Ini pengalamanku. Matahari musim semi bersinar cerah di pagi hari, namun udara pagi terasa sangat dingin. Hari itu Selasa, 1 Syawal 1411 H bertepatan 16 April 1991. Suasana Idul Fitri yang belum pernah kualami. Terasa sangat berbeda karena berada di negeri orang, jauh dari orangtua dan kerabat. Isteriku mendekap si sulung yang masih bayi dalam gendongannya, bersama aku berjalan di sampingnya bergegas menuju stasiun Kamata. Berjarak sekitar 10 menit jalan kaki dari apartemen tempat kami tinggal di distrik Kamata, pinggir kota Tokyo. Jarak tersebut berdasar jalan kaki Nihon-jin yang selalu dikejar waktu. Suasana di stasiun stasiun Kamata cukup padat oleh kerumunan orang yang berangkat menuju tempat kerja. Tujuan kami bertiga adalah Meguro, suatu distrik di kota Tokyo, untuk mengikuti sholat Ied. Sholat Ied diadakan di SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo), Meguro.
Perjalanan ke SRIT Meguro terasa jauh. Harus naik turun tangga stasiun dua kali di tengah kepadatan orang yang sangat luar biasa, namun tertib dan disiplin. Dari stasiun Kamata menggunakan Keihintohoku Line menuju Shinagawa dilanjutkan dengan Yamanote Line menuju Meguro. Dilanjutkan lagi dengan naik bis kota dari stasiun Meguro menuju halte bis yang berdekatan dengan SRIT. Rasa lelah sedikit terobati dengan melihat keindahan bunga sakura di sepanjang jalan dari dalam bis. ” Dozo….., ” seorang bapak setengah baya berdiri menyapa kami dengan ramah, menawarkan tempat duduknya dalam bis untuk isteriku yang sedang berdiri menggendong anakku. ” Hai’, domo arigato, ” kujawab dengan tersenyum sambil menyuruh isteriku untuk duduk.
Kalau ditanya agama, mayoritas Nihon-jin akan menjawab tidak beragama. Tetapi, nilai-nilai Islami tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedisiplinan, kejujuran, keteraturan, kebersihan, keramahan dan keinginan berbuat baik untuk orang lain sudah menjiwai kehidupan mereka. Dibarengi etos kerja yang tinggi, jadilah mereka bangsa yang maju. Namun, ruhiyah mereka kering karena tidak memiliki iman.
” Ayo mama, ayo papa, kita berangkat ke masjid sekarang, ” kedua putriku yang sudah remaja mengajak untuk berangkat ke masjid untuk mengikuti sholat tarawih. Membuyarkan lamunanku terhadap kenangan saat ditugaskan ke Jepang selama setahun oleh perusahaan tempatku bekerja. Alhamdulillah, waktu itu isteri dan anakku yang masih bayi bisa ikut mendampingiku selama bertugas.
Kami sekeluarga biasa sholat tarawih di masjid Baiturrahman, yang berada dalam kompleks perusahaan namun terbuka untuk masyarakat umum. Alhamdulillah, masjid tersebut tetap ramai dikunjungi jama’ah sholat lima waktu walaupun di luar Ramadhan.
Ramadhan sudah sampai di penghujung. Sasaran utama puasa Ramadhan adalah derajat taqwa (QS Al-Baqarah [2]: 183-184). Agar sasaran dapat tercapai dengan baik, syariat pelaksanan ibadah puasa perlu dipahami secara benar. Di samping itu harus dipahami juga hakikat dari ibadah puasa puasa. Hakikat ibadah puasa adalah pengendalian diri secara total. Bukan hanya sekedar menahan lapar, dahaga dan syahwat suami isteri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Namun kita dituntut pula agar mampu mengendalikan pikiran, perasaan dan tindakan agar tidak menyimpang dari jalan-Nya.
Bulan Ramadhan membiasakan kita untuk lebih intensif beribadah sebagai sarana taqarrub ilallah. Ibadah sunnah ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Qiyamul-lail, i’tikaf, dzikir, istighfar, tilawah dan tadabbur Al-Qur’an yang dilakukan dibulan Ramadhan menjadi pembelajaran untuk menjadikannya sebagai hal yang rutin di luar Ramadhan. Di luar Ramadhan, juga tetap konsisten berpuasa dengan melakukan puasa sunnah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW.
Puasa juga mendidik nilai-nilai hakiki sosial kemasyarakan. Empati kita diasah, dengan merasakan lapar dahaga kaum dhu’afa, penderitaan korban bencana alam, atau penderitaan saudara-saudara kita yang sedang berjuang melawan penjajah di Irak dan Palestina. Sehingga timbul dorongan kepedulian sosial dan rasa ukhuwah. Jalinan silaturahim juga dapat dipererat melalui interaksi yang terjadi pada saat sholat berjamaah di masjid, saat makan sahur dan saat berbuka puasa bersama. Di akhir Ramadhan kita diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk kaum dhu’afa.
Tanpa pemahaman tuntutan syariat puasa, hakikat puasa dan nilai-nilai di atas, puasa yang dijalani tidak akan memberikan pengaruh positif berupa peningkatan taqwa dan hanya menjadi rutinitas belaka yang tidak bermakna. “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. ” (HR Nasa’i dan Ibnu Majah).
Kita harus segera melakukan muhasabah secara komprehensif di penghujung Ramadhan. Sejauh mana momentum bulan Ramadhan bisa dimanfaatkan dengan optimal? Sudah berapa kali Ramadhan kita lewati selama hayat kita dan bagaimana dampaknya terhadap perbaikan diri kita dan masyarakat? Apakah kita telah berusaha untuk memanfaatkan Ramadhan lebih optimal dari tahun ke tahun berikutnya? Bagaimana membawa semangat ruhiyah Ramadhan pada sebelas bulan yang lain, sehingga konsistensi beramal saleh dan pengendalian diri dapat terus terjaga? Semoga Allah SWT mempertemukan kita dengan Ramadhan tahun depan dengan lebih baik lagi.
Catatan:
Nihon-jin = bangsa Jepang Dozo = silahkan Hai’, domo arigato = ya, terima kasih
Bontang, 26 Ramadhan 1428 H/ 8 Oktober 2007