternyata sudah habis terjual. Saya melihat jadwal keberangkatan dan sisa tempat duduk untuk tujuan ke kota-kota di sekitar Solo, juga sudah habis terjual untuk beberapa hari ke depan. Setelah menghubungi Call Center PT KAI, yang pada saat itu baru bisa tersambung, dan dipastikan tiket sudah habis terjual semua, maka saya memutuskan untuk menggunakan bis malam.
Keesokan harinya, di hari keberangkatan, saya masih belum mendapatkan tiket bis. Setelah menghubungi beberapa agen bis dan minta bantuan teman untuk memesankan tiket bis, saya masih harus kecewa, karena beberapa bis yang kualitas layanannya bagus, tiketnya sudah habis terjual semua. Sore harinya, saya langsung menuju Terminal Pulogadung, berharap bisa mendapatkan bis untuk tujuan Solo, Yogyakarta, atau Semarang.
Saat saya berangkat menuju Terminal Pulogadung, adzan Ashar berkumandang. Karena saya menggunakan bis Transjakarta, maka saya memutuskan untuk shalat Ashar di mushala Stasiun Gambir. Selain memang melewati jalur tersebut, mushalanya nyaman untuk shalat. Tiba di Stasiun Gambir, setelah shalat Ashar, saya iseng-iseng ke loket penjualan tiket. Terlihat antrian panjang di beberapa loket, saya pun ikut antri di loket kereta api Argo Lawu.
Setelah lebih dari satu jam mengantri, loket masih belum dibuka. Saya gelisah tidak karuan, memikirkan antara harus tetap antri, langsung ke Terminal Pulogadung, atau shalat Maghrib terlebih dahulu karena beberapa menit lagi adzan Maghrib. Setelah mondar-mandir, saya ke luar antrian dan bergegas menuju halte Transjakarta untuk berangkat ke Terminal Pulogadung. Beberapa lama menunggu, beberapa bis Transjakarta lewat, tapi saya tidak terangkut karena bisnya penuh.
Pikiran saya berkecamuk. Kalau saya ke Terminal Pulogadung, kemungkinan tidak akan bisa tiba tepat waktu karena lalu lintas yang padat dan macet, sedangkan bis terakhir berangkat pukul 19.00 WIB. Jika saya memaksakan ke Terminal Pulogadung, kalaupun nanti dapat bis, maka saya tidak shalat Maghrib pada waktunya. Melirik jam tangan, sudah masuk waktu Maghrib, akhirnya saya memutuskan kembali ke Stasiun Gambir untuk shalat Maghrib.
Dalam perjalanan menuju mushala, saya memberitahu teman di Semarang bahwa saya tidak jadi ke Terminal Pulogadung karena lalu lintas padat dan kemungkinan bis terakhir menuju Semarang tidak akan terkejar, dan saya akan berusaha antri tiket kereta api Argo Lawu. Jika malam itu tidak dapat tiket, maka saya akan berangkat esok pagi dengan menggunakan kereta api, karena kebetulan saat itu ada sisa tempat duduk untuk kereta api Argo Dwipangga.
Selepas shalat Maghrib, saya kembali melihat antrian di loket penjualan tiket kereta api Argo Lawu, dan sepertinya loket sudah dibuka. Ketika saya tanya ke calon penumpang yang antri, ia membenarkan bahwa tiket kereta api Argo Lawu sudah mulai dijual. Lalu saya pun masuk antrian di posisi ketika saya tadi ke luar antrian. Saya lihat layar monitor di dekat loket, sisa tempat duduk untuk kereta api Argo Lawu ada 22. Saya berharap masih dapat tempat duduk.
Tiba-tiba ada calon penumpang yang sedang antri bertanya, "Mas, tadi ngantrinya di mana?" Lalu saya jawab, "Di sini. Patokannya bapak ini yang pakai baju Perhutani." Lalu seorang bapak WNI Keturunan yang tadi antri di belakang saya menunjuk salah seorang di depan saya. Mungkin mau memberitahu calon penumpang lain bahwa orang tersebut menyela antrian, dan dari tadi pun saya tidak melihat orang tersebut antri di depan saya. Saya deg-degan, jangan-jangan saya bakal diprotes karena langsung masuk ke tengah antrian.
Tidak lama kemudian, datang petugas keamanan dan meminta orang yang menyela antrian untuk ke luar dari antrian dan antri dari belakang. Mereka adu argumen. Dan apa yang dikatakan petugas keamanan sangat mengena di hati saya, "Kalau antri, tidak boleh meninggalkan antrian walaupun sebentar." Saya pun deg-degan bukan main. "Tadi shalat Maghrib dulu," alasan saya dalam hati jika nanti petugas keamanan menegur saya. Tapi calon penumpang yang lain tidak protes pada saya, mungkin karena mereka tahu saya antri sedari tadi.
Seiring bergeraknya antrian, saya makin was-was dapat tiket atau tidak. Sisa tempat duduk tinggal 15 dan calon penumpang yang antri masih banyak dan mencapai belasan. Saya terus melirik ke layar monitor yang menampilkan sisa tempat duduk yang tersedia, dan tak lupa terus berharap dan berdo’a agar dapat tempat duduk dan berangkat malam itu juga. Alhamdulillaah, saya dan seorang bapak WNI Keturunan yang antri di belakang saya masih dapat tempat duduk.
Setelah mendapatkan tiket, saya girang bukan main. Tak lupa berucap syukur berulang kali. Alhamdulillaah, akhirnya saya bisa berangkat malam itu juga. Saya membayangkan, seandainya tadi saya berangkat ke Terminal Pulogadung, selain tidak akan dapat bis, juga tidak akan bisa shalat Maghrib pada waktunya. Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Di balik setiap ikhtiar, ada kebahagiaan yang saya dapat. Mungkin inilah skenario dari-Nya.
Ketika hendak menuju mushala untuk menunggu waktu shalat Isya, saya teringat dengan salah satu ayat dalam Al-Qur’an, "Dan Tuhanmu berfirman : Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. 40 : 60).
Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa, Allah SWT pasti akan mengabulkan keinginan hamba-Nya jika hamba-Nya tersebut meminta kepada-Nya dengan sungguh-sungguh, tentunya harus dengan disertai ikhtiar yang maksimal untuk mencapai apa yang diharapkan. Selain berdo’a dan ikhitar, kita pun dituntut untuk mengutamakan dan mendahulukan kewajiban untuk menyembah-Nya, salah satunya dengan shalat pada waktunya.
Ikhtiar, sabar, dan tawakal adalah sikap yang bijak dalam menghadapi segala hal. Insya Allah, jika kita sudah mengutamakan dan melaksanakan apa yang Allah SWT kehendaki, kemudian disertai dengan ikhtiar yang maksimal, jika sudah waktunya, niscaya Allah SWT akan mengabulkan apa yang kita inginkan, walaupun mungkin apa yang kita dapatkan tidak sesuai dengan yang kita harapkan, karena Allah SWT Mahatahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.