Setiap Jumat kadangkala ada perasaan perih menyusup hatiku. Beratus Jumat sebelumnya pada September 2006, ayahku, yang aku memanggilnya aba’, wafat selepas sakit panas dua hari. Pada malam Kamis sebelum kematian, di tengah malam, ketika panasnya memuncak dan ia mendadak gagu, aba’ menarik-narik tanganku dan menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Mulutnya menceracau tak jelas. Seakan ia hendak mengatakan sesuatu.
Aku yang saat itu sama sekali tak peka justru menenangkannya dan kembali mengompresnya agar ia kembali tidur. Namun matanya seakan hendak bercerita. Barangkali karena lelah dengan puteranya yang tak kunjung ngeh, ia tertidur. Esoknya, panas tubuhnya turun. Ia hanya masih lemas dan berbaring seharian. Juga tak berbicara seharian. Ucapannya kembali jelas. Naas, aku lupa menanyakan apa yang hendak ia katakan semalam. Hingga aku kembali teringat saat selepas Magrib esok Jumatnya dokter klinik dengan wajah sedih mengatakan kepada kami sekeluarga,”Maaf, Pak, sudah tidak ada.”
Ya Allah, aba’, apa sih pesan terakhirmu itu? Saat itu aku baru sadar sesadar-sadarnya bahwa barangkali di malam Kamis itulah semestinya pesan terakhir aba’ hendak diucapkan.
Sembilan tahun sebelumnya, 1997, ketika ibuku meninggal dunia, rasanya tak ada pesan terakhir secara verbal yang ia ucapkan. Ibu, yang periang dan selalu optimis, memang sudah terbaring sakit sejak dua bulan sebelumnya. Kanker ginjal akibat pengapuran. Menurut diagnosis dokter, saluran darah ibu di sekitar bagian bawah tubuhnya tersumbat pengapuran akibat trauma tumpul di bagian tunggirnya. Belakangan, setelah dibawa berobat kemana-mana, ibu baru cerita bahwa sekitar dua bulan sebelum ia sakit, ia pernah terjatuh di kamar mandi. Namun, dasar ibu, ia tak pernah bercerita sebelumnya kepada aba’ dan kami, putera-puterinya. Sikapnya yang pantang mengeluh dan selalu optimis memang tak bertepi. Rasanya ia memang jodoh sejati yang melengkapi aba’ yang argumentatif dan pemikir namun, karena perfeksionis, kerap pesimis.
Serangkaian dengan misteri pesan terakhir aba’, aku juga kerap bertanya-tanya dalam hati,”Apa ya pesan terakhir ibu?” Misteri pesan terakhir kedua orang tuaku sama menyesakkan dengan kenyataan bahwa aku hanya punya satu lembar foto yang ada aba’ dan ibu. Hanya itu saja. Yang lain ludas ditelan banjir besar tahun 2007. Seperti kata orang bijak, tak punya kenangan sama saja tak punya akar sejarah.
Istriku, sang mantu aba’ dan ibu, pun baru tahu tampang kedua orang tuaku justru setelah kami menikah. Dan entah apa pula pertanyaan Alham, anakku satu-satunya, jika kelak ia tahu bahwa ia hanya punya satu nenek tanpa seorang pun kakek. Ayah istriku, yakni bapak mertuaku, wafat hanya berselang tiga jam setelah kematian aba’ di tempat yang jauh berseberangan pulau. Lagi-lagi sebuah misteri Ilahi.
Tapi aku rasanya sudah punya rancangan jawaban jika kelak Alham sudah dewasa untuk bertanya,”Persisnya seperti apa sih tampang kakek, Abi?”
Foto aba’ dan ibu yang tersisa selembar itu seukuran kartu pos dan tidak terlalu jelas karena diambil saat foto keluarga bersama waktu pernikahan abang keduaku pada 1997. Tiga bulan sebelum kematian ibu, dan tiga bulan saat kakak iparku mengandung cucu pertama ibu. Ironis memang karena bertahun-tahun lamanya ibu mendambakan punya cucu kendati ia tak pernah sekalipun mendesak-desak anak-anaknya untuk segera menikah. Ialah orang pertama yang mengajariku dan memberiku teladan soal kebebasan berpendapat dan berpikir kritis.
Nah, kepada Alham yang sekarang baru berusia delapan bulan, aku, Insya Allah, akan mengajaknya bercermin dan mengatakan kepadanya,”Alham mau tahu muka Kakek Rahman seperti apa? Nih dia!” Akan aku tunjuk wajah Alham di cermin. Ya, wajah Alham memang mirip dengan wajah aba’. Terutama hidung mancung dan alis lebat khasnya. Sementara bulu mata lentik dan bibir merah mungil tipisnya warisan dari sang nenek, ibuku.
Kembali ke soal pesan terakhir, hanya kakak sulungku, Bang Didin yang dengan jelas mengucapkan pesan terakhir. Yang sayangnya tidak aku dengar langsung dari lisannya tapi dari pengakuan abang keduaku yang saat itu hendak mengantarnya ke rumah sakit.
Sama seperti aba’ yang sakit panas mendadak kemudian wafat, Bang Didin juga demikian. Selepas ia lembur habis-habisan sebagai staf inti sebuah bimbingan belajar Islam – yang kini sangat terkemuka – yang masih baru dirintisnya bersama teman-teman kuliahnya, Bang Didin sakit panas dan demam tinggi. Keesokan harinya ketika pagi-pagi ia meminta dipanggilkan taksi untuk ke rumah sakit, Allah memanggilnya, pada tahun 1993, dalam kondisi duduk di sofa sambil tersenyum. Padahal baru saja taksi yang dibawa abang keduaku tiba. Abang keduaku, Kak Satiri, beruntung masih mendapati Bang Didin mengucapkan pesan terakhirnya.
“Apa pesan terakhir Abang?” desakku ketika Kak Satiri mengutarakan detik-detik terakhir kakak kesayanganku itu. Saat itu aku masih kelas satu SMA dan sedang ada jadwal kursus bahasa Inggris.
“Jangan jadi bebek.”
“Maksudnya?”
“Nggak tahu. Cuma itu,” jawab Kak Satiri. Memang cuma sesingkat itu namun tiga kata itu terus terngiang di telingaku. Tak ada penjelasan detil apa maksudnya karena selepas berucap itu Bang Didin menghembuskan nafas terakhir. Kami sekeluarga pun tak lagi membahas.
Tapi bagiku, yang adik terdekat dengan Bang Didin karena faktor kegemaran membaca dan menulis yang sama di mana ia merupakan mentor menulisku sejak aku kelas tiga SD, tiga kata tersebut bagai kunci yang harus dicarikan jawabannya. Seperti misteri-misteri dalam novel The Da Vinci Code. Hingga sekitar 2004 atau 2005 (jika ingatanku tak bermasalah), aku menemukan jawabannya ketika menemukan buku Jangan Jadi Bebek-nya Oleh Solihin. Dua belas tahun aku butuhkan untuk menemukan makna pesan terakhir sang mentorku itu. Dengan latarbelakang Bang Didin yang aktivis dakwah kampus UI era 1980-an dan mantan wartawan, aku tahu betul bahwa pesan ‘jangan jadi bebek’-nya simetris dengan apa yang ia ajarkan kepadaku selama tahun-tahun hidupnya.
“Jangan ikut-ikutan gaya menulis orang lain!” Itu salah satu pesannya sebagai mentor menulis. Saat itu ia bagai Sean Connery yang sedang mengajari tentor kulit hitamnya belajar menulis dalam film Finding Forrester.
“Jadilah ikan di lautan. Sekelilingnya asin tapi ia tidak asin,” itu pesannya yang lain sebagai guru ngajiku. Belakangan aku mengetahui bahwa pesannya itu disarikan dari ungkapan bahasa Arab, yakhtalitun wa lakin yatamayyazun. Bercampurlah tetapi jangan melebur dalam pergaulan sesama manusia. Tetap punya prinsip dengan tidak meninggalkan keakraban sebagai sesama anggota masyarakat yang hidup bersama-sama. Perkataan itu diungkapkan Syaikh Sayyid Quthb, seorang sastrawan dan pemikir Mesir, yang syahid di tiang gantungan rezim Jamal Abdul Nasser — serupa rezim Soeharto jaman Orde Baru — karena dianggap musuh negara dengan tulisan-tulisannya yang kritis dan independen, tidak membebek atau membeo, terhadap dominasi kebijakan negara yang lalim.
Berhasil mengungkap misteri pesan terakhir Bang Didin, bagiku, rasanya sama gembiranya seperti saat aku berhasil lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri – waktu itu namanya UMPTN – di Universitas Indonesia (UI) pada 1996. Bagai kegembiraan seseorang yang merindukan miliknya yang lama hilang dan kembali menemukannya pada saat yang tepat.
Ya, saat yang tepat. Pada saat yang tepat, ketika aku sudah terbebas dari depresi pascakematian ibu dan sudah ikhlas menerima wafatnya aba’ serta tak lagi meratapi kehilangan Bang Didin, seiring asam-garam-pahit-manis kehidupan yang disesap, aku kini insyaf bahwa pesan terakhir tak mesti selalu berupa ucapan verbal atau lisan. Adalah sebuah kisah sufi yang menyentakkanku.
Alkisah, seorang sufi dalam doa-doa khusyuk panjangnya di sepertiga malam memohon kepada Allah agar jelang kematiannya kelak ia diberikan tanda-tanda agar ia dapat mempersiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya.
Tahun-tahun berlalu dan sang sufi tak kunjung mendapat tanda-tanda dari Allah kapan kematiannya akan tiba.
Hingga suatu ketika datang malaikat maut hendak menjemput nyawa sang sufi.
Ketika sang sufi protes mengapa ia tak diberikan tanda- tanda terlebih dahulu, apa kata sang malaikat maut?
“Bukankah uban-uban di kepalamu sudah merupakan tanda?”
Sang sufi tersentak sadar.
“Bukankah tulang-tulang rentamu juga merupakan tanda?”
Sang sufi kian terhenyak.
“Bukankah kematian orang-orang di sekitarmu sudah cukup sebagai tanda-tanda bagimu?”
Sang sufi akhirnya menangis dan bersujud kepada Allah. Ia memohon ampun kepada Allah atas prasangka buruknya kepada sang Khalik. Di akhir kisah, diceritakan kematian sang sufi yang husnul khotimah, tenang dan ikhlas.
Ya, segenap tanda-tanda yang disebutkan sang malaikat maut juga merupakan pesan terakhir bagi kita, para calon penghuni liang kubur yang juga akan bernasib seperti sang sufi. Mati.
Dengan hikmah kisah sufi tersebut, aku me-rewind kenangan akhir bersama orang-orang terkasihku. Konon, termaktub dalam sebuah kitab, setahun sebelum kematian seseorang, Allah sudah memberikan tanda-tanda yang khusus.
Bagiku, setelah tercerahkan, rasanya benderang sudah apa pesan terakhir kedua orangtuaku. Sebulan sebelum ibu jatuh sakit, ia kerap bilang ingin jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Saat itu kami menertawakan dan mengira ia bercanda seperti pembawaannya yang biasa. Beberapa kali permintaan itu ia ulang. Barangkali maknanya ia ingin kami yang saat itu sudah sibuk dengan kesibukan masing-masing agar tetap menjaga kebersamaan dan silaturahim.
Sementara aba’ beberapa bulan sebelum kematian sering bilang ingin ketemu dengan Muthi, salah satu cucunya, yang tinggal berjauhan. Memang ada persoalan keluarga yang cukup parah dengan orangtua Muthi hingga jarak yang jauh bertambah jauh dengan jauhnya kedekatan hati. Pada akhirnya Muthi memang hadir – bahkan ia dan ibunya yang sempat bermasalah dengan aba’ menjadi orang-orang yang menyaksikan detik kematian aba’ – ketika aba’ tak lagi mampu menggendongnya atau mengajaknya berkeliling kampung dengan skuternya.
Ah, kematian memang selalu saja menjadi pelajaran. Meski pahit. Dan sayangnya tak selalu pesan terakhir orang yang meninggal dunia langsung kita sadari dan pahami di detik yang bersamaan. Barangkali itulah salah satu misteri dan kekuasaan Allah, sang pencipta dan penguasa semesta.
Wallahu a’lam bisshawwab.
[email protected]
www.nursalam.multiply.com