Bismillah,
Seperti biasa, setiap Kamis adalah jadwalku belajar menjahit. Senangnya! Hobi yang sempat terputus enam tahun silam, akhirnya bisa kulanjutkan lagi. Aku harus mulai dari awal, kali ini harus lebih serius lagi tentunya. Kalau dulu hanya menjahit yang lurus-lurus saja seperti membuat seprai dan sarung bantal, kini harus beralih ke yang lebih sulit lagi yaitu membuat pola pakaian. Semoga belum ada kata terlambat, apalagi usiaku sudah mendekati kepala empat.
Setelah bebenah rumah, pagi hari mendekati pukul sepuluh aku berangkat bersepeda. Dengan mantap kupakai helm dan kaca mata sambil mengayuh sepeda menuju tempat kursus menjahit yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah. Hampir satu bulan aku belajar teori, membuat pola dan memotong kain untuk dijadikan blus, rok, atau celana.
Kelas menjahit selalu terasa cepat bagiku. Dua jam berlalu laksana angin. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Tak lama kemudian, adzan pun berkumandang dan kami (para siswa kursus) segera merapikan meja yang berantakan oleh alat dan bahan jahitan untuk bergegas pulang ke rumah masing-masing.
Kuayuh lagi sepeda menuju rumah. Ah, ada pedagang keliling yang berhenti di pinggir jalan. Naluri wanita dan tentu lazimnya seperti kebanyakan ibu-ibu, jika ada pedagang keliling yang sedang mangkal di pinggir jalan, ada rasa penasaran untuk sekedar melihat-lihat dan bertanya harga dagangannya.
Minggu lalu sekantong jambu biji merah kutenteng ke rumah. Kali ini aku menghampiri seorang pedagang kerupuk warung. Sudah lama aku belum mencicipinya lagi. Makanan khas yang hanya ada di Indonesia. Hampir semua orang suka kerupuk warung, baik tua, muda, apalagi anak-anak. Kurang nikmat rasanya kalau makan tidak dilengkapi dengan menu kerupuk.
Sebetulnya pedagang kerupuk yang aku lihat itu tidak sedang menjajakan kerupuknya, namun sedang beristirahat di pinggir jalan. Tanpa ragu kurapatkan sepedaku.
Pak, masih ada kerupuknya?
Masih Bu.
Mau beli, Pak. Berapa ya harganya?
Biasa Bu, Rp. 500. Tapi saya tidak punya kantong plastiknya?
(Wah! Bagaimana ini jadinya? Batal deh makan kerupuk kegemaranku dan suami).
Alhamdulillah, aku membawa kantong plastik yang aku gunakan untuk membungkus kain yang sudah diobras. Kain obrasan itupun aku pindahkan ke dalam keranjang sepeda.
Pakai ini aja ya, Pak. Cukup?
Cukup, Bu. Mau beli berapa?
Dua puluh aja, Pak. Campur ya dengan kerupuk gendarnya. Semua Rp. 10.000 ya, Pak?
Iya, Bu.
Kerupuk dagangannya masih terlihat penuh. Aku menyerahkan uang Rp. 10.000. Dalam hati ingin sekali aku mengatakan kepada pedagang tersebut untuk memberiku bonus satu buah kerupuk (biasalah ibu-ibu). Namun kuurungkan niatku, mengingat beliau adalah pedagang kecil yang tentunya tak seberapa banyak untung yang ia peroleh dari hanya berdagang kerupuk.
Sebelum mengikat kantong plastik, sambil tersenyum dan tanpa banyak bicara kulihat bapak pedagang kerupuk memegang dua buah kerupuk gendar dan memasukkannya ke dalam plastik milikku. Aku jadi terperangah dibuatnya sekaligus gembira bahwa ternyata tanpa meminta aku dapat bonus lebih dari yang aku bayangkan sebelumnya.
Bonus, Pak?
Iya, Bu.
Wah! Makasih banyak ya, Pak.
Sama-sama, Bu.
Kelihatannya sepele dengan hanya memberikan kerupuk kepada orang lain sambil tersenyum. Namun jangan sangka, makna yang tersirat di dalamnya sangat besar. Ya, membuat hati orang lain gembira, itulah maknanya. Hampir setiap orang pasti senang mendapat hadiah, tak terkecuali aku.
“Janganlah sedikitpun kamu menyepelekan kebaikan meski (hanya) dalam bentuk menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (Riwayat Muslim no. 2626)
Aku jadi malu hati sendiri, seharusnya aku yang memberi lebih kepada pedagang kerupuk tadi tapi justru akulah yang diberinya lebih. Subhanalloh! Bapak tua itu berhati mulia. Begitu mudahnya ia berbagi tanpa harus berpikir dua kali apakah akan mengurangi keuntungannya. Ironis memang, kadang yang lebih banyak harta justru takut kehilangan hartanya.
Ternyata, membuat bahagia orang lain tidak harus dengan hal-hal yang sulit atau besar. Bahkan terkadang memberi dengan jumlah besar bisa mendatangkan riya walaupun tidak semuanya demikian. Oleh sebab itu marilah kita mencoba memulai kebaikan dari hal yang kecil dengan membahagiakan saudara kita.
Pak Pedagang Kerupuk, kutahu saat ini kau pasti masih menjajakan kerupukmu. Namun kau telah memberiku hikmah akan arti berbagi yang sesungguhnya. Aku tahu, aku bukanlah pembeli pertama yang telah mendapatkan bonus kerupuk darimu. Pasti sudah panjang daftar pembeli yang telah engkau bahagiakan hatinya dari bonus kerupukmu.
Pak Pedagang Kerupuk, semoga hasil daganganmu berkah untukmu dan keluargamu dan semoga engkau mendapatkan ganti yang lebih baik dari Dzat Yang Maha Pemberi dan Maha Kaya, aamiin.
Wallohua’lam bishshowaab.
(mkd/bintaro/28.01.2011)