Stigma Dan Prasangka

Menetapnya seseorang di suatu tempat, dalam jangka waktu yang cukup lama, sering meninggalkan sebuah kesan dan kenangan yang tidak terlupakan. Hikmah yang singgah, karena cukup mencerahkan, membekas dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Suatu ketika saya tinggal di Jakarta semasa kuliah, ikan adalah menu makanan yang tidak begitu saya gemari. Menu ikan tertentu saja yang saya sukai seperti ikan bandeng atau cumi yang tumis, itu pun racikan ibu saya di kampung. Jadi praktis saya akan makan ikan jika pulang kampung. Semasa perkuliahan jarang sekali saya makan ikan. Bagi saya ikan adalah hal yang biasa dan tidak istimewa.

Begitu selepas masa kuliah dan saya harus tinggal di propinsi Maluku, mau tidak mau saya harus mencoba dan merasakan menu ikan yang cukup beragam. Ikan sangat mudah dijumpai di pasar dan kedai makan, dan harganya pun sangat terjangkau. Saya jadi terbiasa makan ikan, bahkan kini menjadi lebih suka ikan dibanding daging ayam. Pemahaman saya makin bertambah bahwa ternyata ikan memiliki kandungan gizi yang bagus. Setidaknya kini, ikan (yang dibeli hidup) lebih natural dibanding daging hewan ternak yang proses pembentukannya kadang menuai keprihatinan seperti disuntik, atau rekayasa lain.

Pengalaman serupa terjadi pula manakala saya harus pindah ke Palembang. Jujur, saya tidak menyukai makanan pempek pada awalnya. Pernah suatu ketika bertamu di sebuah keluarga di Jakarta, saya disuguhi makanan pempek dan saya tidak bisa menghabiskannya karena rasanya yang begitu aneh dan asing di lidah. Sejak saat itu saya antipati dan memiliki stigma negatif terhadap pempek.

Namun ketika saya menetap di Palembang, saya lihat orang makan pempek dimana-mana. Kedai pempek juga tersebar, dari yang kelas kaki lima hingga restaurant. Tamu-tamu yang balik ke Jakarta dengan pesawat pun, tidak sedikit yang menenteng pempek sebagai oleh-oleh. Karena tidak alternatif makanan khas lain, pernah suatu ketika saya mengikuti mereka membeli pempek sebagai buah tangan untuk keluarga. Tidak dinyana ketika dimasak dan disajikan, saya mendapatkan rasa yang berbeda. Pandangan saya tentang pempek yang tadinya negatif jadi positif. Yang tadinya antipati menjadi suka. Ternyata pempek dari sumber penghasilnya (ahlinya) begitu orisinil dan lezat.

Begitu pun ketika saya ke Banda Aceh. Sebelum menetap di sana, saya bukanlah penikmat kopi (hobi minum kopi). Kalo minum kopi, bawaan jantung saya jadi berdebar lebih kenceng dan berakibat susah tidur. Pernah ketika masa kuliah, ada kawan yang membawa kopi Lampung. Saya minum sedikit ketika malam menjelang ujian tengah semester. Eh saya tidak bisa tidur. Kopi yang tadinya saya gunakan sebagai pemicu belajar malah menjadi kontraproduktif karena paginya saya menjadi tidak segar pikiran karena kurang tidur.

Namun ketika saya menetap di Aceh, saya lihat orang minum kopi dimana-mana. Kedai kopi pun tersebar luas di sudut-sudut kota dan desa. Ketika teman mengajak minum kopi, saya pun mengikuti. Tentu setelah dikasih penjelasan bahwa kopi di sana beda dengan kopi di Jakarta. Nikmat memang. Lebih-lebih ternyata kopi itu tidak menjadikan jantung saya berdebar kencang. Minum kopi layaknya minum teh saja, yang kadar kafeinnya sudah jauh berkurang karena proses memasaknya yang berbeda. Sejak itu saya jadi suka ngopi. Meski tidak sering, sudah ada pemahaman bahwa tidak semua kopi itu sama. Ada yang berbeda.

***

Islam adalah sistem yang sempurna. Pemahaman ini sejatinya harus ada di hati kaum muslimin yang menyatakan diri sebagai seorang Muslim. Sebab jika tidak, keimanan bisa gugur karena meragukan sistem yang berasal dari dzat yang Maha Sempurna, yakni Allah Azza Wa Jalla.

Boleh saja kaum non muslim membenci sistem Islam. Bahkan Allah menginformasikan bahwa kebencian mereka begitu tertanam kuat dan mereka tidak akan pernah rela kaum muslimin memahami Islam secara benar, sesuai apa yang dicontohkan Rasulallah SAW dan pemahaman para sahabat, hingga kaum muslim mengikuti millah (gaya hidup) mereka. (QS. Al Baqarah 120). Namun jika kebencian, prasangka dan stigma negatif dimiliki oleh orang yang mengaku muslim, sungguh sungguh sangat tidak wajar. Jika bukan karena unsur kebodohan (jahiliyah) pasti ada unsur keangkuhan.

Saya bodoh ketika punya pemahaman bahwa pempek itu adalah seperti yang saya rasakan di Jakarta, saya juga bodoh ketika punya pemahaman bahwa semua kopi mengandung kafein tinggi. Saya terjebak dalam pola pikir menggeneralisasi sesuatu hal dan mengambil kesimpulan yang salah. Alhamdulillah, saya mau mencoba-coba dan merasakan hingga menemukan yang aslinya.

Hikmahnya, kita dituntut adil dalam mensikapi sesuatu. Proporsional, rendah hati, seimbang, objectif, tanpa prasangka, chek and rechek, dan rasional. Karena sikap-sikap itulah yang menjadikan seseorang menjadi lebih baik, keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT dan juga humanity-nya terhadap sesama manusia.

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Maa ‘idah 8)

Waallahua’lam bishshawab.

muhammadrizqon.multiply.com