Saat menyampaikan ta’lim (pengajian) rutin kelompok pengusaha dan eksekutif muda, tiba-tiba salah seorang peserta bertanya dengan mata yang berkaca-kaca : Ustadz? Alhamdulillah, saya banyak mendapat pengetahuan sejak mengikuti ta’lim ini.
Saya baru satu tahun belakangan ini benar benar berupaya menjadi seorang Muslim sejati. Dulu sebelum saya kembali kepada Islam ini, saya sangat mencintai lukisan. Bahkan saking cintanya, saya taruh di kamar tidur. Pekan lalu saya mendengar hadist Rasulullah Saw. mengharamkan lukisan. Alhamdulillah, lukisan dan patung-patung binatang itu sudah saya robek dan saya rusak (padahal harganya cukup mahal).
Sekarang saya dengar lagi ayat-ayat Allah yang mengharamkan riba. Saya sangat takut kalau mati dalam keadaan menjalankan sistem riba. Petanyaan saya adalah, kalau lukisan, saya dengan mudah meninggalkannya. Bagaimana dengan bisnis saya yang semuanya boleh dikatakan terkait dengan sistem riba itu?
Sungguh pertanyaan yang luar biasa. Ditengah gejala para aktivis dakwah yang lari dari nilai-nilai Islam fundamental dan asholah (orisinil), karena sudah mulai menikmati sedikit bunga-bunga dunia, dan hidup dengan kotor, muncul di sana sini fenomena kembali kepada Islam dari kalangan orang yang sudah lama kaya dan menikmati dunia. Siapa yang tidak tergugah degan pertanyaan tersebut?
Seorang pengusaha muda yang dengan segala kecukupan hidupnya , tiba-tiba tergerak hatinya untuk meninggalkan semua praktek bisnis yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, karena takut akan murka Allah, khususnya saat menghadapi kematian nanti? Ini bukan persoalan yang mudah.
Kita yakin bahwa tidak sedikit saudara-saudara Muslim yang ingin kembali kepada Islam yang lurus ini dalam berbagai lapangan kehidupan.
Namun karena dahsyatnya persaingan kehidupan, suburnya virus materialisme yang menjangkiti pola fikir dan syahwat, keterbatasan ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Shallahu Alaihi Wassalam, serta minimnya pengalaman dalam melakukan proses islamisasi kehidupan, termasuk masalah ekonomi dan bisnis, apalagi kurangnya contoh teladan dari para tokoh dakwah dan ulama, menyebabkan arus masyarakat kembali kepada Islam itu terkadang menemui jalan buntu.
Kalaupun berkembang di kemudian hari, hanya sebatas juz-iyyah (parsial), tidak fundamental dan konprehensif. Akhirnya gelombang kembali kepada Islam terjebak kepada formalitas dan rutinitas lahiriyah yang didominasi oleh nuansa hiburan dan pelepas rindu belaka.
Saatnya pola dan manajemen dakwah harus kita rubah menjadi mua’shoroh (moderen) , namun tetap menjaga asholah (orisinilitas)-nya, agar nilai-nilai Islam yang luar biasa itu membumi dan menjadi habit (kebiasaan) hidup sehari-hari dalam kehidupan moderen akhir zaman ini dan tidak mengawang-awang di angkasa lepas, seperti yang banyak kita saksikan. Dengan demikian, gelombang kembali kepada Islam hari ini membuahkan hasil yang maksimal dan insya Allah akan berdampak besar di masa datang, atau di generasi setelah kita.
Agar dakwah Islam ini terjaga asholah-nya dan sekaligus mua’ashoroh sehingga Islam itu menjadi manhajul hayah (konsepsi hidup) manusia hari ini, wabil khusus kaum Musliminnya, maka dakwah ini harus dibangun dan dijalankan di atas manhaj Al-Qur’an. Dengan kata lain, Al-Qur’an harus hidup dalam diri para da’inya sebelum disampaikan kepada orang lain.
Cerita dan misteri tongkat Nabi Musa yang diulas Al-Qur’an secara mengagumkan, misalnya sangat mudah dijadikan panduan dalam menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan dalam kembali kepada Islam dan hidup secara nilai-nilai Islam. Hal tersebut disebabkan, inti peristiwa yang dihadapi oleh Nabi Musa ribuan tahun yang lalu, dan demikian juga oleh para Rasul Allah yang lainnya dengan apa yang kita hadapi saat ini sama saja.
Yang berbeda hanya waktu, tempat, pelaku dan sedikit variasi sarana kehidupan. Oleh sebab itu, saat kita membaca berbagai peristiwa, kesulitan, hambatan, tantangan, ancaman dan resiko yang dihadapi oleh para Rasul yang diceritakan Al-Qur’an sangat hidup dan visual. Seakan semua itu terjadi saat sekarang ini. Alangkah miripnya masa lalu dengan hari ini.
Tongkat Nabi Musa adalah sebuah tongkat yang biasa dipakai oleh manusia di zamannya dan juga di zaman kita sekarang. Bahkan menurut Nabi Musa sendiri ketika ditanya Allah, tongkat itu hanya untuk membantu ia berjalan dan mengembalakan binatang ternaknya. Pertanyaannya ialah, mengapa tongkat tersebut tiba-tiba bisa menjadi ular besar yang siap menelan ular-ular hipnotisnya para tukang sihir dan setelah itu bisa kembali menjadi tongkat biasa? (QS. Thaha : 17 – 21)
Yang lebih dahsyat lagi, tongkat Musa dapat mengeluarkan 12 mata air setelah dipukulkan ke sebuah batu besar (QS. Al-Baqarah : 60 dan Al-A’raf : 160). Apakah itu bukan peristiwa yang sangat luar biasa hanya dengan alat dan sarana yang biasa-biasa saja? Kenapa di tangan kita tongkat seperti itu tidak melahirkan sesuatu yang melebihi fungsinya?
Ada yang lebih sangat dahsyat lagi dari itu, yakni ketika Musa dan pengikutnya sedang berhadap-hadapan dengan Fir’aun dan pasukannya di pinggir laut merah. Pengikut Musa meyakini bahwa mereka, Fir’aun dan pasukannya akan berhasil menangkap mereka, karena secara nyata dan kasat mata di hadapan mereka laut merah sedangkan mereka tidak memiliki perahu atau kapal untuk melarikan diri dari kejaran Fir’aun tersebut. Namun, Nabi Musa berkeyakinan dan berpendapat lain sambil berkata : “Tidak mungkin… Sesungguhnya bersama saya ada Allah, Dia pasti menunjukkan jalan keluarnya” (QS As-Syu’ara’ : 61 -62).
Endingnya ternyata persis seperti keyakinan dan pandangan Nabi Musa, bukan seperti keyakinan dan pendapat pengikutnya. Lagi-lagi, tongkat Nabi Musa yang sederhana itu bisa membelah laut merah, sehingga mereka bisa melarikan diri di tengah lautan tanpa perlu adanya perahu layar atau kapal. Yang lebih mengagumkan lagi, Musa dan pengikutnya lolos menyeberangi laut merah, sementara Fir’aun dan pasukannya tenggelam dan tamatlah riwayat mereka. (QS. As-Syu’ara’ : 63 – 66).
Kalau kita cermati dengan baik, kesulitan, hambatan, persoalan, tantangan dan bahkan resiko yang dihadapi oleh saudara kita di awal tulisan ini (dan siapa saja yang ingin kembali kepada sistem ekonomi Allah dan Rasul-Nya, dan juga sistem-sitem Islam lainnya), mirip dengan apa yang dihadapi oleh manusia di zaman Nabi Musa.
Demikian juga, karakter manusia, baik di zaman Nabi Musa ataupuin di zaman sekarang, dalam menerima atau mensikapi ajaran atau wahyu Allah terbagi kepada tiga golongan. Pertama, yang meyakini dan memahaminya (wahyu Allah) seperti Nabi Musa. Kedua, yang ragu-ragu seperti pengikut Nabi Musa. Ketiga yang mengingkari dan memeranginya, seperti Fir’aun dan pasukannya.
Dalam fakta dan akhir episode kehidupannya, ketiga golongan tersebut juga berbeda-beda. Musa, dengan tongkat yang sederhana dan biasa-biasa saja, dengan kehendak Allah jua, mampu melahirkan mukjizat-mukjizat yang tidak akan mampu dilahirkan oleh teknologi secanggih apapun.
Pengikutnya yang ragu-ragu akan kebesaran dan kekuasaan Allah, di antaranya disebabkan virus materialisame yang sudah menggerogoti otak dan jantung mereka, tetap saja menjadi bangsa budak, tersesat di padang Tiin dan bahkan kembali menjadi penyembah anak sapi, padahal baru saja melihat mukjizat tongkat Nabi Musa saat membelah laut merah. Adapun Fir’au dan para bala tentaranya Allah tenggelamkan di laut merah dan bahkan bangkainya Allah selamatkan sampai akhir zaman agar menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia yang lahir setelahnya (QS. Yunus : 90 – 92)
Melalui misteri tongkat Nabi Musa tersebut dapat kita simpulkan, sesulit apapun masalah yang kita hadapi, sebesar apapun tantangan dan hambatan serta perlawanan terhadap upaya kita kembali kepada Islam, kepada sistem Allah dan Rasul-Nya, tidak akan mampu menggagalkan kita, selama kita mampu membebaskan diri, fikiran, hati dan perasaan kita dari belenggu mentalitas materialistik yang sudah menggurita. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk berhasil mencari muka Allah sehingga Dia sudi bersama kita (ma’iyyatullah).
Orang-orang yang sama tingkat keyakinan mereka dengan Nabi Musa terhadap Kekuasaan dan Kebesaran Allah dan sama tingkat pemahaman mereka terhadap Dzat Allah, mereka bukan hanya mampu menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan tersebut dengan tegar dan kokoh, akan tetapi, di tangan mereka juga akan lahir mukjizat-mukjizat atau karomah-karomah besar yang tidak mampu diciptakan oleh teknologi secanggih apapun. Karena Allah bersama mereka, sama halnya dengan Nabi Musa.
Al-Qur’an penuh dengan cerita mukjizat para Nabi dan Rasul. Bahkan Al-Qur’an itu semuanya mukjizat. Allahummar hamna bil Qur’an….