Sepuluh menit lagi mendekati pukul delapan malam. Taksi yang kami tumpangi melaju dengan kencang membelah gelapnya malam kota Bangkok. Suami dan gadis cilikku ikut menemani. Malam itu kami berniat mengunjungi Melati, salah satu sahabatku sekaligus ustadzahku yang telah hampir delapan bulan lamanya kami tak bersua.
Vista Condominium belum juga kami temukan, padahal kami sudah berada di jalan Srinakarin sesuai petunjuk Melati. Ah, susah juga ternyata mencari alamat di malam hari apalagi kami betul-betul buta dengan daerah tersebut. Padahal di sisi lain kami ingin segera sampai di rumah Melati, khawatir datang kemalaman.
Bergegas Mr. Chunchan (supir taksi) menginjak rem dan menghentikan taksinya. Dengan berlari-lari kecil ia keluar dari taksi dan bertanya kepada beberapa orang yang sedang berdiri menunggu bus di halte.
Alhamdulillah, baik sekali supir taksi kali ini. Pria separuh baya yang berwajah ramah. Kami dengan tenang duduk di dalam mobil sedangkan ia sibuk bertanya ini-itu kesana-kemari mencari alamat Melati.
Semula Mr. Chunchan tak terlalu peduli dengan kami penumpangnya. Namun tak berapa lama setelah aku dan suami duduk dan berbincang ringan dalam bahasa Indonesia, ia pun akhirnya tergelitik juga mendengar percakapan kami yang tentunya berbeda jauh dengan bahasanya sendiri.
Seperti biasa, supir taksi awalnya hanya menanyakan dari mana asal negara kami. Wajah kami memang hampir sama dengan orang-orang Thailand belum lagi warna kulit yang juga sama-sama sawo matang.
Mr. Chunchan sangat gembira setelah mengetahui bahwa kami berasal dari Indonesia. Aku tak menyangka, biasanya orang menganggap rendah dengan negaraku, kali ini tidak demikian. Ada apa gerangan?
Mr. Chunchan mencoba menceritakan sesuatu kepada kami. Aku berusaha dengan keras untuk memahami cerita dari Mr. Chunchan. Maklumlah bahasa Thaiku sangat pas-pasan. Hanya layak dipakai di pasar untuk tawar menawar harga. Aku coba memasang kuping lebar-lebar dan ekstra tajam agar tidak terkecoh dengan intonasi bahasa Thai yang beraneka ragam. Kurang lebih beginilah aliran ceritanya.
“Saya punya teman namanya Mr. Kiki dari Indonesia. Dia baik sekali. Dulu dia tinggal di Bangkok selama empat tahun bersama istrinya yang berwarga negara Singapura dan dua orang anak perempuannya. Dia dulu tinggal di Condominium Sommerset di jalan Ruamrudee. Tempat tinggalnya mewah dan bersih.”
Mr. Chunchan melanjutkan ceritanya. “Saya tahu, orang Islam punya bulan yang disebut Ramadhan. Setiap Ramadhan kamu puasa, tidak makan dan minum. Nah, setiap bulan Ramadhan datang, Mr. Kiki selalu memberikan saya uang yang banyak.”
“Sayangnya, Mr. Kiki sekarang sudah pindah ke Brunei. Chan kitheung Mr. Kiki maak (saya kangen sekali dengan Mr. Kiki). Dua tahun saya tidak berjumpa dengannya. Pernah suatu hari Mr. Kiki menelepon saya, saya menangis mendengar suaranya. (lagi-lagi Mr. Chunchan berkata) Chan kitheung maak.”
Dari cerita singkat Mr. Chunchan, ada benang merah yang dapat kita ambil hikmahnya. Kesan yang begitu mendalam tentang kebaikan Pak Kiki.
Mr. Chunchan begitu terkesan dengan uang zakat yang ia terima secara rutin setiap tahun dari Pak Kiki di bulan Ramadhan. Secara tidak langsung Pak Kiki telah berdakwah melalui budi perkerti beliau. Pak Kiki memperlihatkan kepada Mr. Chunchan tentang indahnya Islam. Dalam benak Mr. Chunchan, ia beranggapan bahwa orang Islam adalah orang yang peduli dengan sesama, suka berbagi, tak pandang ras dan agama.
Mr. Chunchan dapat mengingat dengan baik bahwa setidaknya ada satu bulan yang sangat istimewa dalam Islam yaitu bulan Ramadhan. Ya, ternyata memang bulan Ramadhan yang mulia itu tidak hanya istimewa bagi umat Islam saja tapi ia pun istimewa bagi umat yang lain (dalam hal ini Mr. Chunchan yang mendapatkan zakat di bulan Ramadhan yang penuh berkah).
Satu hal yang tak kalah berkesan tentang Pak Kiki bahwa walaupun sudah jauh berada di negeri lain, tapi Pak Kiki tidak lupa mengabarinya lewat telepon. Ia tetap menjaga silaturrahmi dengan Mr. Chunchan yang berbeda agama dengannya. Semoga melalui kebaikan Pak Kiki, Mr. Chunchan segera mendapat hidayah untuk memeluk Islam, aamiin.
Tak hanya itu, Pak Kiki telah memberikan sesuatu yang sangat berkesan bahwa orang Indonesia adalah orang yang baik hati dan dermawan.
Aku tidak kenal siapa gerangan Pak Kiki. Aku juga tidak pernah berjumpa atau bahkan mungkin tidak akan pernah tahu siapa Pak Kiki yang dimaksud Mr. Chunchan dalam ceritanya. Ada beratus-ratus nama Kiki yang berasal dari Indonesia.
Yang aku tahu bahwa Pak Kiki yang diceritakan Mr. Chunchan adalah orang yang sebangsa denganku, seiman denganku dan seagama denganku.
Walaupun aku tidak mengenal Pak Kiki tetapi aku masih bisa merasakan kebaikan beliau. Tutur kata yang ramah dari Mr. Chunchan serta tak segannya ia menolong kami mencari alamat, semua itu menurutku merupakan refleksi dari rasa hormat Mr. Chunchan kepada Pak Kiki. Jazakalloh khoir atas kebaikanmu, Pak Kiki.
“Sesungguhnya Alloh memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal sholeh ke dalam surga-surga…” (QS 22 : 23)
“Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…” (QS 16 : 97)
Mr. Chunchan berlari-lari kecil menuju taksi setelah berhasil mendapatkan informasi tentang lokasi Vista Condominium dari orang-orang di sekitar halte. Walaupun sudah larut malam, senyum masih terukir di wajahnya.
“Kita sebentar lagi sampai,” sahutnya ramah.
Kami berbelok memasuki gerbang Vista Condo. Tak lama kemudian kami dijemput oleh Melati di lobby.
Keesokan harinya pesawat boeing 747-400 lepas landas meninggalkan negeri yang sempat kami singgahi enam tahun lamanya. Puji syukur kupanjatkan ke hadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan aku kesempatan bersilaturrahmi lagi dengan sahabat-sahabatku di Muang Thai.
Walaupun berjumpaan kita hanya sebentar namun sangat bermakna buatku. Setelah 3 jam 20 menit di udara, Thai Airways yang kami tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Soekarno-Hatta, alhamdulillah.
Wallohua’lam bishshowaab
(mkd/bintaro/15.03.2011)