Ketika saya di SD dulu, usai melaksanaan ujian akhir, biasanya sekolah mengadakan kegiatan yang dinamakan ‘class meeting’, yaitu kompetisi olahraga dan seni antar kelas, atau ‘school meeting’, yaitu kompetisi olahraga dan seni antar sekolah. Kegiatan itu dilangsungkan untuk mengisi jeda menunggu hasil penilaian kegiatan belajar yang akan dituangkan dalam bentuk ‘raport’.
Beragam bentuk olah raga dan seni dilombakan. Ada lomba melukis, pidato, membuat cerpen, dan memasak. Untuk olahraga, ada lomba balap karung, tarik tambang, atau balap gendong yang semuanya bersifat menghibur, dan ada juga olahraga murni yang bersifat kompetitif seperti atletik, sepak bola, volley, tenis meja, catur, atau badminton.
Saya ketika itu didaulat mengikuti salah satu cabang olahraga pada school meeting yaitu tenis meja. Kebetulan saya waktu itu, termasuk yang suka dan sering bermanin tenis meja saat di rumah. Jadi ketika guru atau teman menunjuk saya, maka saya tidak berkeberatan mengikutinya.
Pada hari perlombaan, bersama teman-teman perwakilan sekolah, kami bertolak ke SD lain –yang bertindak sebagai tuan rumah, dengan bersepeda. Alat transportasi sekolah waktu itu yang lazim adalah sepeda. Sepeda motor saat itu masih menjadi barang mahal di kampung. Semua murid, jika tidak jalan kaki ke sekolah ya naik sepeda. Tidak ada alternatif lain. Bahkan guru-guru kami yang tinggal jauh pun seperti Pak Kastolany dan Pak Helmi Arif yang berjarak sekitar 10 Km di kecamatan lain, menggunakan sepeda kumbang untuk datang ke sekolah. Demikian juga untuk pulangnya.
Di SD lain itu kami pun berkompetisi. Sejak awal kami tidak ditarget harus menang karena yang terpenting saat itu adalah menumbuhkan semangat kompetisi positif dan sportifitas. Sekolah bisa mengirimkan utusan pun sudah bersyukur. Namun tentu saja tidak menafikan harapan untuk bisa memenangkan lomba karena jika sekolah kami meraih juara tentu akan menjadi kebanggaan sekolah. Dan ini menjadi alat pemacu agar sekolah kami bisa terus mempertahankan supremasinya.
Di arena ‘school meeting’ itu saya menunai kekalahan di babak penyisihan. Namun sama sekali tidak tergurat rasa kecewa. Pak Helmi Arif yang mendampingi saya waktu itu juga tidak menunjukkan kekecewaan. Justru telah dia bangga karena saya bisa berpartisipasi dan selama pertandingan dan telah menunjukkan sikap yang sportif.
Seusai pertandingan, kami pulang ke rumah masing-masing. Karena pulangnya terlambat dibanding hari biasanya, saya pun mendapat pertanyaan dari orang tua dan kakak :‘dari manakah gerangan’. Saya -yang tidak melaporkan kegiatan itu ke orang tua atau kakak sebelumnya- menjawab bahwa saya baru pulang dari ‘school meeting’ yang diadakan di SD tetangga.
Orang tua berespon biasa saja. Cukup merasa bersyukur bahwa saya tidak ke tempat ‘yang bukan-bukan’. Namun kakak perempuan saya yang waktu sekolah di PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) agak kritis bertanya ke saya,
“Lha kamu ikut lombanya ga?”
“Ikut.”
“Ya bagus tho, kenapa kok ga bilang-bilang sebelumnya?”
“Ya itu kan acara biasa, Mba. ”
“Ya meskipun acara biasa, tapi ikutnya kamu ke pertandingan itu sudah bagus. Bukan soal kalah menangnya, tetapi itu melatih keberanian dan kejujuran (sportivitas). Mba ya ikut senang…syukur mendapat juara ya lebih senang lagi. Itu bisa meningkatkan kepercayaan diri kamu.”
Di luar dugaan, kakak saya ternyata sangat senang saya mengikuti pertandingan meski tidak menunai kemenangan.
—
Saat ini masyarakat indonesia berada dalam euforia sepak bola. Prestasi Tim Nasional dulu sering menunai cacian karena sering tampil tidak memuaskan. Namun kini mereka mulai menunjukkan prestasi yang membanggakan setelah medatangkan beberapa pemain asing yang dinaturalisasi.
Tiket laga semifinal pertama terjual habis bahkan banyak orang yang kecewa karena tidak bisa mendapatkan tiket. Kepala negara beserta keluarga dan pejabat turut memberikan dukungan dengan menonton langsung laga tersebut.
Untuk tiket laga semifinal kedua, ribuan orang berdesak-desakan antre untuk mendapatkan KUPON pembelian tiket di Stadion Gelora Bung Karno. Dipastikan penjualan tiket laga leg kedua ini bakal habis dan bakal menunai kekecewaan bagi yang tidak mendapatkan tiket. Pada laga leg kedua ini pun, kepala negara beserta rombongan berkenan memberi dukungan kepada Tim Nasional dengan memborong 225 tiket VVIP.
Apa makna dibalik euforia sepak bola nasional ini? Apa karena prestasi Timnas yang bagus dan mengundang pujian ataukah masyarakat yang mulai jenuh dengan berita-berita politik?
Boleh jadi benar bahwa masyarakat sudah lama merindukan pemain-pemain berkualitas di dunia persebakbolaan. Dan kini sepertinya harapan itu mulai berkibar setelah Timnas menunjukkan prestasi yang gemilang di Piala AAF, terlebih ditengah kondisi politik yang carut marut yang hampir memusnahkan segala harapan yang tersisa.
Kenapa mesti pada sepak bola bukan kepada yang lain? Karena permainan sepak bola adalah permainan yang dikenal luas menunjukkan keterbukaan strategi, kekompakan dan sportivitas.
Bagi saya, euforia itu sebenarnya bermakna bahwa masyarakat kita sebenarnya merindukan kekompakkan semua elemen di negeri ini guna membangun bangsa yang dilandasi kejujuran dan keterusterangan. Selama ini boleh jadi masyarakat bosan dengan permainan politik yang bisa diduga arah penyelesaiannya. Masalah dibiarkan menggantung, mengambang, dan membiarkan waktu untuk menyelesaikannya kemudian. Elemen politik saling berdebat bukan dalam rangka penyelesaian masalah namun hanya menghusung ego masing-masing. Diibaratkan dengan sepak bola, model sepak bola yang begini adalah sepak bola yang timnya mengalami perpecahan internal dan sibuk dengan percekcokan. Akibatnya disetiap laga, alih-alih menciptakan goal, tim ini selalu menunai kekalahan dan selalu dibantai habis oleh lawan.
Prestasi yang dilandasi kejujuran adalah harapan setiap orang. Asal kejujuran bisa dipertahankan meski tidak harus berprestasi, adalah lebih baik dibanding harus bermain curang dan menipu lawan. keberanian untuk jujur bisa menjadi prestasi seperti harapan kakak terhadap saya ketika masa kecil dulu.
Semoga euforia ini bukan sekedar kegembiraan, namun euforia yang membuka kesadaran. Terutama bagi pemangku amanah di negeri ini untuk berani jujur dan terbuka dihadapan rakyatnya. Wallahua’lam. ([email protected]).