Kaya dan miskin adalah fenomena sosial yang selalu menjadi topik perbincangan dan perhatian setiap orang. Kaya atau miskin adalah laksana status yang wajib melekat pada diri setiap orang meskipun secara formal tidak wajib dicantumkan dalam bentuk kartu identitas apapun. Sesuatu yang lazim, orang menilai dari apa yang dimiliki secara materi atau kasat mata. Dan biasanya penghargaan orang dipengaruhi oleh status kekayaan yang dimilikinya itu.
Menilai dan membanding-bandingkan adalah fitrah manusia. Dengan cara itulah manusia belajar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Hal serupa dialami juga oleh anak saya bernama Robbani (7 tahun). Suatu ketika dia bertanya kepada saya,
“Abi, kita ini kaya atau miskin?”
“Emangnya kenapa? Kok tiba-tiba tanya begitu?”
“Iya, Bang Farhan (kakak sepupu) itu kan punya mobil, punya komputer, punya macem-macem, berarti dia orang kaya ya, Bi? ”
“Kaya itu kalau kita bermanfaat bagi orang lain, bisa memberi kepada orang lain. Misalnya bersedekah, menolong orang, dan berbuat baik kepada orang. Kebaikan yang kita lakukan itu adalah tanda bahwa kita ini kaya. Punya rumah bagus boleh, tapi lebih bagus lagi jika bermanfaat. Punya mobil, mobilnya dipakai buat menambah kebaikan dan mempermudah silaturahim. Punya komputer, dipakai buat memudahkan urusan bukan sekedar buat main game. Jadi kaya itu kalau kita banyak memberi manfaat dan kebaikan.”
Diskusi berlanjut dengan membanding-bandingkan apa yang dia miliki. Meski masih kecil, nampaknya Robbani bisa diberi pengertian bahwa kaya itu bukanlah sekedar mengacu dan berhenti kepada hal-hal yang bersifat fisik. Dibalik yang kelihatan, harus ada nilai manfaat yang tidak kelihatan. Terlalu naif rasanya jika kita hanya melihat dari satu sisi saja. Sebagai contoh, Negara kita adalah negara yang secara fisik adalah kaya raya. Potensi sumber daya alamnya sangat luar biasa. Sumber-sumber pajak yang dikumpulkan juga sangat luar biasa. Namun apalah artinya status tersebut jika pada kenyataannya masih banyak rakyat yang hidup menderita dan tidak menikmati kekayaan negara tersebut. Sungguh ironis, memiliki tetapi tidak menikmati, ada tetapi tidak bermanfaat.
Pemahaman demikian rasanya perlu ditanamkan karena banyak orang terjebak dengan dichotomi kaya dan miskin, lebih dari dichotomi manfaat (maslahat) dan mubazir (mafsadat) atau dichotomi kebaikan dan kemaksiatan. Sangat mungkin bahwa sumber masalah bukanlah kaya atau miskin, tetapi lebih pada ada atau tidaknya dan sedikit atau banyaknya orang yang mau berbuat manfaat dan kebaikan. Kekayaan di tangan orang yang culas, tidaklah berarti. Ia akan mencapai manfaat yang optimal, jika dikembalikan kepada orang-orang yang baik dan berilmu.
Sebagai manusia biasa, adakalanya saya juga menilai dan membandingkan kekayaan diri dengan dengan orang lain. Muatannya adalah muhasabah agar bisa menjadi lebih baik. Ukurannya bukan sekedar terhadap apa yang dimiliki seperti rumah, mobil, tanah, emas, dan lain-lain melainkan kebaikan-kebaikan apa yang telah dihasilkan.
Alangkah bersyukurnya jika termasuk muslim yang rajin sholat fajar, karena disebutkan dalam sebuah hadits bahwa dua rakaat sholat fajar adalah lebih baik dari dunia dan seisinya. Alangkah bersyukurnya jika termasuk muslim yang rajin tilawah Quran, karena berarti telah menginvestasikan sepuluh kebaikan dari setiap huruf yang dibaca. Alangkah bersyukurnya jika rajin sholat berjamaah di masjid, bersedekah setiap hari, membantu orang dalam kesulitan setiap hari, banyak berdzikir, dan lain sebagainya.
Semua itu Insya Allah menjadi jalan menuju kekayaan, meski kita sendiri tidak tahu berapa nilai kekayaan atau kapitalisasi dari setiap kebaikan tersebut. Allah yang Maha Tahu dan memiliki hikmah atas disembunyikannya nilai kekayaan itu.
==
Suatu ketika saya membaca sebuah blog. Disebutkan di situ bahwa blog itu bernilai sekian rupiah. Iseng-iseng karena penasaran saya masuk pada halaman penilaian blog dan menuliskan nama blog pribadi saya. Berapa nilai blog pribadi saya? Meski mungkin dibanding rekan yang lain nilainya masih dibawah, namun saya cukup terkejut juga. Nilanya pada saat itu adalah USD 159,04 Juta dollar. Atau dengan kurs 1 USD=Rp 9.000 setara dengan Rp 1.431, 36 Milyar. Artinya jika blog itu ada yang beli, saya akan mendapatkan uang sejumlah itu. Jadi bermimpi, siapa yang mau beli ya?
Saya baru menyadari bahwa tulisan seseorang di blog bisa dikapitalisasi berdasarkan keunikan dari blog yang bersangkutan. Terlepas apakah penilaian dari tim penilai itu akurat atau tidak, saya mengambil sebuah pelajaran bahwa karya itu memiliki nilai berdasarkan jumlah penerima manfaatnya.
Nah, kebaikan yang kita produksi adalah karya kehidupan. Hikmah dari simulasi penilaian itu adalah teruslah berbuat kebaikan tanpa memikirkan bahwa Anda bisa kaya atau tidak dari kebaikan tersebut. Secara nominal saya tidak bisa menjamin Anda akan mendapatkan kekayaan berapa, tapi secara instrinsik, Insya Allah Anda akan mendapatkan kekayaan yang sungguh melimpah. Seperti saya, dari kebaikan menulis saja, saya kini mendapatkan kekayaan instrinsik 1,4 trilyun rupiah menurut penilain manusia. Padahal kebaikan yang bisa diproduksi oleh seorang beriman tidaklah sekedar menulis. Banyak hal dan sangat beragam.
Namun setidaknya, ini menjadi pemacu diri sendiri dan rekan-rekan untuk terus menulis hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan. Tanpa berpikir apakah nanti bisa dibukukan, diterbitkan, atau menghasilkan uang.
Selamat bekerja dan berbuat kebaikan. Wallahua’lam.