Kebahagiaan Yang Telah Pergi

“Tante! Tante, masih ingat saya nggak?” teriak seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan kepada ibuku yang sedang berbelanja di tengah-tengah pasar. Spontan beberapa pasang mata langsung menoleh mencari tahu sumber suara tersebut. Ibu Atika (bukan nama sebenarnya) sang pemilik suara tadi dengan sedikit berlari menghampiri ibuku yang masih kebingungan bahwa yang dimaksud “tante” adalah dirinya.

“Tante, saya Atika temannya anak Tante”. Tanpa ragu ia memperkenalkan dirinya. Ibuku mencoba mengingat kembali beberapa teman anak-anaknya. “Eh iya, apa kabar Atika?” sahut ibuku ramah. “Tante, saya sudah menjadi janda”. Ibuku terdiam, kaget mendengar jawabannya.

Ibu Atika adalah salah seorang teman kuliah kakakku. Mereka sama-sama lulus sebagai dokter gigi dari sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Jakarta. Sampai saat ini kakakku bekerja sesuai bidang ilmunya menjadi seorang dokter gigi di sebuah klinik. Namun Ibu Atika entah kenapa meninggalkan prosefinya sebagai dokter gigi dan lebih memilih bergelut di bidang catering/masak-memasak.

Kembali ke masa lampau, dulu Atika muda adalah seorang non muslim. Ia menikah dengan seorang pria muslim pilihannya dan kemudian ia pun menjadi seorang wanita mualaf. Pihak keluarganya tak ada yang menyetujuinya, maka ia pun dibuang oleh orang tuanya. Namun Atika tetap melangkah membina rumah tangga bersama pemuda pilihannya dan dikaruniai tiga orang anak.

Singkat cerita, lama tak berjumpa tentunya senang jika bertemu dengan teman lama apalagi jika telah hitungan tahun. Namun tentu saja pertemuan itu menjadi terasa janggal jika terjadi di tengah malam buta.

Beberapa hari kemudian sejak pertemuan ibuku dengan Ibu Atika di pasar tempo hari, suatu malam kakakku dikejutkan dengan kedatangan Ibu Atika ke rumahnya.

Ya, malam itu pintu rumah kakakku diketuk seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Ibu Atika. Kakakku keheranan mengapa ia datang di tengah malam buta. Ada apa gerangan? Apakah ada hal penting yang ingin ia sampaikan?

Rupanya Ibu Atika bermaksud untuk menawarkan beberapa menu catering miliknya. Kakakku menghela napas lega, namun ada yang aneh dengan perilaku Ibu Atika. Kenapa ia harus datang malam-malam begini? Tidakkah lebih baik bila bertemu di siang hari? Ibu Atika tampak tak peduli dengan wajah kakakku yang masih melongo kebingungan menerima tamu tengah malam. Ia tetap menyodorkan beberapa lembar kertas putih ke tangan kakakku. Kertas yang ditulisnya sendiri berisi daftar menu makanan berikut harga-harganya.

Ah, ada apa dengan Ibu Atika? Kakakku mencoba mengingat kilas balik saat terakhir bertemu dengan Ibu Atika. Ia tampak sangat berbeda saat itu. Rambutnya yang dulu hitam legam kini nyaris putih semua. Gaya bicaranya pun terdengar janggal. Tanpa ditanya, tanpa rasa malu dan tanpa beban, Ibu Atika menceritakan kegagalan rumah tangganya kepada kakakku.

Kini Ibu Atika hidup seorang diri. Kami tak tahu apa penyebab utama suaminya menceraikannya dan membawa semua anak-anaknya. Mengapa orang-orang yang dulu mencintainya kini pergi meninggalkannya?

Secara naluri keibuan, tentu pedih rasa hati bila sehari saja tak bisa memeluk dan mendekap erat buah hati yang telah dikandung sembilan bulan lamanya. Sepi dan sedih rasa jiwa bila harus menanggung hidup sendirian tanpa orang-orang yang dicintai ada di sekeliling. Suami telah pergi entah ke mana, anak-anak telah jauh dari pangkuan bunda, bahkan ayah-ibu tercinta telah membuang dan melupakannya. Pedih dan pilu mengungkung jiwa raga. Kasian Ibu Atika. Harapan tak seindah kenyatan. Kenyataan berkata lain, namun Ibu Atika harus bertahan meneruskan hidupnya.

Apakah sebenarnya yang dicari Ibu Atika? Mengapa ia kerap berkata suaminya pelit? Pelit menurut prasangkanya. Kami tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Melihat beberapa kejanggalan, kata-katanya tak dapat sepenuhnya kami percayai. Kakakku tak habis berpikir bahwa ia masih merasa benar dan tidak mau belajar mengambil hikmah dari kejadian masa lalunya. Bahkan ia masih berharap suatu hari nanti akan bertemu dengan seorang pria konglomerat yang mau menikahinya. Astagfirullohal’adzim!

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.” QS 3 : 186
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” QS 64 : 15

Ada satu benang merah yang dapat kita tarik dari pengalaman hidup Ibu Atika. Pelajaran yang semoga menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Sang Kholik. Niat. Ya, semua berawal dari niat. Jauhkan niat dari segala bentuk hawa nafsu termasuk nafsu harta. Nafsu dunia hanya akan menyeret kepada kebahagiaan semu yang berakhir pada kesengsaraan.

Niatkanlah pernikahan kita dan hidup kita hanya untuk Alloh SWT agar kebahagiaan hakiki yang kelak akan diperoleh. Itulah kebahagiaan yang sempurna yang tidak hanya dirasakan di dunia saja namun pasti akan diraih pula kebahagiaan yang lebih kekal di akherat nanti, inshaAlloh.

Semoga Alloh SWT memberikan hidayah-NYA kepada Ibu Atika dan mengampuni kesalahannya. Semoga Ibu Atika mendapatkan kembali kebahagiaan yang telah hilang dari hidupnya, aamiin.

Wallohua’lam bishshowaab.
(mkd/bintaro/22.11.2010)