Hari Minggu lalu aku dan keluarga berwisata ke Philips Island, Australia. Sebuah pulau kecil di bagian selatan Victoria. Jarak yang ditempuh sekitar 171 km dari Melbourne atau kurang lebih 2 jam perjalanan darat.
Pukul 10 pagi kami bertolak dari rumah. Alhamdulillah, beruntung ada saudara sepupu dari suami yang sudah menjadi PR (permanent resident) di Australia dan sangat berbaik hati meminjamkan mobil pribadinya untuk kami gunakan sekeluarga. Bekal makan siang pun sudah mereka siapkan, sehingga kami tak perlu pusing dan repot lagi mencari makanan halal yang memang sulit didapat.
Kami berlima menyusuri jalanan yang mulus dan sepi dengan mengandalkan GPS (global positioning system). Di kanan-kiri sepanjang mata memandang terhampar luas padang rumput menghijau dan beberapa pohon rimbun tinggi menjulang. Dari kejauhan, tampak sekumpulan sapi dan domba yang sehat dan gemuk-gemuk asyik menikmati rumput yang segar.
Kami tiba di tempat pelestarian koala atau disebut ‘koala conservation‘. Tiupan angin sepoi-sepoi menambah dingin udara. Koala adalah salah satu binatang yang hanya hidup di benua Australia. Saat memasuki area, para pengunjung dihimbau untuk menghormati habitat alam mereka dengan cara : tidak memegangnya dan tidak membuat kebisingan.
Setelah puas melihat koala yang bergelantungan di atas pohon dan berjalan di dekat pengunjung, sejenak kami sholat dan makan siang di dekat area parkir. Segerombolan burung nuri dan burung magpie (burung khas Australia) datang menghampiri, menunggu kami memberinya remah-remah makanan. Burung nuri bulunya indah berwarna-warni. Aku girang bukan kepalang, mereka tidak merasa terganggu oleh kehadiran kami bahkan seolah-olah seperti menyambut riang kedatangan kami. Bersahabat.
Sore hari, kami menyaksikan ‘penguin parade‘ di pinggir pantai. Sekali lagi, para pengunjung diminta untuk merespek atau menghargai habitat alam mereka. Tak ada yang diijinkan merokok, mengambil foto/gambar termasuk merekam dalam video.
Kami duduk di atas balkon yang telah disediakan dengan posisi menghadap ke arah laut lepas. Sekumpulan pinguin yang berjumlah sekitar 300 ekor diprediksi akan kembali ke pantai menuju sarangnya yang terletak di sekitar kami.
Perlahan senja datang menjelang, deburan ombak seakan bernyanyi menemani. Setelah 30 menit menunggu, akhirnya muncul 20-30 ekor pinguin dari balik ombak yang bergulung-gulung di tepi pantai. Serentak dan tampak tergesa-gesa mereka berjalan menuju sarangnya masing-masing, kloter per kloter, lelah setelah sepanjang hari mencari ikan di laut.
Pinguin tergolong burung yang tidak dapat terbang dan tak punya senjata untuk mempertahankan dirinya. Namun walaupun tampak lemah ia seolah tak peduli dan tidak takut dengan kehadiran kami dan para pengunjung yang lain. Hal ini terjadi karena adanya keharmonisan dengan manusia. Bahkan begitu harmonisnya, jika ada seekor pinguin yang hendak melintas di hadapan para pengunjung, kami diminta petugas untuk berhenti dan mempersilahkan pinguin melintas di hadapan kami. Dinginnya cuaca malam itu membatasi kepuasan kami untuk berlama-lama menatap gerak-gerik pinguin dan cara berjalannya yang lucu.
Satu hal yang dapat aku petik dari perjalanan wisata kami ke Philips Island. Satu hal yang terlihat sepele tapi ternyata bermakna besar. Hal yang berkaitan dengan keberadaan kita sebagai manusia. Betapa kehadiran kita sebagai kholifah adalah untuk menjaga kelestarian alam dan bersahabat dengan sesama makhluk ciptaan Alloh SWT. Manusia adalah teman bagi makhluk lain dan bukan menjadi musuh bagi mereka apalagi mengganggunya. Kita berkewajiban menjaga kelestarian alam bagi kemaslahatan manusia sendiri.
Miris hati mengingat banyaknya eksploitasi binatang di negeriku Indonesia. Burung-burung habis ditangkap dan dijual untuk sesuatu yang bernama ‘uang’. Anak ayam yang lucu-lucu, oleh sebagian manusia dijual (dengan tanpa punya hati) bulunya disemprot aneka warna, merah, hijau, biru. Bagiku anak-anak ayam itu tak lagi terlihat lucu bahkan terlihat menderita. Belum lagi ronggeng monyet yang mulai menjamur di sana-sini menjadikan binatang yang seharusnya dilindungi itu menjadi budak bagi manusia lagi-lagi untuk sesuatu yang bernama ‘uang’. Tanpa belas kasih, leher mereka diikat dan dipaksa melakukan akrobatik seperti layaknya manusia.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.” (QS Al Baqarah : 30)
Sudahkah kita lupa dengan amanah kita sebagai kholifah di muka bumi? Masih ingatkah dengan cerita seorang pelacur yang merasa iba memberi minuman ketika melihat seekor anjing yang kehausan? Tentu jika kita mau berpikir lebih jauh, banyak sekali hikmah yang tersirat maupun tersurat dari cerita tersebut. Hal yang tampak sepele namun dapat mengangkat seorang manusia naik ke surga-NYA.
Dalam al Qur’an, tegas disebutkan bahwa “kerusakan yang nyata-nyata timbul di daratan dan di lautan merupakan dampak dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab(QS Ar-ruum :41)”. Ya, itulah yang akan terjadi jika manusia berkhianat dengan amanah yang diberikan Alloh SWT.
Jika bangsa barat yang notabene amalannya bagai debu yang beterbangan, mau berbuat lebih bagi sesama makhluk ciptaan Alloh. Apalagi kita sebagai umat Islam tentu tidak ada istilah rugi bagi kita untuk berbuat lebih besar lagi karena sekecil apapun setiap amalan kita akan dihitung walaupun seberat biji zarrah! Tak terkecuali kepada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Mari kita jaga bumi Alloh yang menakjubkan ini dengan peduli kepada kelestarian dan keberadaaan makhluk ciptaan-NYA yang lain karena hanya di sinilah kita hidup dan beramal.
Wallohua’lam bishshowaab
(Mkd/melbourne/29.06.2011)