Tentu sudah tak asing lagi membaca dan mendengar sebuah peribahasa yang menyebutkan ‘ada gula ada semut’. Nah, kali ini aku bukan hendak mengartikan peribahasa ini secara tersirat tetapi lebih kepada artinya yang tersurat. Memang sudah lazim kalo semut suka yang manis-manis. Jadi sudah tak heran lagi jika ada makanan manis yang langsung dirubung oleh semut.
Tapi semut jaman dulu rasanya berbeda dengan semut jaman sekarang. Apalagi semut-semut di daerah perkotaan seperti Jakarta. Kelihatannya semut-semut ini sangat kelaparan. Mereka selain suka yang manis-manis juga menyukai hampir semua jenis makanan yang kita makan. Terkadang kita dibuatnya kesal. Padahal hal yang dilakukan semut–semut itu adalah akibat dari terdesaknya lahan mereka yang banyak diserobot oleh manusia di kota. Salah siapa?
Aku jadi teringat sebuah kejadian di bulan Ramadhan yang baru saja kita lewati bersama. Selepas menunaikan sholat tarawih aku sering membawa makanan kecil yang belum sempat aku makan saat berbuka puasa ke dalam kamarku.
Kuletakkan makanan itu di atas meja karena aku berniat memakannya beberapa menit kemudian. “Rebahan dulu deh,” pikirku sejenak. Namun rasa kantuk yang merajalela membuat aku langsung terlelap dan melupakan makanan yang kutaruh di atas meja.
Saat waktu sahur tiba, kulirik piring makananku. Wah, semut-semut hitam sedang asyik berpesta pora melahap makanan yang belum sempat aku sentuh tadi malam. Yah, beginilah jadinya kalau ketiduran.
Rupanya kebiasaan membawa makanan ke kamar terus berlanjut keesokan harinya. Tapi kali ini tekadku lebih kuat untuk langsung menyantap kue-kue sebelum diserobot oleh para semut. Tapi apa daya, lagi-lagi kantukku mengalahkan nafsu makanku. Alhasil, pasrah sudah jika sahur tiba menemukan piring makananku penuh dirubung segerombolan semut yang sedang lapar. Yah, alamat dimakan semut lagi deh! Pikirku kemudian.
Ternyata prasangkaku keliru. Makananku tetap bersih, tak ada seekorpun semut yang datang menghampiri piringku. Lho, kenapa bisa begitu ya? Aku terheran-heran bercampur rasa gembira melihat makananku utuh dan bersih.
Aku berusaha mencari jawaban mengapa kali ini semut-semut tak bernafsu melahap makananku. Astagfirullohal’adziim!! Apa yang telah aku lakukan? Keherananku terjawab sudah. Rupanya, karena mengantuk aku telah lalai meletakkan piring makananku di atas sebuah kitab suci Al-Qur’anul Karim!
Aku jadi teringat dua buah kisah nyata di belahan bumi yang lain tentang kesucian Al-Qur’an yang memang telah dijamin oleh Yang Maha Kuasa.
Begini kisahnya, beberapa tahun silam di Pakistan ditemukan sebuah Al-Qur’an berusia sangat tua yang tidak dimakan oleh rayap. Bagian pinggir/tepi Al-Qur’an memang sudah terkikis habis oleh rayap, namun bagian kertas yang bertuliskan kalam Illahi tetap utuh tak tersentuh gigitan rayap. Sehingga jika dibuka lembar per lembarnya terlihat unik seperti sebuah karya seni bordir yang meliuk-liuk bertuliskan hurup arab. Rayap tak berani menyentuh ayat-ayat yang suci dari Sang Pencipta.
Lain lagi dengan sebuah peristiwa yang menakjubkan tentang terbakarnya sebuah mobil di tepi jalan raya di daerah Timur Tengah. Mobil yang telah berubah menjadi rongsokan itu tidak menyisakan apa-apa. Seluruh bagian mobil hangus terbakar berikut rangka besinya. Namun tak disangka tak diduga di dalamnya ditemukan sebuah Al-Qur’an yang masih tetap utuh tak tersentuh api padahal sekelilingnya sudah berubah menjadi abu. Subhanalloh! ALLOH Hafidz.
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS 15 : 9)
“Qaaf. Demi Al-Qur’an yang sangat mulia.” (QS 50 : 1)
Ah, malunya hati ini jika mengingat kejadian malam itu. Seharusnya aku lebih berhati-hati dalam bertindak. Semut-semut saja tidak berani menaiki Al-Qur’an yang mulia dan suci, sedangkan aku telah sembarangan meletakkan makanan di atas Al-Qur’an. Ampuni aku, yaa Rabb atas kelalaianku. Aku akan berusaha untuk tidak gegabah lagi dalam berindak. Dan satu hal yang ingin aku ucapkan untuk para semut di kamarku. “Terima kasih semut-semut hitam, hari itu kau telah memberiku pelajaran berharga”.
Wallohua’lam bishshowaab
(mkd/bintaro)