Beberapa waktu lalu, kebetulan di tempat saya bekerja ada penerimaan pegawai baru dalam jumlah banyak. Rekan-rekan kerja saya memberitahukan ihwal penerimaan pegawai tersebut kepada kerabatnya masing-masing. Tidak sedikit dari mereka yang mengajukan lamaran pekerjaan dan berhasil lolos mengikuti semua seleksi.
Semula, saya tidak berniat merekomendasikan siapapun untuk mengikuti seleksi penerimaan pegawai tersebut, karena saya khawatir jika orang yang saya rekomendasikan tidak bisa bekerja dengan baik dan akan menjadi ‘masalah’ di kemudian hari.
Tiba-tiba saya teringat dengan tetangga saya di tempat kost, dulu ia sempat bertanya mengenai lowongan pekerjaan. Setelah berpikir panjang, akhirnya saya merekomendasikan tetangga saya tersebut untuk mengajukan lamaran. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengajukan lamaran ke tempat saya bekerja.
Di tahap awal seleksi, ia berhasil lolos dan diharuskan mengikuti seleksi tahap berikutnya. Entah kenapa, ia sepertinya kurang tanggap. Karena kesalahannya itu, ia tidak mengikuti seleksi berikutnya. Saya baru tahu hal ini beberapa hari setelah pengumuman akhir. Saya lihat ia masih santai di depan rumahnya, padahal seharusnya sudah bekerja.
Saya benar-benar kecewa saat itu. Rasanya saya ingin marah, lantaran ia telah lalai dalam mengikuti semua proses seleksi. Padahal, semua yang mengajukan lamaran semuanya diterima, karena jumlah pelamar masih sedikit dari jumlah yang dibutuhkan.
Beberapa waktu kemudian, saya mendapat informasi bahwa untuk divisi tertentu masih kekurangan pegawai. Lalu saya berusaha untuk merekomendasikan ulang tetangga saya tersebut. Karena sebelumnya ia telah mengajukan lamaran, maka divisi terkait menyetujuinya dan ia tinggal mengikuti proses untuk seleksi dan berhasil lolos.
Karena ada pembenahan internal di divisi yang akan ia tempati, maka butuh waktu lama baginya untuk segera bekerja. Saya pun sempat menanyakan perihal hal ini ke divisi terkait, dan memberitahukannya kepada tetangga saya tersebut. "Tunggu saja, kalau sudah waktunya, insya Allah nanti dipanggil," kata saya beberapa hari yang lalu.
Dan kemarin, saya kaget bukan main. Ia menelepon saya, dan tanpa basa-basi telepon langsung diambil alih oleh ibunya. "Kok sampai sekarang belum ada panggilan? Katanya mau dipanggil. Gimana nih?" ujar ibunya dengan nada bicara agak tinggi. Saya pun menjelaskan, bahwa semua itu tergantung pihak Kepegawaian, bukan saya yang yang memutuskan, tunggu saja informasi selanjutnya. Telepon pun langsung ditutup.
"Ditolong kok marah?" gerutu saya dalam hati. Saya yang bermaksud menolong, tapi saya yang kena marah. Apa salah saya? Sempat terlintas dalam benak saya, kenapa menolong tertangga saya tersebut jika ujung-ujungnya seperti itu. Astaghfirullaah, harusnya hal seperti itu jangan sampai terlintas di pikiran saya.
Dalam tolong menolong, harus diniatkan bahwa menolongnya adalah semata karena Allah SWT, bukan karena mengharapkan balasan apapun, apalagi balasan berupa materi maupun ‘balas jasa’. Astaghfirullaah, jangan sampai saya bertindak seperti itu.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS. Al-Maidah [5] : 2)