“Assalamu’alaikum…!” begitulah sapanya ketika saya berjumpa menuju masjid. Dia meluncur dari kediamannya di lorong Silale, sedangkan saya dari lorong Jalan Baru. Di ujung zebra cross depan masjid itulah biasanya kami bertemu, bersalaman, kemudian melanjutkan perjalanan menuju masjid Al Fatah Ambon yang tinggal beberapa langkah.
Hasan, pemuda sebaya denganku itu berambut keriting, berkulit hitam legam, berbibir merah dan bersorot mata tajam. Penampakannya mewakili pemuda Maluku pada umumnya. Yang sedikit khas, wajahnya memancarkan sebuah ketulusan dan keteduhan.
Kami sering berjumpa di masjid tatkala menunaikan sholat Maghrib atau Isya. Belakangan saya mengetahui bahwa dia termasuk “saudara” kami di Kota Ambon. Pemahaman Islamnya tidak seperti kebanyakan masyarakat awam, tetapi sudah memiliki pemahaman Islam yang utuh. Saya pun jadi ingin mengenal lebih dekat tentang jati dirinya.
Kesempatan itu datang selepas dilangsungkannya sholat berjamaah. Biasanya selepas Maghrib atau Isya, kami bersama beberapa saudara, duduk-duduk di beranda masjid membincangkan dunia mahasiswa dan pemuda sambil menikmati gemerlapnya lampu-lampu kota dan hilir mudiknya oto bayar (angkot) di depan masjid kebanggaan muslim Kota Ambon itu.
Setelah agak lama membincangkan beberapa hal ringan, saya mencoba menggali tentang dirinya. Saya bertanya, “Sejak kapan Saudara mengenal Islam?” Saya tahu bahwa dia muslim sejak lahir, namun yang kami maksudkan adalah Islam dalam arti yang sebenarnya, Islam yang kaffah. Merespon pertanyaan saya, dia pun bercerita tentang masa lalu yang jauh dari nilai-nilai Islam, bercerita pula latar belakang dirinya bergabung dengan jamaah dakwah, dan kesan-kesan yang dia jumpai selama berinteraksi di dalamnya.
Rupanya dia bukan penduduk asli Kota Ambon melainkan penduduk dari Pulau Seram, Pulau yang terkenal sebagai tempat buangan tahanan politik pada masa orde lama dulu. Dia hijrah ke kota Ambon dalam rangka melanjutkan studi di Universitas Pattimura. Sejak menjadi mahasiswa, dia aktif di organisasi mahasiswa muslim. Di kota Ambon ini dia tinggal di rumah bibinya.
Kesibukannya di organisasi cukup menyita waktunya. Pembahasan program kerja dan agenda kegiatan sering kali tidak mengenal waktu, termasuk ketika berkumandang Azan saat seharusnya dijedai dengan sholat berjamaah. Sidang-sidang yang dilangsungkan sering berjalan alot bahkan sering berakhir dengan kemarahan atau saling lempar kursi. Sungguh ironis, padahal organisasi itu adalah organisasi mahasiswa muslim dan yang dibahas adalah agenda keummatan.
Hasan merasa ada nuansa tidak pas pada dirinya melihat fenomena organisasi seperti itu. Hati kecilnya sebenarnya ingin memberontak. Namun saat itu, seakan ada awan gelap yang menutupi mentari hidayah-Nya. Dia menganggap itu sebagai dinamika organisasi. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang emosional, ada pula yang bijak meredakan suasana. Dia jalani dinamika itu dari pertemuan ke pertemuan dan dari rapat ke rapat sebagai sesuatu yang biasa.
Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan aktivitis dakwah asal Jakarta yang ditempatkan bertugas di Kota Ambon. Dia diajak berpartisipasi memikirkan dan membina mahasiswa muslim Ambon. Karena jiwanya yang hanif, maka ia menyambut secara positif. Akhirnya ia sering mengikuti rapat antar organisasi yang dikoordinir oleh sebuah organisasi dakwah kampus.
Sungguh, dia merasakan suatu hal yang sangat berbeda. Tidak ada lempar kursi, tidak ada yang saling marah-memarahi, tidak ada asap rokok, dan tidak ada kata-kata kasar.
Ada banyak cerita dengan segala perniknya. Setidaknya, momen itulah yang menjadi awal kesadaran Islamnya tumbuh dan merupakan titik balik kehidupannya menjadi lebih terarah.
Dia bertutur, “Saya bersyukur dijumpakan dengan dia (Hasan menyebut nama aktivis dakwah asal Jakarta itu). Dialah yang membawa kondisi saya seperti ini. Dulu waktu saya aktif di organisasi mahasiswa muslim, saya terbiasa dengan retorika-retorika dakwah dan pembangunan. Namun saya merasakan kegersangan dan kekeringan jiwa. Antara gagasan dan realita diri yang ada rasanya begitu jauh. Rasanya seperti orang munafik. Setelah saya mengikuti kajian-kajian di jamaah dakwah, sungguh jiwa ini seperti menemukan oase yang menyegarkan. Saya tidak hanya bicara tentang konsep tetapi sekaligus applikasi dari konsep yang telah saya amalkan, atau setidaknya ada contoh realnya di masa Rasulullah Saw.”
Itu adalah penggalan kata-kata yang sempat saya rekam dan teringat hingga kini.
***
Sentuhan iman membekaskan sebuah kepribadian yang “baru” pada diri sahabat saya itu. Dia tidak lagi menyukai perdebatan kusir, bersikap emosional, atau memaksakan pendapatnya kepada orang lain, layaknya dulu tatkala jiwa pemudanya tengah bergejolak namun jauh dari sentuhan iman. Sebaliknya, Iman yang bersemanyam menjadikannya lebih dewasa, bijak, penuh cinta pada saudara muslim, tidak emosional, lebih mengedepankan prasangka baik dan konfirmasi, dan tidak terjebak pada bahasan parsial melainkan selalu melihat dari akar terdalamnya.
Andai kita memiliki sebuah jalinan persaudaraan, dan jalinan itu sedang kusut atau retak, semestinya kita bisa berkaca dari kisahnya dalam menggapai hidayah iman. Iman yang bersemayam menjadikan ikatan persaudaraan kokoh dan menghindarkannya dari perpecahan. Manakala kita menjumpai keretakan itu, tidak ada salahnya kita bermuhasabah "sedalam apakah iman telah menyentuh kita?" Boleh jadi biang keretakan bukan pada siapa-siapa tetapi ada pada diri kita masing-masing, yakni diri kita makin jauh dari sentuhan iman. Waallahua’lam. ([email protected]).
Sumber: diary kehidupan bersama sahabat di kota Ambon 1994-1997