Kutengok telepon genggamku sesaat. Oh! Rupanya ada miss call dari seorang sahabat yang lama tak berjumpa. Kulihat gambar pesan diterima di layar telepon genggamku. Bu Iyul (bukan nama sebenarnya) mencoba meninggalkan pesan tertulis atau lebih dikenal dengan istilah sms, setelah tak berhasil menghubungi dan berbicara langsung denganku.
Kubalas dengan menelepon kembali kepadanya. Sejenak, ia mematikan nada dering yang terdengar di telingaku dan berusaha untuk menghubungiku lagi.
Senang mendengar suaranya yang ramah dari seberang telepon. Ia ada nun jauh di sana, di daerah Yogyakarta, Jawa Tengah. Beliau menanyakan kabarku termasuk kabar anak-anak. Ya, Bu Iyul dan keluarganya dekat dan menyukai anak-anak. Tak heran, jika anak-anak pun senang dekat dengan keluarganya dan selalu mengingatnya dengan baik.
Dulu kami sama-sama tinggal di negeri seberang. Bu Iyul orang yang ramah bersahaja dan selalu tersenyum. Suami Bu Iyul saat itu menjabat sebagai kelapa sekolah di tempat anak-anakku belajar menuntut ilmu di Kedutaan Indonesia.
“Assalamu’alaikum, bagaimana kabar anak-anak? Sehat semua Mbak?” sahutnya ceria.
“Alhamdulillah aku dan suami sehat, tapi anak-anak sedang terserang diare Bu”.
“Sudah diobati Mbak?”
“Yang pertama dan kedua sudah ke dokter, tapi yang kecil belum Bu”.
Ah, entah kenapa akhir-akhir ini anak-anak menjadi sering sakit. Mungkin kami masih dalam proses beradaptasi dengan cuaca yang sering tak menentu, sehingga rawan terserang penyakit. Rabu siang, si sulung mengeluh sakit perut dan disertai diare serta muntah. Kamis siang, anak kedua mengeluh hal yang sama.
Khawatir menular kepada si bungsu, bergegas siang itu aku dan kedua anakku berobat ke dokter. Ah, kalau mikirin biaya rasanya menyedihkan. Harga obat di jaman seperti sekarang ini, tak bisa dibilang murah. Untuk sekali berobat saja, minimal seratus lima puluh ribu rupiah harus siap di tangan.
Tak hanya itu, butuh waktu yang cukup lama untuk sekali berobat. Antrian yang panjang mengular di ruang tunggu membuat kami harus menunda kegiatan lain. Itu pun belum termasuk menunggu obat untuk ditebus di apotek rumah sakit. Ya, sekaligus belajar melatih kesabaran sepertinya.
Iktiar dan do’a sudah dilakukan, namun hari ketiga si kecil tak luput pula terserang diare. Laa haula walaa kuwwata illa billah.
“Saya punya obat mujarab untuk sakit diare maupun sembelit. Gak perlu ke dokter dan gak perlu beli obat di apotek”, lanjut Bu Iyul.
“Oh ya? Boleh saya tahu Bu?”. Aku menjadi bersemangat dan antusias ingin segera mengetahui obat mujarab apa yang dimaksud Bu Iyul.
“Gampang kok Mbak dan inshaAlloh tidak ada efek sampingnya. Sejak anak-anak saya bayi, saya sudah mencobanya dan manjur sekali. Ini pun hasil penelitian seorang apoteker di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Kota Gudeg.”
Anak-anak Mbak Iyul sudah besar-besar, bahkan ada yang sudah kuliah di perguruan tinggi. Wah, aku jadi tambah penasaran. Kalau ada alternatif lain yang lebih murah, mudah, dan nyaris tidak beresiko, kenapa tidak dicoba? Tidak ada salahnya bukan?
Bu Iyul segera menguraikan resepnya :
“Cuci bersih dan parut kunyit sebesar ibu jari tangan. Campurkan dengan air matang sebanyak satu sendok makan. Minum air perasan kunyit tadi setelah disaring terlebih dahulu.”
“Sepertinya mudah ya Bu. Berapa kali sehari diminumnya Bu?”.
“Biasanya sekali minum langsung manjur lho, Mbak?”
“Oya?? Saya langsung coba di rumah deh, Bu. Terima kasih banyak atas ilmunya ya Bu. Wassalamu’alaikum.”
Sesampainya di rumah, aku bergegas menuju dapur. Alhamdulillah, ada sisa kunyit dua ruas ibu jari walapun agak mengering. Kubuat peresan kunyit seperti yang diuraikan Bu Iyul.
Syukurlah, si bungsu mau meminumnya. Maklumlah, anak-anak kami sudah terbiasa minum obat dari dokter. Jadilah minum jamu menjadi sesuatu yang asing bagi mereka dan butuh perjuangan untuk meminumnya, terutama ‘wangi rempah’ yang cukup menyengat.
Mereka jarang sekali minum jamu-jamuan, padahal jamu tak kalah hebatnya dengan obat racikan. Bahkan sudah terbukti dari generasi ke generasi akan keunggulannya. Itulah salah satu sebab mengapa Belanda datang menjajah negeri kita ini demi rempah-rempah tersebut. Yah, salahku sendiri yang tak membiasakan hal itu.
Hari berlanjut malam, tak ada keluhan lagi dari bungsuku yang cantik. Besoknya, ia sudah buang air besar normal seperti biasa. Subhanalloh! Aku girang bukan kepalang. Memang kita tidak boleh menyepelekan rempah-rempah yang kaya khasiatnya untuk mengobati berbagai penyakit. Aku jadi bisa tidur nyenyak lagi jika melihat anak-anak sehat kembali. “Oh kunyit, kau yang tadinya hanya dilihat sebelah mata, kini menjadi barang berharga buatku dan keluarga.”
“Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (QS. An-Nisa [4] : 1)
Itulah salah satu hikmah yang aku dapat dari menyambung tali silaturrahim. Beruntung, di era modern ini banyak fasilitas yang mendukung dan memudahkan tersambungnya tali ukhuwah islamiyah. Telepon, email, sms, dan masih banyak lagi.
Jazakillah khoir atas ilmunya ya, Bu Iyul. Semoga Alloh SWT selalu melindungi Bu Iyul dan keluarga di mana pun kalian berada. Aamiin. Salam ukhuwah.
Wallohu a’lam bishshowaab.
(mkd/bintaro/10.01.11)